close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Merujuk data dari Kementerian Kesehatan, sejak pertama kali ditemukan hingga Juni 2018, HIV/AIDS sudah dilaporkan keberadaanya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Merujuk data dari Kementerian Kesehatan, sejak pertama kali ditemukan hingga Juni 2018, HIV/AIDS sudah dilaporkan keberadaanya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 02 Desember 2019 21:46

Histeria penyakit HIV/AIDS di Indonesia

Kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia terjadi pada 1987.
swipe

Setiap 1 Desember, dunia memperingati Hari AIDS—Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS merupakan gejala dan infeksi yang muncul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat human immunoveficiency virus (HIV).

Menurut artikel “Origin of HIV & AIDS” yang terbit di Avert.org, AIDS ditemukan pertama kali di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, pada 1920-an di seekor simpanse.

Menurut Steve Hendrix di artikel “A mystery illness killed a boy in 1969. Years later, doctors believed they’d learned what it was: AIDS” di Washington Post edisi 15 Mei 2019, pada 1969 seorang pemuda bernama Robert Rayford di Amerika Serikat, meninggal dunia, usai berjuang melawan penyakit misterius.

Robert, yang saat itu berusia 16 tahun, membuat dokter yang menanganinya kebingungan. Ia terserang penyakit, yang sebelumnya tak pernah ditemukan. Tubuhnya kurus, lemah, penuh infeksi, mirip kanker langka yang dikenal sebagai sarkoma kaposi, dan penyakit kulit yang biasa ditemukan pada lansia keturunan Mediterania.

Kemudian, lebih dari satu dekade, dokter menemukan kasus serupa di beberapa pria homoseksual di New York dan California. Baru pada 1982, dengan wabah penyakit yang meningkat, infeksi virus yang kemudian dinamakan AIDS itu menjadi ancaman serius.

Ancang-ancang ancaman AIDS

Pada 1983, seorang dokter yang pernah menimba ilmu di Paris, Prancis, Zubairi Djoerban, pulang ke Indonesia. Ia lantas mempraktikkan pengalamannya, dalam menangani AIDS.

Di Prancis, menurut penuturannya dalam pidato pengukuhan guru besar tetap ilmu penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 20 Desember 2003, Zubairi pertama kali menangani pasien AIDS pada Maret 1983.

“Saya melakukan penelitian pada kalangan waria di Pasar Rumput, Jakarta. Dari 15 orang yang diperiksa, tiga di antaranya memenuhi kriteria minimal untuk diagnosis AIDS,” kata Zubairi di pidato pengukuhan guru besar yang diberi judul “HIV/AIDS di Indonesia: Masa Kini dan Masa Depan”.

Akan tetapi, Zubairi mengeluh. Saat itu, di tanah air belum ada teknologi untuk menyimpan darah. Sehingga, pasien yang ditelitinya takbisa diperiksa tes HIV. Gejala AIDS pun masih kabur batasannya.

Pada 14-17 April 1984, Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat mengeluarkan batasan ketat diagnosa AIDS. Lantas, Zubairi menyimpulkan, tiga waria yang ditelitinya tadi, belum bisa dikatakan terserang AIDS. Maka, kasus tadi tak dilaporkan sebagai penyakit AIDS pertama di Indonesia.

Zubairi, yang kemudian dikenal sebagai perintis penelitian AIDS di Indonesia itu menegaskan, masyarakat tak perlu khawatir dengan bahaya AIDS.

Salah satu penari dari SMA Negeri 1 Serui berpose usai mengikuti acara di Aula Silas Papare, Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Sabtu (30/11). /Antara Foto.

“Sebab AIDS tak mudah menyerang orang yang bukan dari kelompok risiko tinggi, seperti kaum homo, pecandu narkotik, dan penderita homofilia,” kata Zubairi, dikutip dari Kompas edisi 10 Agustus 1985.

Menurut informasi dalam “History of HIV and AIDS Overview” yang dimuat di Avert.org, pada akhir 1984 ada 7.699 kasus AIDS di Amerika Serikat, 3.665 di antaranya berujung kematian. Sementara di Eropa, dilaporkan terdapat 762 kasus.

Meski di negara-negara Eropa AIDS menjadi ancaman, tetapi seorang dokter ahli kulit dan peneliti AIDS dari Amerika Serikat yang berkunjung ke Indonesia pada 1985 merasa heran. Dikutip dari Kompas edisi 10 Agustus 1985, ia menilai dokter di Indonesia dianggap terlalu santai menanggapi “histeria” AIDS.

“Mungkin AIDS memang belum ada di Indonesia, atau dokter-dokter kita yang belum siap karena gejala-gejala AIDS sulit dikenali. Sebab mirip infeksi-infeksi lain,” ujar ahli imunologi dan Kepala Bagian Biologi Fakultas Kedokteran UI Arjatmo Tjokronegoro, dikutip dari Kompas edisi 10 Agustus 1985.

