close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Keadaan rumah di daerah Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat, Selasa (30/7/2024). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
icon caption
Keadaan rumah di daerah Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat, Selasa (30/7/2024). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 05 Agustus 2024 06:07

Hidup guyub walau berimpit di Tambora

Tambora, Jakarta Barat dikenal sebagai kawasan padat penduduk di DKI Jakarta. Bagaimana kehidupan di sana?
swipe

Ratna, 32 tahun dan Soriyah, 27 tahun—bukan nama sebenarnya, terbiasa menjalani hari di rumah petak beratap asbes dan berdinding seng tipis berkarat di Jalan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat. Kakak-beradik ini tinggal bersama anggota keluarga lainnya di rumah kira-kira seluas lapangan bulu tangkis itu.

Di dalam rumah tersebut, seluruh anggota keluarga Ratna dan Soriyah ada 10 orang lebih. “Kalau kumpul semua dan pada kerja di dalam, jadi sempit,” ucap Ratna kepada Alinea.id, belum lama ini.

Sehari-hari, Ratna mencari nafkah dengan berjualan minuman segar dan makanan ringan. Warungnya yang berada di pinggir jalan, membuat akses jalan menjadi menyempit. Apalagi, tak jauh dari warung Ratna, terdapat parkiran sepeda motor yang membuat badan jalan seluas kurang lebih tiga meter menjadi semain sempit.

Rumah-rumah di wilayah Jembatan Besi, Tambora sangat kecil dan saling berhimpitan. Beberapa kali, kawasan ini menjadi langganan kebakaran. Misalnya, pada 2017 kebakaran mengakibatkan tiga warga mengalami luka bakar.

Setahun kemudian, kebakaran melalap 35 rumah di sana.  Lalu, pada 2019, kebakaran menghanguskan dua rumah dan enam kios. Tahun 2020, kebakaran menghabiskan 138 rumah di kawasan itu. Kemudian pada Juni 2023, sembilan rumah terbakar.

Seorang warga tengah menyiram jalanan di daerah Tambora, Jakarta Barat, Selasa (30/7/2024). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Bencana itu masih terngiang di benak warga. Salah satunya Maryati, 48 tahun, yang kerap cerewet kala melihat seorang anak bermain dengan api. “Kalau kebakaran berabe nanti. Udah tahu padet di sini, ada api sedikit langsung nyamber,” ujar Maryati.

Kecamatan Tambora merupakan salah satu kawasan dengan penduduk terpadat di Jakarta. Bahkan, pernah dinobatkan menjadi daerah paling padat se-Asia Tenggara.

Merujuk laporan Kecamatan Tambora dalam Angka 2023 yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), luas wilayah Kecamatan Tambora 5,4 kilometer persegi. Sedangkan Kelurahan Jembatan Besi seluas 0,55 kilometer persegi. Jumlah penduduk Tambora pada 2022 sebanyak 270.036 jiwa, dengan kepadatan penduduk 50.000 jiwa per kilometer. Sementara persentase penduduk Jembatan Besi pada 2022 sebesar 14%, dengan jumlah penduduk 36.524 jiwa dan kepadatan penduduk 66.407 jiwa per kilometer persegi.

Maryati sudah tinggal di Jembatan Besi sejak lahir. Dia tinggal di rumah bekas orang tuanya yang merantau dari Demak, Jawa Tengah pada dasawarsa 1970-an. Dia merasa sudah piawai beradaptasi dengan kepadatan penduduk di lingkungannya.

“Namanya tinggal di permukiman padat, harus saling pengertian. Sempit sudah pasti, jadi saling berbagi tempat saja. Mau itu parkiran, tempat jemur (pakaian), atau naruh barang-barang,” ucap Maryati.

Tinggal di Tambora, membuat dirinya secara alami tidak egois sesama warga. Dia bercerita, warga Tambora sering tidak tega ketika ada tetangga ayng tak punya lauk-pauk untuk makan.

“Kalau ada yang lagi enggak masak karena ada anggota (keluarga) yang sakit, langsung pada ngasih (nasi atau lauk-pauk). Kami enggak akan biarin tetangga kelaparan,” ujar Maryati.

Beberapa sepeda motor terparkir di kawasan Tambora, Jakarta Barat, Selasa (30/7/2024). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Meski mengaku guyub, namun Maryati mengatakan keributan kecil terkadang terjadi di gang-gang atau jalan sempit. Terlebih lagi jika ada barang atau kendaraan yang hilang.

“Tapi kita tahu, pasti yang ambil orang luar Tambora,” ucap dia.

Ratih—nama samaran—45 tahun, juga sejak lahir tinggal di perkampungan padat penduduk di Tambora. Biarpun harus tinggal berimpitan, dia merasa nyaman menetap di sana. Sebab, kata dia, masyarakatnya yang saling pengertian membuatnya merasa tidak terlalu pusing dengan kehidupan sosial yang bising dengan persaingan.

“Saya dulu mikir, tinggal di Tambora kok gini amat, padat. Tapi bagusnya, warga di sini masih ada rasa tolong-menolong,” tutur Ratih.

Ratih tinggal di rumah milik orang tuanya, bersama keluarga kakak dan adiknya. Dia harus berbagi ruang dengan lima kepala keluarga lainnya di rumah yang kecil. Soalnya, semua belum mampu membeli rumah di kawasan lain.

“Habis mau gimana lagi?” ujar Ratih.

Hidup berimpitan di Tambora juga menjadi cerita kehidupan Hamsah, 51 tahun, yang sudah sangat lama tinggal di Jembatan Besi. Menurut Hamsah, menjadi warga Tambora berarti harus siap dengan segala risiko dan kewaspadaan terhadap kebakaran yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kesadaran itu terbentuk dari pengalamannya sebagai warga di sana selama puluhan tahun.

"Hidup di Tambora mah kudu bareng-bareng, saling pengertian saja," ucap Hamsah.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan