

Floating duck syndrome: Ilusi mengejar kesempurnaan

Pernahkah Anda bertemu atau mengenal seseorang yang seolah-olah terlihat baik-baik saja, tetapi ternyata menyimpan banyak tekanan mental? Barangkali orang tersebut terkena floating duck syndrome atau sindrom bebek mengambang.
Sindrom ini dianalogikan seekor bebek yang terlihat seakan-akan mudah mengambang di atas air. Namun, tak terlihat dari pandangan kita, sebenarnya kaki bebek itu bergerak dengan cepat untuk tetap bertahan di atas air.
Istilah ini pertama kali muncul di lingkungan Universitas Stanford, untuk menggambarkan situasi mahasiswa di sana.
“Pada intinya, floating duck syndrome menggambarkan kecenderungan seseorang untuk menyembunyikan perjuangan dan tekanan mereka di balik penampilan kesuksesan dan ketenangan,” tulis Forbes.
Fenomena ini umum terjadi di kalangan individu dengan prestasi tinggi, seperti mahasiswa unggulan di kampus elite. Floating duck syndrome mencerminkan tantangan ganda untuk unggul secara akademik atau profesional sambil tetap mempertahankan citra kecakapan yang terlihat.
Di balik penampilannya yang tenang, ada kecemasan, keraguan, dan pengejaran tanpa henti terhadap pencapaian pada seseorang yang terkena floating duck syndrome.
Kehidupan modern menuntut kita untuk terus-menerus menyeimbangkan tanggung jawab di berbagai aspek, seperti di sekolah, pekerjaan, keluarga, dan hiburan. Menurut penelitian, bagaimana kita mendistribusikan waktu dan energi di antara aspek-aspek ini, aktivitas yang kita lakukan, dan penghargaan yang kita terima memiliki dampak besar pada kesejahteraan mental dan fisik kita.
Distribusi sumber daya ini sering kali berkontribusi pada perkembangan floating duck syndrome, di mana individu berusaha untuk unggul di berbagai bidang sambil menyembunyikan perjuangan mereka dengan topeng kompetensi dan kesuksesan.
Akibatnya, kerja keras dan perjuangan yang kita alami sering kali tidak terlihat, menyebabkan ketidakseimbangan antara upaya yang kita lakukan dan penghargaan yang kita dapatkan.
“Sindrom bebek merupakan respons terhadap rasa takut dihakimi karena tidak memenuhi harapan masayrakat, budaya, atau keluarga,” kata Direktur terapi dan konseling di Jadis Blurton Family Development Centre dan pendiri Your Relationship Clinic di Hong Kong, Ken Fung kepada South China Morning Post.
Dia mengatakan, sindrom bebek adalah suatu bentuk penyamaran sosial di mana seseorang tampak tenang dan kalem di luar, tetapi diliputi stres dan emosi di dalam hati.
Sindrom ini pun tampak di media sosial. Fung menilai, meski orang-orang di media sosial sering kali tampak menjalani kehidupan yang sempurna, tetapi yang orang-orang lupa adalah unggahan di berbagi cerita di Instagram itu dikurasi terlebih dahulu. Hanya menampilkan versi kehidupan seseorang yang sempurna dan ideal. Hal ini menciptakan peluang untuk terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
Akibatnya bisa menimbulkan perasaan tidak mampu atau rendah diri, terutama jika seseorang baru saja mengalami kesulitan. Seseorang mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan citra yang sempurna, meski itu tidak asli.
Fung mengingatkan, sindrom bebek bisa memicu kondisi kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Gejala umum kondisi ini meliputi, tidak mampu rileks, rendahnya harga diri, asumsi kalau orang lain lebih memegang kendali, dan merasa kesepian.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Evolutionary Human Sciences (April, 2024), para peneliti dari Universitas Pennsylvania menyelidiki fenomena ini, dengan dampak dan solusinya.
Para peneliti membangun model matematis tentang pembelajaran sosial, menggunakan kasus mahasiswa yang memilih aktivitas, memodelkan dunia di mana orang mencoba menilai seberapa besar usaha yang harus mereka lakukan tanpa mengetahui secara penuh seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk berhasil.
Dalam situasi di mana terdapat bias visibilitas, seperti orang-orang yang tampak sempurna tanpa usaha, individu dalam model ini secara keliru mengharapkan imbalan yang lebih besar untuk usaha mereka daripada yang mereka sudah terima.
Para peneliti menemukan, meski seseorang punya jumlah keberhasilan absolut yang lebih besar setelah meningkatkan usaha mereka, tingkat keberhasilan itu tetap menurun karena mereka berusaha pada terlalu banyak aktivitas.
Solusi melawan sindrom bebek mengambang, kata para peneliti, adalah kita perlu berhenti meremehkan usaha dalam dinamika pembelajaran sosial dan membangun budaya keterbukaan ketika berbicara tentang kesuksesan dan kegagalan. Dengan begitu, kita akan lebih menyadari upaya yang diperlukan dan cenderung tidak membagi energi kita yang terlalu tipis demi mengejar kesempurnaan yang tidak realistis.
Sementara Fung mengatakan, kunci mengelola kondisi ini adalah mengevaluasi cara kita menggunakan media sosial dan belajar mengelola emosi serta ekspektasi kita. Selain membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial dan lebih fokus pada aktivitas luring yang kita sukai, Fung menyarankan untuk membuat jurnal emosional. Memeriksa perasaan kita secara teratur dapat membantu untuk lebih memahami emosi, mengatasi situasi sulit, dan mengurangi pengaruh orang lain terhadap kondisi emosional kita.
“Tidak seorang pun dapat mempertahankan kesempurnaan selamanya, tetapi kita dapat belajar untuk bersikap baik kepada diri sendiri dan menyadari kita semua mengalami pasang surut,” ujar Fung kepada South China Morning Post.
“Ingat, tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.”


Berita Terkait
Memaafkan membuat kita lebih bahagia
Media sosial memperparah gangguan delusi
Kenapa personel TNI rentan bunuh diri?
Orang yang tinggal di dataran tinggi lambat mengenali fitur wajah

