close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bullying di tempat kerja. Alinea.id/Muji Prayitno.
icon caption
Ilustrasi bullying di tempat kerja. Alinea.id/Muji Prayitno.
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 11 September 2021 13:52

Bullying di tempat kerja: Pria rentan jadi target, cenderung diabaikan

Bullying atau perundungan di tempat kerja bisa menimpa pria, dengan risiko kesehatan mental yang lebih besar dibanding perempuan.
swipe

Awal September 2021, sebuah rilis yang berisi kronologi kekerasan seksual dan perundungan (bullying) terhadap seorang karyawan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) MS viral di media sosial. MS dan komisioner KPI lalu melaporkan kasus ini ke polisi.

MS mengaku dirisak beberapa seniornya sejak 2011. Bahkan, MS membuat pengakuan mengejutkan bahwa dirinya pernah ditelanjangi dan buah zakarnya dicoret dengan spidol. MS mengalami trauma akibat dugaan perundungan yang dialami bertahun-tahun di tempat kerjanya itu.

Jadi perhatian di Eropa

Perundungan di tempat kerja pernah menjadi pembahasan khusus di radio BBC di Inggris pada 1990, melalui program dokumenter. Menurut Charlotte Rayner, Helge Hoel, dan Cary L. Cooper dalam buku Worklplace Bullying: What We Know, Who is to Blame, and What can We do? (2002), dalam program tersebut, jurnalis Andrea Adams memutar rekaman wawancara orang-orang yang mengungkap pengalaman tak menyenangkan mereka di tempat kerja.

Andrea kemudian menulis sebuah buku terkait perundungan di tempat kerja, berjudul Bullying at Work: How to Confront and Overcome it (1992). Lewat siaran radio BBC dan buku Andrea, kesadaran publik tentang intimidasi di kantor semakin besar.

Satu dekade sebelumnya, disebut dalam buku Workplace Bullying, akademikus Swedia Heinz Leymann sangat intens menulis, mengampanyekan, dan meneliti masalah ini.

Karyawan beraktivitas di sebuah gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Foto Antara/Wahyu Putro A.

Menurut psikolog dari Universitas Brawijaya (UB) Ika Adita Silviandari dan psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Alvin Fadilla Helmi dalam tulisan mereka “Bullying di Tempat Kerja di Indonesia” terbit di Buletin Psikologi, Volume 26, Nomor 2, 2018, Leymann menemukan perilaku bermusuhan dalam jangka panjang yang punya karakteristik serupa seperti riset Dan Olweus pada 1960-an.

“Fenomena yang diamati Leymann itu terjadi pada karyawan. Heinz Leymann dianggap sebagai peneliti pertama dan pelopor dalam penyebaran istilah bullying atau mobbing di Eropa,” tulis Ika dan Alvin.

Ika dan Alvin menyebut, penelitian Leymann berawal dari studi kasus sejumlah perawat yang melakukan atau mencoba bunuh diri karena ada sebuah peristiwa di tempat kerja mereka.

Di buku Leymann, Vuxenmobbning: Om Psykiskt våld i arbetslivet (1986), mobbing didefinisikan sebagai perilaku bermusuhan dan komunikasi yang tak etis, yang diarahkan secara sistematis oleh satu atau beberapa individu terhadap satu individu lainnya.

Mobbing membuat individu menjadi terdesak kepada posisi yang tidak berdaya dan lemah, di mana mereka kemudian ditahan pada posisi tersebut dan aktivitas intimidasi ini akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama,” tulis Ika dan Alvin.

Bullying di tempat kerja menjadi masalah yang masih sering terjadi hingga saat ini. Survei yang dilakukan Workplace Bullying Institute di Amerika Serikat pada 2017 menunjukkan, 19% warga Amerika mengalami perundungan di tempat kerja, 19% menyaksikan adanya bullying, dan 63% menyadari adanya bullying.

Menurut Helen Cowiea dari University of Surrey Roehampton, Paul Naylor dari College of Ripon and York St John, Ian Riversb dan Peter K. Smithc dari Goldsmiths College University of London, serta Beatriz Pereirad dari University of Minho dalam tulisan mereka, “Measuring Workplace Bullying” di jurnal Pergamon, Nomor 7, 2002, bullying merupakan bagian dari perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang, di mana ada ketidakseimbangan kekuatan sehingga korban sulit membela diri.

Perilaku intimidasi di tempat kerja, sebut mereka merujuk penelitian Rayner dan Ho”el (1997), berupa ancaman terhadap status profesional, misalnya meremehkan pendapat, penghinaan pekerjaan, dan tuduhan usaha yang kurang; ancaman terhadap kedudukan pribadi, misalnya penghinaan atau merendahkan dengan mengacu pada usia; isolasi, misalnya mencegah akses ke peluang, pemotongan informasi, serta isolasi sosial; terlalu banyak bekerja, misalnya tekanan yang tak semestinya, tenggat waktu yang mustahil, dan gangguan yang tak perlu; serta destabilisasi, misalnya penghapusan tanggung jawab dan mengingat kesalahan berulang.

Nurul Inayah Zainuddina dan Muhammad Fitrah Ramadhan Umar dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) dalam tulisan “Pengaruh Perundungan di Tempat Kerja pada Komitmen Organisasi dengan Organizational Strain sebagai Variabel Mediator” di jurnal Fenomena Volume 29, Nomor 1, 2020, menulis pelaku perundungan terbesar di tempat kerja adalah atasan (72%) dan target utama terbesarnya adalah perempuan (67%).

Cowiea, Naylor, Riversb, Smithc, dan Pereirad dalam penelitiannya mengemukakan, hubungan antarkaryawan dalam sebuah organisasi kerja juga bisa menjadi faktor utama perundungan. Hal ini disebut dengan konsep intimidasi relasional, di mana pelaku merusak jaringan pertemanan korban dan intimidasi tak langsung lewat pihak ketiga, seperti menyebar rumor.

Intimidasi relasional dan intimidasi tak langsung ini, sebut Cowiea, Naylor, Riversb, Smithc, dan Pereirad punya kesamaan dengan ekspresi manipulasi sosial dan bisa kerap luput dari perhatian orang lain.

“Oleh karena itu, sangat sulit bagi para korban untuk melapor pengalaman mereka, atau untuk dipercaya jika mereka mengalaminya,” tulis Cowiea dkk.

Hal ini tampaknya sesuai dengan kasus MS yang mengaku sudah melaporkan perundungan yang dialaminya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui surat elektronik pada 2017, tetapi hanya diarahkan melapor ke kepolisian.

Pada 2019, MS juga melapor ke Polsek Gambir, tetapi polisi menganjurkan diselesaikan secara internal. Pada 2020, korban kembali melapor ke kepolisian, namun hasilnya kembali nihil.

“Orang-orang yang telah diintimidasi melaporkan bahwa hal itu memengaruhi mereka secara fisik dan mental, stres, depresi, dan penurunan harga diri,” tulis Cowiea dkk.

Merujuk penelitian Tinuke M. Fapohunda berjudul Towards Effective Team Building in the Workplace (2013), Nurul dan Fitrah menyebut, ada hubungan yang signifikan antara gender dan perundungan di tempat kerja.

“Ia (Fapohunda) menyatakan bahwa perempuan cenderung lebih banyak menjadi korban di tempat kerja daripada pria,” tulis Nurul dan Fitrah.

Ilustrasi kantor./Unsplash.com

Pria juga bisa jadi sasaran

Namun, tak menutup kemungkinan, pria juga menjadi sasaran perundungan di tempat kerja, seperti yang diduga menimpa MS di KPI.

Menurut Sue M. O’Donnell dan Judith A. MacIntosh dari University of New Brunswick Kanada dalam “Gender and Workplace Bullying: Men’s Experiences of Surviving Bullying at Work” di jurnal SAGE (2015), seorang pria barangkali menghadapi tantangan yang berbeda daripada perempuan ketika mereka diintimidasi.

“Misalnya, konstruksi dan ekspresi gender dapat memengaruhi kerentanan dan paparan pengalaman bullying di tempat kerja serta sifat dan beratnya pengalaman tersebut,” tulis O’Donnell dan MacIntosh.

O’Donnell dan MacIntosh mengutip riset D. Salin “The Significance of Gender in the Prevalence, forms and Perceptions of Workplace Bullying” (2003) menyebut, secara umum laki-laki mungkin lebih ragu-ragu daripada perempuan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai target perundungan.

O’Donnell dan MacIntosh melanjutkan, seorang perempuan dan laki-laki kemungkinan menanggapi perundungan di tempat kerja dengan cara berbeda. Pria lebih mungkin menanggapi intimidasi dengan cara menghadapi atau membalasnya. Namun, tak semua pria berbuat demikian.

Seorang pria yang mengalami perundungan, sebut O’Donnell dan MacIntosh, lebih sedikit daripada perempuan untuk mencari bantuan kesehatan mental mereka. Padahal, tulis Michael Rosander, Denise Salin, Lina Viita, dan Stefan Blomberg dari Linköping University dalam riset mereka “Gender Matters: Workplace Bullying, Gender, and Mental Health” di jurnal Frontiers in Psychology, 6 Oktober 2020, pria mengalami lima hingga enam kali peningkatan risiko kesehatan mental saat dirisak terus menerus.

“Konsekuensi kesehatan mental masih bertahan lama setelah korban diintimidasi. Ini hanya terjadi pada pria yang mengalami risiko empat kali lipat tekanan psikologis lima tahun kemudian,” tulis Rosander dkk.

Hasil riset terhadap 20 orang pekerja pria yang berasal dari New Brunswick, Nova Scotia, dan Newdfoundland di Kanada, O’Donnell dan MacIntosh menemukan fakta yang mengejutkan.

Pria paling sering dirisak oleh laki-laki lainnya (60%), tetapi juga menjadi target perundungan oleh perempuan (20%), dan kelompok laki-laki dan perempuan (20%). Kebanyakan karyawan pria dirisak atasan mereka (75%).

Risiko kesehatan mental yang paling sering terjadi, antara lain stres, kecemasan, panik, depresi, rasa menyalahkan diri sendiri, kepercayaan diri menurun, frustasi, terhina, ketakutan, marah, tidak berdaya, putus asa, dan konsentrasi menurun.

“Beberapa pria menggambarkan, pascatrauma mereka mengalami stres, melukai diri sendiri, dan pikiran ingin bunuh diri,” tulis O’Donnell dan MacIntosh.

Infografik Alinea.id/Muji Prayitno.

Sementara gangguan fisik, antara lain sakit kepala, gangguan tidur, kelelahan, berat badan menurun, masalah pencernaan, hingga masalah jantung.

Laki-laki yang mengalami perundungan di tempat kerja mayoritas mencari bantuan di lingkungan kantor mereka, seperti berbicara pada manajer, divisi pengelolaan sumber daya manusia atau human resources development (HRD), atau perwakilan serikat pekerja. Akan tetapi, beberapa pria menganggap, cara ini malah menambah masalah baru. Mereka juga cenderung diabaikan, jika melapor ke institusi kantor.

Untuk menghindari perundungan, seorang pria kerap membatasi kontak dengan pelaku. Strategi lainnya, mereka mencari dukungan dari pengacara, media, atau kelompok advokasi.

Di dalam hasil risetnya, Ika dan Alvin menulis, di beberapa negara perundungan di tempat kerja mendapat perhatian serius, dengan timbulnya gerakan anti-bullying. Australia adalah salah satu negara yang memberi perhatian sangat serius terhadap perundungan di tempat kerja.

Pada 1990-an, Australia membentuk Beyond Bullying Association dan menjadi tuan rumah konferensi terkait pada 1994 dan 2002. Pada 2014, Australia menerbitkan Undang-Undang anti-bullying di lingkungan kerja.

Sayangnya, di Indonesia belum ada undang-undang yang khusus mengatur tindak perundungan di tempat kerja. Bullying jadi dianggap hal yang lumrah, terutama kepada korban pria, yang kerap mendapat cap cengeng jika mengalami perundungan.

Hal itu pun menimpa terduga korban perundungan di KPI, MS. Belakangan, ia malah akan dilaporkan balik lima orang karyawan KPI yang diduga melakukan perundungan.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan