Italian Fashion School (IFS) mendelegasikan tiga siswanya untuk berpartisipasi dalam Indonesia Fashion Week (IFW), Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, pada Jumat (24/2). Ada 9 karya yang akan dipamerkan dalam IFW 2023.
Busana yang akan dipamerkan terinspirasi dari kekayaan budaya Indonesia timur, khususnya Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan judul "Florescent". Pangkalnya, IFW 2023 mengusung tema "Sagara dari Timur".
"Ketiga murid ini mewakili IFS setelah kami menyeleksi belasan murid. Dan, kami memutuskan 3 orang karena kemampuan, kreativitas dan inovasi mereka dalam mendesain dan menciptakan karya busana mereka yang berasal dari kain tenun khas NTT," ucap pendiri IFS, Diora Agnes dan Paska Ryanti, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (22/2).
Diora melanjutkan, rajutan kain tenun NTT menggambarkan nilai budaya, sejarah, kepercayaan, dan kehidupan masyarakatnya. Kain tenun NTT pun menjadi salah satu tolok ukur kehidupan tanah timur dan memiliki arti kebahagiaan dan kesempurnaan.
Adapun tema "Florescent" diangkat dengan harapan menumbuhkan kembali sejarah kehidupan yang pernah ada dalam masyarakat NTT. Diona memastikan koleksi tiga siswas IFS dalam IFW 2023 akan menarik perhatian lantaran tidak sekadar indah dari aspek estetik, tetapi rancangan busana bisa membuat publik menikmati kekayaan budaya NTT.
"Harapan kami, masyarakat pengunjung IFW mampu mengapresiasi karya desainer IFS itu dan harapannya para desainer terus mampu berkreativitas dengan kain-kain khas berbagai nusantara ketika mereka menciptakan karya," kata Diora.
Ketiga siswa IFS yang akan berpartisipasi dalam IFW 2023 adalah Ali Eunoia, Nafisyah, dan Khadeja Alattas. Ali berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Menurutnya, ini merupakan tantangan baginya karena belum pernah membuat karya dengan memanfaatkan tenun. Apalagi, hanya memiliki waktu dua bulan untuk mengerjakannya.
Meskipun demikian, Ali berhasil membuat tiga karya. Seluruhnya terinsipirasi dari film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, yang dirilis pada 2017. Dia menerangkan, sekalipun itu film fiksi, tetapi memuat gambaran utuh tentang kondisi perempuan di Sumba yang terkungkung sistem patriarki, terutama setelah menikah.
"Jadi, rumah adat di Sumba simbol untuk mendukung kerja-kerja perempun karena tugasnya di rumah. Banyak generasi milenial sekarang berusaha melawan itu untuk mendapatkan hak mereka untuk berpendapat. Itu yang menginspirasi Aku," ungkapnya.
Tiga busana ciptaan Ali termasuk kategori ready to wear dan bisa digunakan untuk acara formal dan nonformal.
Semangat yang diusung dalam karya Ali tidak jauh berbeda dengan Khadeja. Namun, dia mengambil sumber inspirasi yang berbeda.
Khadeja mengungkapkan, busana yang disiapkannya terilhami tradisi mas kawin dari pihak keluarga laki-laki kepada mempelai perempuan atau belis dalam adat pernikahan masyarakat Nagekeo, Flores Timur.
"Saya ingin mengangkat perasaan seorang wanita ketika sudah diberi belis ini sudah harus ikut suaminya, hak-hak mereka dikekang," ucapnya. Adapun busana yang dikreasikan Khadeja cenderung formal karena didominasi payet.
Sementara itu, Nafisyah menjadikan perjuangan dan keberanian tokoh perempuan NTT, Fransisca Fanggidaej, dalam melawan penjajahan sebagai sumber inspirasinya. Dirinya menampilkan "pemberontakan" dari perspektif yang berbeda sehingga akan membuat masyarakat penasaran tentang kekuatan energi pada koleksi busananya.