close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah (tengah) dalam acara Magelang Bersholawat di Magelang, Jawa Tengah./Foto Instagram @silaturahmikebangsaan
icon caption
Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah (tengah) dalam acara Magelang Bersholawat di Magelang, Jawa Tengah./Foto Instagram @silaturahmikebangsaan
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 08 Desember 2024 06:06

Gus, dari keraton ke media sosial

Gus identik dengan sapaan anak laki-laki pemimpin pesantren.
swipe

Banyak tokoh nasional yang populer disapa "gus". Paling tenar adalah Gus Dur, sapaan Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid. Ada pula Gus Ipul, sapaan Menteri Sosial Saifullah Yusuf; dan Gus Baha, ulama asal Rembang, Ahmad Bahauddin Nursalim.

Sapaan gus juga disematkan kepada Miftah Maulana Habiburrahman, pendakwah terkenal yang ramai jadi sorotan publik usai dinilai merendahkan penjual es teh—yang berimbas pada pengunduran diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan pada Jumat (6/12).

Dari mana sapaan gus?

Dalam artikelnya, anggota keluarga Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Senopati K.R.M.H. Tommy Agung Hamidjoyo menjelaskan, panggilan gus awalnya muncul di kalangan ndalem kraton untuk menyebut gelar khusus putra raja atas sapaan "gusti" dimulai pada masa Kasunanan Surakarta dipemerintah Pakubuwono IV pada 1788-1820.

Eyang sinuwun Pakubuwono IV dijuluki sebagai Sunan Bagus karena beliau terkenal seorang raja Mataram Islam yang berwajah bagus dan tampan, beliau juga seorang raja yang alim, tawadhu, dan sangat dekat dengan para ulama,” tulis Tommy.

Dari sana, turun temurun anak laki-laki raja dipanggil gusti, den bagus, atau raden bagus, dengan sapaan sehari-hari gus. Seiring waktu, panggilan itu dibawa para ulama kerajaan keluar, yang menjadi sapaan untuk memanggil putra laki-laki mereka. Lalu, sapaan itu digunakan golongan priayi, ulama, dan saudagar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah kemerdekaan, tulis Tommy, sewaktu pesantren berkembang di Jawa, sapaan gus mulai digunakan menyebut putra pemimpin pesantren.

Dalam jurnal Leksema edisi Januari-Juni 2018, Millatuz Zakiyah menulis, di daerah Pasuruan, Jawa Timur, panggilan ini diganti dengan "mas". Tak cuma putra kiai pemimpin pesantren, Millatuz menyebut, panggilan gus juga ditujukan untuk menantu lelaki sang kiai.

“Gus diharapkan menjadi penerus kiai, maka ia diperlakukan khusus,” tulis Millatuz, mengutip buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1983) karya Zamakhsyari Dhofier.

“Salah satu perlakuan khusus adalah dengan memberi gelar sapaan khusus, yaitu gus.”

Menurut Millatuz, selain gus, putra kiai juga terkadang dipanggil dengan mas. Panggilan ini berasal dari kata "kangmas", lazim digunakan untuk memanggil anak lelaki yang tua atau dituakan.

Gus di media sosial

Perkembangan teknologi dan informasi ikut membuat gus-gus memanfaatkan media sosial sebagai sarana eksistensi. Dilansir dari tulisan Alhimni Fahma dan Mohammad Darwis di jurnal Dakwatuna edisi Agustus 2020, eksistensi para gus terlihat dari unggahan-unggahan konten di akun media sosial mereka. Marwah, pesona, dan karisma mereka dihadirkan lewat gestur, busana, foto, hingga pemilihan tempat berfoto. Interaksi dengan follower tak berbeda seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari.

“Dalam hal ini, audiens (follower) berperan sebagai mad’u (khalayak) virtual yang meyakini bahwa gus, putra kiai adalah cerminan sang kiai sendiri,” tulis Alhimni dan Darwis.

“Maka, tidak elok jika kepada anak-cucunya, mad’u melontarkan perkataan yang kurang pantas.”

Menurut Alhimni dan Darwis, semiotika visual menjadi alat artikulasi dalam penguraian tanda dari unggahan foto para gus. Foto yang diunggah bisa menjadi pola komunikasi yang beruntun tentang profiling mereka kepada follower.

“Di ceruk ini, muncul dakwah dan syiar Islam yang termodifikasi sedemikian rupa melalui tanda-tanda yang tersebar,” tulis Alhimni dan Darwis.

“Media sosial dengan ritme konten yang bergulir sangat lekas, juga memberikan pintu bagi pembentukan citra para gus untuk terus memantapkan diri di jalur dakwahnya yang sudah terbentuk.”

Tak sedikit para gus yang memanfaatkan media sosial, terutama untuk berdakwah. Sebut saja Gus Muwafiq atau Ahmad Muwafiq, Gus Baha atau Ahmad Bahauddin Nursalim, Gus Reza atau Reza Ahmad Zahid, termasuk Gus Miftah.

Gus Mus atau Ahmad Mustofa Bisri termasuk ulama yang punya media sosial, dikenal karena menyampaikan pesan-pesan baik. Media sosial yang dikelolanya, seperti Facebook, Instagram, dan X punya banyak follower. Tak jarang, pesan Gus Mus dijadikan quote.

“Pesan Gus Mus dikenal santun dan menyejukkan hati banyak orang. Peran aktif Gus Mus di Media sosial menjadi salah satu contoh nyata pentingnya kehadiran seorang influencer untuk senantiasa menyampaikan pesan kebaikan,” tulis Abdullah Afabih dalam majalah Tebuireng edisi Januari-Februari 2023.

Kini, para gus memang sangat mudah melakukan interaksi lewat media sosial. Namun, media sosial juga bisa membuat mereka terpeleset karena berperilaku jauh dari adab atau salah omong.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan