close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi./Foto cottonbro studio/Pexels.com
icon caption
Ilustrasi./Foto cottonbro studio/Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 04 Desember 2024 16:04

Humor agresif yang tak lucu ala Miftah Maulana

Humor agresif melibatkan hinaan yang ditujukan kepada orang lain.
swipe

Usai potongan video yang mengolok-olok penjual es teh di sebuah acara majelis di bilangan Magelang, Jawa Tengah, viral di media sosial, pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah langsung membuat video klarifikasi dan permintaan maaf. Dia pun segera menyambangi rumah penjual es teh, Sunhaji di Grabag, Kabupaten Magelang.

Mulanya, di acara majelis itu, Utusan Khusus Presiden bidang Kerukunan Beragama tersebut menanyakan dalam bahasa Jawa kepada seorang penjual es teh—yang berdiri di antara jemaah, menjunjung kayu alas dagangan di atas kepalanya.

“Es teh kamu masih banyak atau tidak? Masih? Ya sana dijual g****!” ucap Miftah, diiringi tawa keras jemaah.

“Kamu jual dulu, nanti kalau belum laku, ya sudah, takdir,” ujarnya lagi.

Dalam video klarifikasinya, Miftah mengaku sering bercanda dengan siapa pun. Meski banyak warganet yang menilai, bercanda ala Miftah tidak lucu dan cenderung merendahkan orang lain, ada pula yang menganggap ucapan Miftah itu sebagai bagian dari humor.

Dikutip dari majalah Tebuireng, humor dalam bahasa Arab ditulis dengan kata al-mizah, yang secara etimologi berarti candaan, tidak serius, atau tidak bersungguh-sungguh. Menurut pandangan Islam, humor bisa menjadi buruk jika mencaci, kufur, bohong, memalingkan dari ingat Allah, buruk dalam kata atau tindakan, serta mengejek agama.

Encyclopedia Britannica menyebut, tahun 1961 sebuah survei yang dilakukan terhadap anak-anak Amerika berusia delapan hingga 15 tahun menemukan, penghinaan, ketidaknyamanan, atau tipuan terhadap orang lain mudah menyebabkan tawa. Namun, komentar yang jenaka sering kali luput dari perhatian.

Di sini, ada tampak ada korelasi antara penghinaan dan tawa. Filsuf Yunani Aristoteles pernah mengatakan, tertawa berhubungan erat dengan keburukan dan kehinaan. Filsuf Romawi, Cicero, pun menganggap wilayah kekonyolan terletak pada kehinaan dan cacat tertentu.

Seattle Times menulis, meski tampaknya tidak menyenangkan, sebagian dari kita menertawakan orang lain yang merasa malu atau terluka. Pola asuh, tingkat kenyamanan, dan kepribadian barangkali menjelaskan mengapa sebagian orang bisa menikmati penderitaan orang lain.

Menurut profesor humaniora di Randolph-Macon College, M. Thomas Inge, ada humor yang membuat seseorang merasa superior.

Akan tetapi, profesor komunikasi dan psikologi di Virginia Tech, Jim Weaver mengingatkan, manusia tidak homogen. “Kita tidak semuanya sama secara fisik, psikologis, atau watak,” kata Weaver kepada Seattle Times.

Seorang pencari sensasi barangkali bisa tertawa. Seorang yang mudah bergaul, mungkin membantu. Sedangkan seorang yang cemas, mungkin mengalihkan pandangan.

Para peneliti dari University of Western Ontario dalam riset yang diterbitkan Journal of Research in Personality (2003) membagi humor menjadi empat, yakni humor afiliatif, humor yang menertawakan diri sendiri, humor yang merendahkan diri sendiri, dan humor agresif.

Humor afiliatif melibatkan lelucon tentang segala hal sehari-hari yang mungkin dianggap lucu oleh semua orang. Humor yang menertawakan diri sendiri mengisahkan sesuatu yang buruk terjadi pada kita.

Humor yang merendahkan diri sendiri terkait segala hal yang rendah dalam dirinya yang diungkapkan untuk menimbulkan tawa. Sedangkan humor agresif melibatkan hinaan yang ditujukan kepada orang lain.

“Jika humor (agresif) ini dimaksudkan untuk mengancam atau menyakiti orang lain secara psikologis, humor tersebut digunakan oleh para ‘penindas’. Meskipun sebagian penonton humor jenis ini akan menganggapnya lucu, sebagian lainnya mungkin tertawa untuk menutupi perasaan tidak nyaman,” tulis profesor dalam bidang kepemimpinan dan psikologi organisasi di Claremont McKenna College, Ronald E. Riggio dalam Psychology Today.

Penulis Femi Olivia dan A. Noverina dalam buku Menyeimbangkan Otak Kiri dan Otak Kanan dengan Tertawa (2011) menyebut, humor yang merendahkan adalah jenis lelucon yang agresif, digunakan untuk mengkritik atau memanipulasi orang lain, dengan hal-hal sarkastis serta menggelikan.

“Untuk melegalkan apa yang dilakukan orang penyuka humor merendahkan, mereka sering menggunakan alasan cuma bercanda,” tulis Femi dan Noverina.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan