Nestapa guru: Kesejahteraan minim, beban kerja menumpuk
Beberapa waktu lalu, saat berbicara dalam acara peringatan ulang tahun ke-78 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku terkejut ketika mengetahui guru punya tingkat stres lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya. Ia merujuk lembaga riset RAND Corporation tahun 2022 (Baca juga: Guru: Profesi mulia dengan tingkat stres yang tinggi).
“Kalau saya lihat, seluruh anggota PGRI ndak. Saya lihat ceria semuanya. Artinya, lembaga riset ini mungkin bukan di Indonesia,” kata Jokowi.
Sebagai informasi, RAND Corporation adalah lembaga riset asal Amerika Serikat. Survei itu didanai National Education Association (NEA).
Jokowi mengatakan, hasil riset ini menunjukkan, ada tiga faktor yang menyebabkan guru mengalami stres, yakni tingkah laku siswa, perubahan kurikulum, dan perkembangan teknologi.
Barangkali Jokowi lupa, ada problem mendasar yang membuat guru di Indonesia mengalami stres, yakni kesejahteraan. Menurut Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, guru-guru yang sejahtera secara ekonomi hanya yang statusnya jelas, seperti pegawai negeri sipil (PNS) atau bekerja tetap di sekolah swasta.
“Mereka secara finansial itu agak aman kalau sudah sertifikasi, dapat dana sertifikasi,” ujar Iman kepada Alinea.id, Senin (27/11).
“Sedangkan masih ada sekitar 1,6 juta guru itu belum sertifikasi. Artinya, mereka hanya mengandalkan gaji pokok saja, yang kemungkinan besar tidak mencukupi untuk biaya kebutuhan sehari-hari.”
Berbagai masalah seorang guru
Iman memberikan ilustrasi kesejahteraan guru yang tak kunjung membaik, dengan mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Katanya, sebesar 42% masyarakat Indonesia yang terjerat pinjaman online (pinjol) profesinya adalah guru.
“Dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa guru-guru yang terjerat pinjol ini berarti mereka secara finansial tidak aman,” ucapnya.
Stres yang dialami guru di Indonesia, sebut Iman, juga terjadi karena beban kerja atau administrasi. Sebelum pandemi, beban administrasi sangat tinggi. Namun, ketika pandemi, katanya, beban itu tak berkurang.
“Misalkan, sebelum pandemi beban administrasi secara fisik, dokumen-dokumen itu harus mereka persiapkan sebelum mengajar, maupun dokumen lainnya yang diwajibkan sekolah dan kementerian,” katanya.
“Ketika pandemi, mereka harus mengisi kolom-kolom, isian-isian, formulir-formulir secara digital. Itu persentasenya tidak menurun, tetapi malah meningkat.”
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), menurut Iman, selalu mengatakan program-programnya berupaya memangkas administrasi. Namun, kenyataan di lapangan berbeda.
“Contoh, kita bikin rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) itu kan sekarang diganti menjadi modul ajar. Kementerian mengatakan, penggantian ini akan mempermudah guru,” ujarnya.
“Realitanya dokumennya makin banyak lembarannya dan ada kewajiban lain yang harus mereka lakukan di tengah jam pelajaran yang sangat padat.”
Kemudian, yang terakhir terkait karier. Ia mengatakan, masa depan guru makin tak jelas. Misalnya, guru honorer yang bekerja di sekolah negeri bercita-cita ingin jadi PNS. Akan tetapi, sejak 2021 tak dibuka lagi PNS, hanya pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sementara, PPPK dikontrak, sehingga masa depan statusnya rentan.
“Misalkan, di seluruh Indonesia ini maksimal PPPK dikontrak antara tiga sampai lima tahun, tetapi ada juga yang dikontrak setahun. Nah, ini kan juga menjadi beban pikiran,” tuturnya.
Ia mengungkap, pemerintah berjanji satu juta guru akan segera diangkat menjadi PPPK. Kenyataannya, dari sejuta itu hanya 500.000 yang berhasil diangkat.
“Artinya. yang tidak berhasil diangkat tingkat stresnya pasti jauh lebih tinggi dari yang bisa diangkat. Nah yang sudah diangkat pun masih stres karena dikontrak hanya beberapa tahun.”
Sementara itu, senada dengan Iman, pemerhati pendidikan sekaligus Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema Albertus mengatakan, tingkat stres tinggi karena guru “dibombardir” banyak persoalan.
“Pertama, lingkungan pekerjaan. Situasi tidak kondusif di sekolah, baik dari sisi sarana prasarananya,” ujarnya, Selasa (28/11).
“Kedua, dari sisi kesejahteraan. Pemerintah sudah menetapkan upah minimum regional, ternyata hanya guru yang masih diupah di bawah upah minimum regional.”
Pada dasarnya, Doni mengatakan, ada dua faktor yang memicu stres seorang guru, yakni faktor dari dalam dirinya dan faktor dari luar dirinya. Faktor dari dalam dirinya, antara lain perkembangan kepribadian.
“Bagaimana dia mengembangankan kedewasaan emosional sebagai individu,” ucap Doni.
“Karena mau tidak mau, seorang guru tugasnya memberi, kalau dia tidak pernah punya waktu istirahat, akhirnya menjadi burnout.”
Sedangkan faktor dari luar dirinya, antara lain tuntutan dari pemerintah, berbagai macam regulasi, perubahan kurikulum, dan sistem evaluasi.
Doni menuturkan, untuk mengurangi stres, kesejahteraan guru harus ditingkatkan, misalnya dengan gaji yang cukup untuk stabilitas kehidupan keluarganya. Selain itu, lingkungan sekolah dan regulasi pemerintah, katanya, harus memberi kepercayaan kepada guru..
“Kalau sekarang istilahnya Merdeka Belajar, tetapi faktanya guru tidak merdeka melakukan banyak hal. Semuanya ‘dipaksa’ dari atas untuk melakukan ini melakukan itu,” ucapnya.
“Maka regulasi dan kebijakan yang mengatur tentang guru seharusnya memahami dinamika persoalan yang dihadapi guru di lapangan, terutama di sekolah.”
Lebih lanjut, ia menyarankan guru dibebaskan bergabung dengan organisasi profesinya. Tujuannya, agar seorang guru bisa bertumbuh dan berkembang secara profesional. “Tugas pemerintah adalah membantu perkembangan organisasi itu, sehingga organisasi itu dapat mendampingi bapak dan ibu guru bertumbuh dan berkembang di dalam profesinya,” tutur dia.