Arjatmo mengatakan, AIDS sudah menggeser ancaman penyakit herpes, usai aktor serial televisi The Devlin Connection, Rock Hudson, diberitakan terkena AIDS. Ketika itu, serial televisi tersebut tayang di TVRI.

Bahkan, ada kabar burung yang menyampaikan, jangan berenang di kolam-kolam renang di hotel internasional, nanti tertular AIDS yang dibawa turis.

Arjatmo juga heran, hingga 1985 belum ada laporan kasus AIDS di Indonesia. Padahal, transportasi antarnegara sudah begitu pesat. Ia menduga, orang Indonesia terlindungi karena aspek genetik rasional.

Sementara itu, ahli imunologi di bagian patologi anatomi Fakultas Kedokteran UI Santoso Cornain menyebut, pola epidemiologi AIDS mungkin amat berbeda dengan masyarakat Asia-Afrika.

Harryanto Reksodiputro, staf subbagian hematologi penyakit dalam Fakultas Kedokteran UI khawatir, bila AIDS masuk ke Indonesia, beban biaya amat mahal, meski hanya untuk pemeriksaan darah dan antibodi orang-orang yang diduga mengidap HIV.

Zubairi, seperti dikutip Kompas edisi 10 Agustus 1985, memaparkan sembilan gejala orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Pertama, rasa lelah dan sakit kepala yang menetap.

Kedua, demam dan keringat malam yang berlebihan. Ketiga, penurunan berat badan, bukan karena depresi atau kegiatan fisik. Keempat, pembesaran kelenjar getah bening.

Kelima, benjolan pada kulit atau semacam panu. Keenam, batuk-batuk berat dan lama. Ketujuh, diare yang tidak kunjung sembuh.

Kedelapan, sariawan diliputi selaput putih pada lidah atau tenggorokan. Kesembilan, dari kulit, mulkosa mulut, hidung, atau anus mudah berdarah.

Namun, gejala-gejala itu perlu dipastikan kembali dengan pemeriksaan subpopulasi limfosit dan antibodi terhadap virus HIV. Selain itu, diperlukan pemeriksaaan kuman oportunistik, seperti pneumonia dan kanker sarkoma kaposi.

Walau di Indonesia belum ditemukan kasus AIDS, Zubairi menegaskan, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Fakultas Kedokteran UI tetap membentuk satuan tugas untuk mengkaji masalah AIDS, berjaga-jaga timbulnya wabah.

Ribuan peserta membentuk formasi Pita Merah saat pemecahan rekor MURI di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (30/11). /Antara Foto.

Menyerang turis Belanda

Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat menemukan lima kasus diduga penyakit AIDS di Bali pada 1985. Disebutkan di dalam Kompas edisi 3 September 1985, lima kasus tersebut akibat hubungan seks, terutama sesama jenis.

Lima orang yang diduga terinfeksi AIDS, terdiri dari turis asing dan warga setempat. Suwardjono mengingatkan, hubungan heterogen dengan lawan jenis pun bisa menjadi awal penularan penyakit mematikan itu.

“Departemen Kesehatan akan mempelajari penyakit AIDS dan menyusun konsep pencegahan lewat kerja sama dengan pihak pariwisata. Tapi, soalnya jangan dibesar-besarkan, sehingga bisa membuat masyarakat gelisah,” tutur Suwardjono, dilansir dari Kompas, 3 September 1985.

Anehnya, seperti dikutip dari Kompas edisi 4 September 1985, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Bali I Gusti Made Subandi, serta Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman Adhyatma malah menyatakan belum mendengar kabar adanya kasus AIDS di Bali.

Adhyatma beralasan, sulit mencegah penyebaran penyakit AIDS karena Indonesia negara yang terbuka dengan praktik pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo.

“Dan pemberantasan kemesuman bukan tugas Depkes,” kata Adhyatma, dikutip dari Kompas, 4 September 1985.

Dikutip dari Kompas edisi 11 April 1987, I Gusti Made Subadi menduga, lima orang itu baru tahap pra-AIDS. Menteri Kesehatan Suwardjono belakangan mengatakan, belum ada penderita AIDS di Indonesia saat menanggapi kematian seorang pasien perempuan di Rumah Sakit Islam Jakarta pada Januari 1986.

“Terdapat kesan pemerintah berusaha menjaga citra bahwa Indonesia masih bebas dari AIDS, sehingga turis asing tak perlu segan datang berlibur ke mari,” tulis Kompas edisi 11 April 1987.

Kesan menyembunyikan kasus AIDS pun dilontarkan Ketua Panitia Penanggulangan AIDS Nasional A.A. Loedin. Ia marah ketika menjawab pertanyaan wartawan pada 1987.

“Betul, AIDS sudah masuk ke Indonesia, betul AIDS sudah meluas ke berbagai negara, tapi kan tak perlu digembar-gemborkan,” kata dia di depan para wartawan, seperti dikutip dari artikel “AIDS Tanpa Gembar-Gembor” di Tempo, 3 Oktober 1987.

Anggota Komunitas Literasa Kolektif menggelar aksi ekperimen sosial Hari Aids Sedunia di lokasi kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) Solo, Jawa Tengah, Minggu (1/12). /Antara Foto.

Ia geram ditanya tiga penderita AIDS di Indonesia, yang menurut pers sudah disinggung pada seminar penyakit kelamin di Bali pada akhir September 1987. Loedin merasa, di seminar itu ia hanya mengungkapkan tes darah positif, bukan ada penderita AIDS.

“Indonesia akhirnya melaporkan kasus AIDS, walaupun penderitanya harus diimpor,” tulis Kompas edisi 11 April 1987.

Pada 5 April 1987, Indonesia masuk daftar negara ke-13 di Benua Asia yang melaporkan kasus AIDS ke World Health Organization (WHO).

Kasus itu adalah matinya seorang turis Belanda bernama Edward Hop di Bali pada April 1987. Menurut Loedin, seperti dicuplik dari Tempo edisi 3 Oktober 1987, ada lima kasus AIDS, yakni diidap dua turis dan tiga orang Indonesia. Satu turis lagi bernama Solomon, pacar Hop yang dipulangkan ke Belanda.

“Almarhum sendiri mungkin seorang Indo, dan perjalanannya ke Indonesia adalah semacam trip kenang-kenangan. Waktu ke Ambon ia sebenarnya sudah sakit, dan di Bali malah kelelahan karena itu sepanjang hari ia berada di kamarnya,” ujar Loedin, dikutip dari Kompas edisi 11 April 1987.

Loedin mengungkapkan, Edward berasal dari Kartinistraat, Belanda. Ia tiba di Indonesia pada 26 Februari 1987. Setelah mengunjungi Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Ambon, Edward bertolak ke Denpasar pada 26 Maret 1987.

Kompas edisi 11 April 1987 menulis, Edward mengunjungi Bali bersama grup Reizvereniging, kakak kandung, kakak ipar, dan delapan teman sejawatnya. Sebelum dirawat di RS Umum Pusat Sanglah pada 1 April 1987, Edward sempat menginap di Sariyasa Samudera Bungalow di Kuta.

Mulanya, para dokter di RSUP Sanglah mengira Edward mengidap penyakit radang paru-paru karena bagian tubuhnya terdapat bercak-bercak cokelat.

Berdasarkan pengakuan Solomon, Edward telah menderita AIDS sejak 1986 di Belanda. Demi mencegah kemungkinan penularan, Kepala Kanwil Depkes Bali I Gusti Subandi memerintahkan agar membersihkan kamar hotel tempat Edward menginap, serta tempat perawatannya di RSUP Sanglah dengan lisol dan disinfektan.

Seorang pengidap AIDS lainnya tinggal di Bali, dan dua orang bermukim di Jakarta. Menurut Loedin, dua orang yang tinggal di Jakarta berada dalam pengawasan subbagian hematologi bagian penyakit dalam RS Cipto Mangunkusumo.

“Keduanya, laki-laki berusia 20-30 tahun, belum menikah, dan bukan homoseks,” ujar Harryanto, Kepala Subbagian Hematologi RS Cipto Mangunkusumo, seperti dilansir dari Tempo.

Menurut Harryanto, salah seorang lama tinggal di luar negeri, kemungkinan tertular dari sana. Satu lainnya menderita penyakit kurangnya salah satu faktor pembeku darah sejak kecil. Ia diberi pembeku darah secara tetap, obat itu dari luar negeri. Kemungkinan ia tertular dari transfusi darah itu.

Sudah jelas-jelas ada wabah AIDS yang masuk ke Indonesia, Loedin lagi-lagi berkilah.

“Kasus Bali tak usah dirisaukan. Masuknya AIDS ke Indonesia hanya soal waktu. Tapi yakinlah, tak akan menyebar secara luas di berbagai daerah di Indonesia karena gaya hidup kita tidak permisif seperti orang Barat,” ujar Loeddin, dikutip Kompas edisi 11 April 1987.

Infografik. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Lebih lanjut, ia mengatakan, kegelisahan dari Amerika Serikat dan Eropa diekspor ke luar melalui media massa. Padahal, kata dia, lebih banyak penyakit infeksi lain yang lebih perlu mendapat perhatian di Indonesia.

“Yang perlu kita ketahui hanya agar tidak mati konyol oleh AIDS,” kata dia.

Pada kenyataannya, HIV/AIDS memang menjadi salah satu penyakit paling mematikan di dunia, termasuk Indonesia, dan kasusnya terus bertambah seiring waktu.

Merujuk data dari Kementerian Kesehatan, sejak pertama kali ditemukan hingga Juni 2018, HIV/AIDS sudah dilaporkan keberadaanya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.

Jumlah kasus yang dilaporkan pada April hingga Juni 2019 sebanyak 11.619 orang, sebagian besar diidap kelompok usia 25-49 tahun. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan hingga Juni 2019 sebanyak 349.882—60,7% dari estimasi orang dengan HIV tahun 2016 sebanyak 640.443 orang.

Sementara provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta, (55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757).

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan