close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi obat./Foto Pexels/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi obat./Foto Pexels/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Senin, 06 Januari 2025 15:57

Haruskah ketamin masuk dalam golongan narkotika?

BPOM mengusulkan kepada Kemenkes memasukkan ketamin dalam golongan psikotropika.
swipe

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bakal mengusulkan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memasukkan ketamin dalam golongan psikotropika demi mengatasi tingkat penyalahgunaannya.

Menurut Kepala BPOM Taruna Ikrar, dikutip dari Antara, ketamin merupakan salah satu obat keras yang menghasilkan efek anaestesia dan analgesik yang kuat, sehingga menghilangkan rasa sakit serta kesadaran. Tujuannya, sebagai prosedur bedah dan diagnostik.

Taruna menerangkan, efek yang ditimbulkan penggunaan ketamin, antara lain sedasi, euforia, relaksasi, dan amnesia. Dia pun mengatakan, ketamin memberi dampak pada mental dan fisik, seperti halusinasi, psikosis, kerusakan sistem saraf dan hati, adiksi, dan memicu keinginan bunuh diri. Walau ketamin penggunaannya mesti lewat resep dokter, tetapi kata Taruna, banyak dimanfaatkan untuk tujuan rekreasional, seperti membuat tato atau bersenang-senang di diskotek.

Menurut Taruna, penggunaan ketamin paling banyak di Bali lantaran sebagai tempat pariwisata, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat. “Sebagian penggunanya ini pada umumnya adalah anak-anak muda generasi Z,” kata Taruna, dikutip dari Antara.

Taruna menambahkan, dari data yang ditemukan BPOM, tren penyaluran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian, tahun 2022 ada 134.000 vial. Lalu, meningkat menjadi 235.000 vial pada 2023. Kemudian menjadi 440.000 vial pada 2024.

Tren penyaluran ketamin ke apotek, disebut Taruna, meningkat. Pada 2022, ada 3.000 vial didistribusikan, lalu pada 2023 menjadi 44.000 vial, dan menjelang akhir 2024 152.000 vial.

Taruna menambahkan, pihaknya juga bakal merevisi Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan, dengan memasukkan ketamin ke dalam aturan itu.

Dikutip dari situs web Kemenkes, ketamin merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam, dan sensitif terhadap cahaya serta udara. Ketamin punya nama dagang yang populer, yakni Ketalar, yang diperkenalkan Domino dan Carsen pada 1965. Obat ini cuma bisa digunakan di rumah sakit dan diawasi penuh dokter. Ketamin digunakan dengan cara diinjeksi ke dalam otot atau lewat vena.

Efek ketamin, selain yang sudah disebut Taruna, antara lain pasien mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada kelopak mata yang akan terbuka spontan, serta gerakan yang tak disadari, seperti mengunyah, menelan, tremor, dan kejang. Selain itu, tekanan darah dan denyut jantung meningkat, menimbulkan otot dan sendi kaku, dan meningkatkan kadar gula.

Ketamin mulai marak disalahgunakan di kalangan tertentu sejak beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus penyalahgunaan ketamin mengalami peningkatan setiap tahun. Pada 2019 tercatat sekitar 500 kasus penyalahgunaan ketamin, dan angka ini melonjak menjadi lebih dari 1.200 kasus pada 2024.

Mantan Kepala BNN Anang Iskandar menyoroti pentingnya koordinasi antara pemerintah, DPR, dan Kemenkes dalam mengambil keputusan menggolongkan ketamin dalam psikotropika. Menurut dia, keputusan itu tidak hanya bergantung pada undang-undang, tetapi juga pada sikap Kemenkes.

“Kalau Menteri Kesehatan bilang masuk golongan, maka akan masuk,” ujar Anang kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Guru Besar Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Keri Lestari Dandan menegaskan, meski ketamin memiliki potensi penyalahgunaan, risiko tersebut lebih rendah dibandingkan psikotropika golongan I dan II.

“Ketamin memiliki nilai terapeutik tinggi. Secara medis, obat ini digunakan untuk anestesi, analgesik, pengobatan depresi resisten, gangguan kecemasan, dan PTSD (post-traumatic stress disorder),” tutur Keri, Minggu (5/12).

Meski punya manfaat medis, Keri menyebut, potensi ketergantungan tetap ada. Penggunaan ketamin yang tidak diawasi, kata dia, bisa menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis, serta memicu efek samping yang berbahaya.

“Penggunaan ketamin harus diawasi ketat oleh dokter dan apoteker untuk mencegah penyalahgunaan dan mengurangi risiko ketergantungan,” kata Keri.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan