close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Hipertensi bisa menimbulkan kematian bila tak ditangani secara serius. /Pixabay.com
icon caption
Hipertensi bisa menimbulkan kematian bila tak ditangani secara serius. /Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 07 Februari 2019 10:18

Hipertensi, penyakit yang membunuh diam-diam

Penderita hipertensi usia 18 tahun ke atas cenderung mengalami peningkatan sejak 2013, sebesar 25,8% menjadi 34,1% pada 2018.
swipe

Muhammad Rizky Wiryawan telah lima tahun ini memiliki hipertensi atau tekanan darah tinggi. Pria yang mengajar desain di Sekolah Tinggi Al-Ma’soem, Bandung ini pernah merasakan lemas di sekujur tubuhnya dan tak bisa bangkit dari tidur.

“Terus saya ke dokter dan baru tahu kalau saya kena hipertensi,” kata Rizky saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (6/2).

Usianya masih 28 tahun, ketika dokter menvonis dirinya terkena hipertensi. Dia mengatakan, hipertensi tersebut didapat karena faktor keturunan dan gaya hidup. Lantaran menurun, orang tua Rizky tak terlalu terkejut saat mengetahui anaknya memiliki hipertensi.

“Mereka juga yang mengantar saya ke rumah sakit waktu enggak bisa bangun. Begitu tahu saya kena hipertensi, enggak terlalu kaget karena memang keturunan,” ujar penulis buku Okultisme di Bandoeng Tempo Doeloe (2014) itu.

Gaya hidup Rizky pun menjadi pemicu hipertensi. Dia mengatakan, ketika itu dirinya terlalu sering begadang, kurang olahraga, dan makan sembarangan.

“Dulu kalau tidur jam 1, bangunnya pagi sekali. Jadi jam tidur saya kacau,” kata Rizky.

Saat ini, di usianya yang kepala 3, untuk mencegah hipertensinya kambuh, Rizky mengubah pola makan. Dia membatasi konsumsi makanan-makanan mengandung lemak dan jeroan.

“Sebenarnya dokter enggak melarang sama sekali. Paling sekarang kalau makan jeroan ya dibatasi satu bulan sekali,” ujar Rizky.

Selain itu, dia juga mengatur jam istirahat. “Setahun belakangan ini saya juga mulai rutin minum obat, karena kalau sudah hipertensi obatnya enggak bisa berhenti ya,” ujarnya.

Hipertensi paru

Kisah berbeda datang dari Indriani Ginoto. Dia terkena hipertensi paru sejak usianya masih 16 tahun, akibat komplikasi penyakit lupus yang dideritanya sejak usia 13 tahun. Menurutnya, hipertensi paru berbeda dengan hipertensi biasa.

“Alat ukurnya juga tidak bisa dikur oleh alat ukur biasa,” kata Indri, sapaan akrabnya, saat dihubungi, Rabu (6/2).

Hipertensi yang dialami Indri termasuk salah satu penyakit langka. Tanpa pengobatan yang baik dan memadai, lanjut perempuan yang kini berusia 37 tahun itu, harapan hidup pasien hanya dua tahun. Indri mengatakan, gejalanya mirip penyakit asma dan jantung.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Effect gue mah Omron !!!!! #sehat #hipertensi

Sebuah kiriman dibagikan oleh Sandy Andarusman (@sandypasband_) pada

“Gejala yang saya alami itu seperti gampang lelah, pusing, kaki bengkak berair,” katanya. “Jika merasakan sesak napas saat naik tangga, itu perlu waspada.”

Akses obat-obatan untuk menyembuhkan atau setidaknya mengurangi penyakitnya, karena penyakit langka, cukup sulit ditemukan di Indonesia. Dia mengaku, harus merogoh kocek dalam-dalam untuk memperoleh obat hipertensi paru yang dideritanya.

“Saya dan teman-teman tahun 2014 terdesak bikin Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, karena akses obat dan awareness yang minim ini,” kata Indri yang merupakan Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia.

Yayasan Hipertensi Paru Indonesia yang dipimpinnya, kini memiliki anggota 500 orang. Menurutnya, jumlah anggota itu bisa bertambah lagi, karena hipertensi paru memang sulit dideteksi.

Menurut Indri, seorang penderita hipertensi paru bisa menghabiskan uang Rp1 juta hingga Rp80 juta per bulan, untuk membeli obat. Kondisi ini sangat berbeda dengan India, yang harganya terjangkau.

“Di India, semua ada generiknya, (biaya yang dikeluarkan) hanya Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan,” ujar Indri yang kerap kali mencari obat generik di India.

Hingga kini, Indri mengonsumsi tiga jenis obat, yakni sildenafil, beraprost, dan bosentan, untuk menahan hipertensi paru yang dideritanya. Dia harus mengonsumsi dua hingga tiga obat sekaligus, karena menurut pengalamannya, satu obat tak mempan.

Indri sudah pasrah. Dia mengetahui, hipertensi paru itu akan dirasakannya seumur hidup.

“Karena penyebab hipertensi paru saya adalah lupus yang belum ditemukan obatnya, jadi enggak bisa sembuh. Beda dengan yang mengalami jantung bocor. Jika segera dioperasi, hipertensi paru mereka bisa sembuh,” katanya.

Muhammad Rizky Wiryawan telah lima tahun ini memiliki hipertensi atau tekanan darah tinggi. Pria yang mengajar desain di Sekolah Tinggi Al-Ma’soem, Bandung ini pernah merasakan lemas di sekujur tubuhnya dan tak bisa bangkit dari tidur.

“Terus saya ke dokter dan baru tahu kalau saya kena hipertensi,” kata Rizky saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (6/2).

Usianya masih 28 tahun, ketika dokter menvonis dirinya terkena hipertensi. Dia mengatakan, hipertensi tersebut didapat karena faktor keturunan dan gaya hidup. Lantaran menurun, orang tua Rizky tak terlalu terkejut saat mengetahui anaknya memiliki hipertensi.

“Mereka juga yang mengantar saya ke rumah sakit waktu enggak bisa bangun. Begitu tahu saya kena hipertensi, enggak terlalu kaget karena memang keturunan,” ujar penulis buku Okultisme di Bandoeng Tempo Doeloe (2014) itu.

Gaya hidup Rizky pun menjadi pemicu hipertensi. Dia mengatakan, ketika itu dirinya terlalu sering begadang, kurang olahraga, dan makan sembarangan.

“Dulu kalau tidur jam 1, bangunnya pagi sekali. Jadi jam tidur saya kacau,” kata Rizky.

Saat ini, di usianya yang kepala 3, untuk mencegah hipertensinya kambuh, Rizky mengubah pola makan. Dia membatasi konsumsi makanan-makanan mengandung lemak dan jeroan.

“Sebenarnya dokter enggak melarang sama sekali. Paling sekarang kalau makan jeroan ya dibatasi satu bulan sekali,” ujar Rizky.

Selain itu, dia juga mengatur jam istirahat. “Setahun belakangan ini saya juga mulai rutin minum obat, karena kalau sudah hipertensi obatnya enggak bisa berhenti ya,” ujarnya.

Hipertensi paru

Kisah berbeda datang dari Indriani Ginoto. Dia terkena hipertensi paru sejak usianya masih 16 tahun, akibat komplikasi penyakit lupus yang dideritanya sejak usia 13 tahun. Menurutnya, hipertensi paru berbeda dengan hipertensi biasa.

“Alat ukurnya juga tidak bisa dikur oleh alat ukur biasa,” kata Indri, sapaan akrabnya, saat dihubungi, Rabu (6/2).

Hipertensi yang dialami Indri termasuk salah satu penyakit langka. Tanpa pengobatan yang baik dan memadai, lanjut perempuan yang kini berusia 37 tahun itu, harapan hidup pasien hanya dua tahun. Indri mengatakan, gejalanya mirip penyakit asma dan jantung.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Effect gue mah Omron !!!!! #sehat #hipertensi

Sebuah kiriman dibagikan oleh Sandy Andarusman (@sandypasband_) pada

“Gejala yang saya alami itu seperti gampang lelah, pusing, kaki bengkak berair,” katanya. “Jika merasakan sesak napas saat naik tangga, itu perlu waspada.”

Akses obat-obatan untuk menyembuhkan atau setidaknya mengurangi penyakitnya, karena penyakit langka, cukup sulit ditemukan di Indonesia. Dia mengaku, harus merogoh kocek dalam-dalam untuk memperoleh obat hipertensi paru yang dideritanya.

“Saya dan teman-teman tahun 2014 terdesak bikin Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, karena akses obat dan awareness yang minim ini,” kata Indri yang merupakan Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia.

Yayasan Hipertensi Paru Indonesia yang dipimpinnya, kini memiliki anggota 500 orang. Menurutnya, jumlah anggota itu bisa bertambah lagi, karena hipertensi paru memang sulit dideteksi.

Menurut Indri, seorang penderita hipertensi paru bisa menghabiskan uang Rp1 juta hingga Rp80 juta per bulan, untuk membeli obat. Kondisi ini sangat berbeda dengan India, yang harganya terjangkau.

“Di India, semua ada generiknya, (biaya yang dikeluarkan) hanya Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan,” ujar Indri yang kerap kali mencari obat generik di India.

Hingga kini, Indri mengonsumsi tiga jenis obat, yakni sildenafil, beraprost, dan bosentan, untuk menahan hipertensi paru yang dideritanya. Dia harus mengonsumsi dua hingga tiga obat sekaligus, karena menurut pengalamannya, satu obat tak mempan.

Indri sudah pasrah. Dia mengetahui, hipertensi paru itu akan dirasakannya seumur hidup.

“Karena penyebab hipertensi paru saya adalah lupus yang belum ditemukan obatnya, jadi enggak bisa sembuh. Beda dengan yang mengalami jantung bocor. Jika segera dioperasi, hipertensi paru mereka bisa sembuh,” katanya.

Hipertensi primer dan sekunder

Hipertensi seringkali disebut sebagai pembunuh senyap. Sebab, gejalanya seringkali tanpa keluhan dan penderita baru mengetahuinya setelah terjadi komplikasi.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018, jumlah penderita hipertensi penduduk Indonesia usia 18 tahun ke atas cenderung mengalami peningkatan sejak 2013, sebesar 25,8% menjadi 34,1% pada 2018.

Dokter Bambang Budi Siswanto mengatakan, hipertensi artinya peninggian tekanan darah dibandingkan kondisi normal. Jenis hipertensi yang diderita Rizky, kata Bambang, termasuk dalam hipertensi sistemik.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Halo Healthies! tahukah kalian, Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek mengatakan masalah hipertensi di Indonesia hampir 40 persen. Apabila jumlahnya terus bertambah akan menyebabkan kerugian negara. . Ayo beritahu warga, tetangga, teman, kita harus hidup sehat. Kita harus perkuat negara kita dengan produktif dan hidup sehat . . #Indonesiasehat #programpemerintah #hipertensi #GERMAS #dukunggermas . . . . sehatnegeriku.kemkes.go.id Follow kami: Facebook : Kementerian Kesehatan RI Twitter : @kemenkesRI Youtube : Kementerian Kesehatan RI flickr : sehatnegeriku ????HALO KEMENKES 1500567 (24 hours) #kemenkesfact #kemenkestips #KEMENKESRI #sehatnegeriku

Sebuah kiriman dibagikan oleh KEMENTERIAN KESEHATAN RI (@kemenkes_ri) pada

Menurut dokter spesialis kardiologi ini, ada dua penyebab hipertensi. Pertama, hipertensi primer.

“Ini penyebabnya kita tidak tahu. Bisa dikaitkan dengan gaya hidup, atau faktor keturunan. Faktor keturunan juga kita belum tahu gen mana yang membawa hipertensi. Namun, jika ibu atau bapaknya hipertensi, salah satu anaknya bisa kena,” kata Bambang saat dihubungi, Rabu (6/2).

Kedua, lanjut dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Premier Jatinegara dan Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading ini, adalah hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder biasanya ini disebabkan oleh penyakit lain.

“Hipertensi paru, kasusnya di Indonesia didapatkan oleh orang-orang dengan cacat jantung bawaan dari lahir, atau penyakit lupus, dan tak disebabkan oleh gaya hidup seperti hipertensi sistemik,” ujar Bambang.

Hipertensi bila tak diatasi bisa memicu kematian.

Cacat jantung bawaan ini, kata Bambang, salah satunya bisa disebabkan oleh pola konsumsi obat ibu saat hamil. Dia mengatakan, hipertensi yang terjadi selama bertahun-tahun dan tak diobati akan menyebabkan pembuluh darah di otak pecah halus.

“Lalu akan terjadi stroke tiba-tiba. Gejalanya bisa pusing, gangguan penglihatan, atau cacat. Kalau ke mata, retinanya bisa lepas, bisa menyebabkan kebutaan. Bahkan jika tak ditangani, hipertensi bisa menyebabkan kematian,” kata Bambang.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan