Election stress disorder dan cara mengatasinya
Musim pemilu dan iklim politik yang memanas, membuat banyak orang merasa cemas. Akibatnya, tak sedikit orang mengalami election stress disorder (gangguan stres saat pemilu). Istilah election stress disorder mengacu pada fenomena yang diamati psikolog dan penulis Soar Above: How to Use the Most Profound Part of Your Brain under Any Kind of Stress, Steven Stosny saat pemilu Amerika Serikat 2016.
“Fitnah dan kampanye negatif, ditambah berita 24 jam dan media sosial, menciptakan tingkat stres dan kebencian yang mengganggu hubungan banyak orang,” ujar Stosny dalam Washington Post.
“Saya menamakannya election stress disorder.”
Setelah proses pencoblosan, menurut Stosny terjadi pula post-election stress disorder (gangguan stres pasca-pemilu) dan headline stress disorder (gangguan stres besar).
“Bagi banyak orang, informasi terus-menerus dari sumber berita, blog, media sosial, dan fakta alternatif terasa seperti ledakan rudal dalam kepungan tanpa akhir,” kata Stosny.
Stosny mengungkapkan, berdasarkan pengamatannya, perempuan tampak sangat rentan terhadap post-election stress disorder. Banyak yang secara pribadi merasa diremehkan, ditolak, diabaikan, tak didengar, dan tak aman.
Di Amerika Serikat, pemilu memang membawa dampak pada kesehatan mental warganya. Survei American Psychological Association, seperti dikutip dari Head Space, menemukan sebelum pemilu 2016 sebanyak 52% orang dewasa Amerika melaporkan pemilu merupakan sumber stres yang sangat signifikan.
Lalu, dalam survei yang diadakan lembaga yang sama pada pemilu Amerika Serikat 2020, seperti dikutip dari Mayo Clinic, sebanyak 68% orang dewasa Amerika melaporkan pemilu presiden adalah sumber stres yang signifikan.
Salah satu tanda mengalami election stress disorder, menurut Stosny, adalah merasakan tubuh tegang sebelum melihat berita. “Kecemasan adalah respons sistem saraf pusat secara umum,” kata Stosny kepada CBS News.
“Dan cara kebanyakan orang mengatasi kecemasan adalah dengan menyalahkan seseorang, dan sayangnya hal itu pada akhirnya akan menimpa orang terdekat—pasangan dan anak-anak Anda.”
Stosny mengatakan, ciri-ciri utama yang ia amati pada pasien dengan election stress disorder adalah kebencian, permusuhan, dan merendahkan norma. Berbagai argumen yang merendahkan norma pun, kata Stosny, dapat menyebabkan perdebatan di media sosial, yang juga bisa memicu election stress disorder.
“Kemarahan muncul ketika orang merasa tidak dihargai. Media sosial memberi Anda ruang, tapi bukan (ruang) pribadi, sehingga orang menjadi frustrasi karenanya,” ujar Stosny dalam CBS News.
Psikiater Mayo Clinic, Robert Bright menyatakan, election stress disorder bukanlah diagnosis ilmiah. Namun pengalaman kecemasan yang luar biasa, yang muncul dalam berbagai cara.
“Kita merasakannya di tubuh, ketegangan di bahu. Kadang-kadang orang mengalami gangguan pencernaan atau sakit kepala. Orang sulit tidur atau mengalami mimpi buruk tentang pemilu,” kata Bright, seperti dikutip dari situs Mayo Clinic.
“Dan itu memengaruhi emosi kita. Kita mulai menjadi mudah tersinggung dan membentak orang lain, tidak mempercayai orang lain. Memengaruhi hubungan kita di rumah dan pekerjaan kita.”
Bright melanjutkan, penyebab utama stres pemilu adalah perasaan tak terkendali. Jika stres mulai berdampak negatif pada kehidupan, hal itu bisa memicu kecemasan atau depresi.
Para peneliti dari North Carolina State University, yakni Brittany K. Johnson dan Shevaun D. Neupert dalam riset mereka di jurnal Psychological Reports (2023) menemukan, sekadar mengantisipasi stres terkait pemilu malah dapat menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan fisik.
“Peserta penelitian melaporkan kesehatan fisik yang lebih buruk pada hari-hari ketika mereka juga melaporkan punya tingkat antisipatif stres yang tinggi. Artinya, mereka diperkirakan akan mengalami stres terkait pemilu dalam 24 jam ke depan,” kata salah seorang peneliti, Shevaun D. Neupert, seperti dikutip dari Science Daily.
“Dengan kata lain, sekadar mengantisipasi kemungkinan stres saja sudah cukup untuk membuat mereka merasa lebih buruk.”
Neupert mengatakan, untuk mengatasi hal ini diperlukan analisis masalah. “Analisis masalah dalam hal ini adalah ketika masyarakat berpikir kritis tentang mengapa mereka percaya akan mengalami tekanan terkait pemilu dalam 24 jam ke depan,” tutur Neupert.
“Misalnya, jika mereka berpikir akan berdebat mengenai pemilu dengan seorang kenalan dalam 24 jam ke depan, mereka mungkin memikirkan mengapa akan berdebat atau tentang argumen mereka. Pada dasarnya, analisis masalah adalah tentang terlibat secara mental, dengan masalah apa pun yang mereka antisipasi.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan, ketika peserta penelitian mengantisipasi stres, tetapi juga aktif terlibat dalam analisis masalah, peserta melaporkan tak ada penurunan kesehatan fisik.
“Analisis masalah dapat membantu orang memikirkan cara untuk menghindari perdebatan yang mereka antisipasi, atau membantu mereka memikirkan cara untuk membuat perdebatan tak terlalu panas,” katanya.
Disebut dalam Head Space, untuk mengatasi election stress disorder, American Psychological Association menyarankan agar membatasi konsumsi media dan mengambil jeda tak membuka media sosial, serta melakukan sesuatu yang disukai. Sedangkan psikolog klinis di Harvard Medical School, Ellen Slawsby menyarankan untuk melakukan respons relaksasi selama 20 menit setiap hari, berupa meditasi, olah napas, atau olahraga.
Sementara itu, dikutip dari Washington Post, Stosny, menyarankan orang yang terkena dampak pemilu dan setelahnya untuk menjangkau, terhubung, bergabung, dan menunjukkan kasih sayang kepada mereka yang juga terkena dampak serupa.
Kepada CBS News, Stosny mengatakan daripada menyalurkan rasa frustrasi dan membuat orang lain merasa tak dihargai, ia mengingatkan untuk fokus pada nilai-nilai yang lebih dalam, seperti kasih sayang, kesetaraan, dan keadilan.
Selain itu, Stosny menyarankan fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali, saat beban kehidupan sehari-hari dan politik menjadi sangat besar. Fokus membuat hidup lebih baik dan bermakna melalui hubungan sosial juga dinilai Stosny penting.
“Cobalah untuk tidak terobsesi karena otak manusia tidak berfungsi dengan baik ketika terobsesi pada apa pun, terutama pada hal-hal di luar kendali,” ujar Stosny dalam CBS News.
Akhirnya, Stosny menganjurkan untuk mengingat siklus pemilu yang cepat berlalu dan tak melupakan prioritas sebenarnya, saat merasa frustrasi dengan situasi politik.
“Di akhir hidup Anda, Anda tidak akan menyesal tidak setuju dengan siapa pun yang memenangkan pemilu,” kata dia.
“Apa yang kamu sesali adalah tidak bersikap penuh kasih dan baik hati seperti yang seharusnya kamu lakukan. Terutama kepada orang-orang yang kamu cintai.”