Nostalgia di era corona: Kenapa kita mengenang dan "mengulang" masa lalu
Pertemuan itu terjadi tak disengaja. Pada mulanya, Anita Carolina, 32 tahun, tengah mencari mainan untuk putranya yang masih berusia dua tahun di aplikasi belanja online. Di salah satu lapak, ia melihat kumpulan buku mitologi Yunani dijajakan.
Tanpa pikir panjang, Anita langsung memesannya. Buku pertama yang ia pesan ialah cerita tentang Persefone, putri dewa Zeus dan Demeter yang kelak menikahi Hades dan jadi ratu di dunia bawah (underworld). Buku-buku mitologi Yunani lainnya menyusul.
"Waktu itu kan awal pandemi. Jadi, di rumah aja. Terus biasa serba online ngapa-ngapain. Enggak tahu kenapa tiba-tiba pengen beli aja. Lagian bukunya buku bekas. Enggak mahal biarpun hard cover," kata Anita saat berbicang dengan Alinea.id, Jumat (1/10) lalu.
Buku cerita Persefone dibeli Anita pada pertengahan Juni 2020. Hingga kini, Anita telah mengoleksi tujuh buku mitologi Yunani. Sejak kecil, Anita memang menyukai kisah para dewa dan dewi Yunani. Ia bahkan punya mimpi untuk suatu saat berwisata ke negara itu.
"Kayak nemu hal yang kita sukain, udah lama, terus lupa. Pas lihat lagi seneng aja. Jadi ada bayangan menyenangkan waktu kecil gimana. Nanti juga kan bisa dibaca sama anak-anak. Ya, mudah-mudahan aja dia suka juga," kata perempuan yang tinggal di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Barat itu.
Jika Anita mengoleksi buku, M Riezky, 34 tahun, bernostalgia dengan bermain gim. Sejak pertengahan tahun lalu, ia menginstal Mobile Legends di ponselnya. Bermain gim itu disarankan oleh temannya sebagai cara nongkrong bareng.
"Sampai sekarang, biasanya tiap akhir minggu tuh kita maen bareng. Bertiga atau sampai berlima. Ya, seneng-seneng aja. Enggak serius. Sekalian sambil ngobrol kan. Cerita soal yang dulu-dulu waktu kita kuliah gimana," kata Riezky kepada Alinea.id, belum lama ini.
Sewaktu kuliah Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, lebih dari satu dekade silam, ia dan teman-temannya rutin menghabiskan waktu dengan bermain gim. Mereka terutama suka bermain gim Defence of the Ancient (Dota) di game center dekat kampus. Mobile Legends bisa dikata merupakan gim yang model permainannya meniru Dota.
"Waktu muda kan kita kayak punya banyak waktu aja. Maen sampai lupa kuliah. Enggak mikirin punya duit. Kayak enggak ada beban hidup. Iya, rasanya jadi kayak nostalgia. Apalagi, gaya maen-nya kan sama tuh. Langsung biasa deh," kata pria yang tinggal di Tangerang Selatan itu.
Selain bermain gim, Riezky juga kini rutin mendengarkan musik-musik dari band tahun 1990-an yang ia sukai saat masih remaja dan beranjak dewasa. Menurut dia, kebiasaan mendengarkan musik membuat ia lebih tenang menjalani keseharian.
"Ada juga yang bikin galau sih. Pas dengerin lagu itu, kita kayak inget ada kenangannya. Dulu, misalnya, kita lagi ngapain, dengan siapa, pas dengerin lagu itu. Jadi, inget lagi. Enggak jelas sih ingatannya, tapi ada rasanya," ujar dia.
Musik dan koleksi barang fisik
Sejak pandemi Covid-19 merebak, nostalgia menjadi salah satu cara warga dunia berdamai dengan keadaan. Beragam cara dilakukan, mulai dari mendengarkan musik lawas, menonton film-film lama, memelihara tamagochi, atau merakit komputer desktop.
Mendengarkan musik lawas jadi salah satu cara bernostalgia yang paling lazim saat pandemi Covid-19. Itu setidaknya tergambar dari riset bertajuk "Did the Covid-19 Pandemic Trigger Nostalgia? Evidence of Music Consumption on Spotify" yang digarap Timothy Yu dan Cheong Yeung.
Dalam riset yang diterbitkan di Centre for Economic Policy Research pada Agustus 2020 itu, Yu dan Yeung meneliti jenis musik yang dikonsumsi di enam negara di Eropa saat karantina wilayah diberlakukan, yakni Belgia, Prancis, Italia, Spanyol, Swedia, dan Inggris.
Setelah mengolah data sekitar 17 triliun tembang yang dimainkan oleh pengguna Spotify sejak Maret 2020, mereka menemukan mayoritas warga di enam negara memilih musik lawas untuk didengarkan di platform streaming online populer itu. Yang dikategorikan musik lawas ialah jenis musik yang usianya di atas tiga tahun setelah dirilis perdana.
"Lockdown selama pandemi membatasi kebebasan individual, mempengaruhi pekerjaan, dan interaksi sosial. Perubahan-perubahan ini kemungkinan melahirkan emosi buruk dan orang-orang mendengarkan musik nostalgia sebagai cara untuk melarikan diri dari kenyataan meskipun rekan atau keluarga mereka tak terdampak virus," jelas Yu dan Yeung.
Menurut Yu dan Yeung, konsumsi musik-musik nostalgia cenderung naik signifikan saat restriksi ketat diberlakukan pemerintah di negara-negara tersebut. Mereka memprediksi tren itu akan memudar seiring dilonggarkannya restriksi pemerintah terhadap warga atau saat pandemi mulai membaik.
"Jika lagu-lagu lama bikin mereka merasa lebih baik, mungkin karena lagu-lagu itu bisa meng-counter emosi-emosi buruk yang pernah mereka rasakan pada periode-periode tertentu dalam hidup mereka," tulis Yu dan Yeung.
Khusus di Inggris, tren nostalgia saat pandemi juga terekam dalam peningkatan penjualan vinyls dan kaset pita. Sejak lockdown diberlakukan pada April 2020, penjualan vinyl, misalnya, meningkat hingga 250% hingga November tahun yang sama.
"Orang-orang yang membeli rekaman mungkin adalah mereka yang biasa nonton gigs. Karena mereka tidak bisa melakukannya, mereka menghabiskan duit mereka untuk membelli rekaman," kata Drew Hill, Managing Director of Proper Music, perusahaan distributor vynil dan CD terbesar di Inggris, seperti dikutip dari The Guardian.
Penjualan kaset pita juga meningkat signifikan selama pandemi di Inggris. Menurut catatan British Phonographic Industry, ada 156,542 kaset yang terjual selama 2020 atau naik sekitar 94.7% jika dibandingkan 2019. Itu angka penjualan kaset tertinggi sejak 2003.
"Seperti vinyl, orang-orang suka membeli kaset karena mereka bisa merasakan dan mengalami sesuatu pada saat bersamaan, tidak seperti file-file digital," kata Ian Taylor, dosen bidang industri musik di Birmingham City University, seperti dinukil dari The Conversation.
Tanda-tanda maraknya orang bernostalgia saat pandemi bertebaran. Di iTunes, misalnya, album-album lawas milik Madonna, Janet Jakson, dan Mariah Carrey yang dirilis pada era 1990-an sempat tiba-tiba merajai tangga lagu pada pertengahan tahun 2020. Di media sosial, warganet rutin mengunggah foto memorabilia dari masa lalu.
"Banyak orang membayangkan situasi pada 1990-an, ketika mereka kecil, atau beberapa bulan sebelumnya. Orang-orang merindukan pergi ke pub, pelukan, menghabiskan hari di kantor, atau hal-hal remeh temeh lainnya," jelas Katja H. Brunk, seorang professor bidang pemasaran di European University Viadrina.
Efek nostalgia
Terminologi nostalgia pertama kali dikemukakan peneliti medis asal Swiss, Johannes Hofer dalam sebuah disertasi yang dipublikasikan pada 1688. Hofer mengombinasikan dua kata dari Bahasa Yunani: nostos yang berarti "kepulangan" dan algos yang bermakna "sakit".
Ketika itu, Hofer meneliti efek nostalgia terhadap para tentara bayaran Swiss yang berperang jauh dari kampung halaman. Ia menemukan banyak prajurit yang punya gejala "sakit" yang sama: terobsesi pulang, kehilangan nafsu makan, insomnia, serta cemas berlebihan. Hofer menyimpulkan nostalgia sebagai penyakit celebral.
Selama dua abad berikutnya, nostalgia lantas dianggap sebagai penyakit yang berbahaya. Di Eropa, para penderita nostalgia dirawat dengan beragam cara konyol, semisal disedot darahnya menggunakan lintah, dihipnotis, dibersihkan isi perutnya, dianiaya, dirisak, dan disiksa.
Fenomena nostalgia baru dipahami sebagai peristiwa psikologis pada abad ke-19. Saat ini, nostalgia dimaknai secara ringkas sebagai kerinduan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, baik yang dialami secara personal maupun kolektif.
Penulis Future of Nostalgia, Svetlana Boym memaparkan dua tipe nostalgia, yakni nostalgia restoratif dan reflektif. Nostalgia restoratif lazimnya mendorong seseorang untuk menciptakan kembali situasi atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Adapun nostalgia reflektif, menurut Boym, membuat seseorang menerima kenangan-kenangan yang mereka simpan di benak mereka sebagai bagian dari memori saja. "Seseorang bisa mengalami dua tipe nostalgia ini, tetapi nostalgia restoratif cenderung akan membuat kita menjadi sedih," kata Boym.
Peneliti dari Rutgers University, Camden, New Jersey, AS, Andrew Aybeta mengatakan bernostalgia merupakan aktivitas yang lazim dilakukan orang-orang ketika dihadapkan pada situasi yang mengancam eksistensi mereka. Pandemi Covid-19 masuk dalam kategori situasi semacam itu.
"Nostalgia adalah pengingat mengenai apa saja yang membuat hidup kita berarti. Ketika kita sedang mengingat momen nostalgia, kita biasanya memikirkan hubungan yang paling berarti--orang-orang yang mencintai kita, membuat kita merasa penting, dan memberikan kepercayaan diri," kata Aybeta.
Pada era Covid-19, Aybeta mengatakan bernostalgia juga ampuh melawan stres dan kesepian yang kerap muncul saat berada di karantina atau menjalani isolasi mandiri. Dari kenangan-kenangan indah di masa lalu, menurut dia, seseorang bisa mendapat inspirasi dan ketenangan untuk menjalani realita kehidupan yang serba sulit saat pandemi.
"Memori-memori ini bisa menjadi pegangan saat menghadapi masa-masa yang dipenuhi ketidakpastian dan membuat kita lebih optimistis saat mencari makna hidup ketika berhadapan dengan tragedi," jelas Aybeta.