close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Atlet bulu tangkis asal Korea Selatan, An Se-young (kiri) dan pelatihnya Rony Agustinus (kanan)./Foto Instagram An Se-young/@a_sy_2225
icon caption
Atlet bulu tangkis asal Korea Selatan, An Se-young (kiri) dan pelatihnya Rony Agustinus (kanan)./Foto Instagram An Se-young/@a_sy_2225
Sosial dan Gaya Hidup - Olahraga
Rabu, 07 Agustus 2024 06:07

Hubungan antara pelatih-atlet menentukan prestasi

Riset menemukan, hubungan produktif pelatih-atlet jadi faktor pembeda yang menonjol dari para atlet yang menunjukkan penampilan terbaik atau peraih medali Olimpiade.
swipe

“Saya bisa berhasil menyelesaikan kompetisi (Olimpiade 2024) ini berkat bantuan pelatih (Rony) Agustinus,” ujar atlet bulu tangkis tunggal putri asal Korea Selatan An Se-young usai meraih medali emas Olimpiade 2024 di Paris, Prancis, Senin (5/8), seperti dikutip dari MK.

Rony adalah pelatih asal Indonesia yang sudah melatih Se-young setelah Asian Games Hangzhou, China tahun lalu. Strategi Rony berhasil membuat Se-young menang atas atlet bulu tangkis Indonesia Gregoria Mariska Tunjung di semi final dan mengalahkan tunggal putri asal China, He Bingjiao di final. Rony pula yang bersama Se-young kala pemain tepuk bulu berusia 22 tahun itu dibekap cedera lutut tahun lalu.

Hubungan antara pelatih dan atlet disebut-sebut sebagai kunci mencapai kemenangan dalam olahraga. Seorang mantan atlet asal Kanada, Penny Werthner, menurut konsultan senior sekaligus mantan atlet dayung Australia, Boden Joseph “Bo” Hanson dalam Athlete Assessments, pernah melakukan penelitian soal kinerja atlet. Penelitian Werthner menemukan, hubungan produktif pelatih-atlet adalah satu dari lima faktor pembeda yang menonjol dari para atlet yang menunjukkan penampilan terbaik atau peraih medali Olimpiade.

Empat lainnya ialah kesadaran diri yang tinggi dari atlet, kualitas lingkungan tempat latihan, pengelolaan lingkungan kompetisi, serta mekanisme pendukung seperti dorongan keluarga atau staf di sekitar atlet. Penelitian Werthner berdasarkan wawancara terhadap 27 atlet Olimpiade dan Paralimpiade, serta 30 pelatih yang kemudian dianalisa.

“Saya mendefinisikan hubungan pelatih-atlet sebagai hubungan saling percaya dan menghormati,” tulis Hanson dalam Athlete Assessments.

“Masing-masing mengetahui apa yang diharapkan satu sama lain, mereka memahami cara satu sama lain berkomunikasi dan cara memaksimalkan kekuatan dalam konteks olahraga mereka.”

Menurut Hanson, atlet yang punya keterikatan yang dekat dengan pelatihnya akan lebih merasa aman dalam mengeksplorasi kemampuan mereka, serta mampu memberikan 100% usaha dengan percaya diri. Jika hubungan pelatih-atlet rusak, kata Hanson, kinerja dalam pertandingan sering kali buruk.

Dalam penelitian yang diterbitkan jurnal Sports (2019), para peneliti asal Australia menyebut, atlet lebih menyukai pelatih yang punya pandangan positif dan pola pikir yang berpusat pada atlet. Kemampuan untuk bekerja dengan atlet sebagai individu, menetapkan tujuan bersama, dan mengadaptasi program latihan dengan kebutuhan, menurut para peneliti, penting untuk membangun kepercayaan dalam hubungan pelatih-atlet.

Peneliti dari China, Australia, dan Inggris, yakni S.X. Yang, S. Jowett, dan D.K.C. Chan dalam riset mereka yang diterbitkan Scandinavian Journal of Medicine & Science in Sports (2014) tentang hubungan pelatih-atlet di China menemukan, ketika pelatih dan atlet punya ciri-ciri kepribadian yang mudah bergaul, banyak bicara, dan ramah, maka akan menguntungkan hubungan mereka. Sementara, menjadi mudah tersinggung, minder, atau cemas punya dampak negatif.

Dalam penelitian lainnya yang diterbitkan di jurnal Psychology of Sport and Exercise (2022), Joseph R. Stanford, Laura C. Healy, Mustafa Sarkar, dan Julie P. Johnston dari Nottingham Trent University, Inggris menemukan, atlet dan pelatih bisa mengidentifikasi peran dan sifat kepribadian mereka. Mereka pun menemukan, ciri-ciri kepribadian tidak terlalu penting dibandingkan kesadaran tentang bagaimana kepribadian pelatih memengaruhi mereka.

Selanjutnya, dikutip dari the Conversation, Laura Healy dan Joseph Stanford mengatakan, mereka memperluas penelitian untuk mengeksplorasi peran ciri-ciri kepribadian triad gelap dalam hubungan pelatih-atlet. Ciri-ciri tersebut kerap dianggap negatif karena dikaitkan dengan sifat narsisme, manipulatif, atau kurang empati (psikopati).

“Dilaporkan, atlet punya tingkat sifat-sifat ini yang lebih tinggi dibandingkan non-atlet. Penelitian yang mencakup sampel atlet dan pelatih cenderung menemukan, mereka memiliki tingkat sifat triad gelap yang serupa,” ujar Healy dan Stanford dalam the Conversation.

Menurut mereka, atlet yang berkompetisi dalam olahraga individu lebih cenderung memiliki sifat triad gelap dibanding olahraga tim. Healy dan Stanford menyebut, ketika pelatih punya narsisme yang lebih tinggi, mereka melaporkan perilaku kurang kooperatif terhadap atletnya.

“Dengan kata lain, mereka mungkin kurang tanggap terhadap kebutuhan atletnya,” kata Healy dan Stanford.

Sebaliknya, pasangan atlet-pelatih dengan tingkat narsisme yang berbeda, merasa lebih dekat satu sama lain, dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi. Lalu, atlet dengan tingkat psikopati tinggi—yang dikaitkan dengan sifat kurang empati—cenderung kurang punya komitmen dan kurang menghormati pelatih mereka. Sementara pelatih yang punya sifat ini memiliki tingkat kedekatan, komitmen, dan kepemimpinan yang lebih rendah.

Kemudian, pelatih yang punya sifat manipulatif cenderung punya perilaku yang kurang kooperatif dalam hubungan dengan atletnya. Selain itu, atlet dengan tingkat manipulatif yang tinggi cenderung kurang berkomitmen dan kurang bersedia melakukan yang terbaik untuk pelatihnya.

“Penelitian kami menunjukkan, meskipun ciri-ciri triad gelap dapat menyebabkan kinerja yang lebih tinggi dalam olahraga, tetapi hal tersebut dapat merusak kualitas hubungan antara pelatih dan atlet,” tulis Healy dan Stanford dalam the Conversation.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan