Pada 2022 lalu, ketika menghadiri gala premier film Sri Asih di kawasan Epicentrum, Jakarta Selatan, aktor Jefri Nichol tampil dalam busana yang mencuri perhatian. Dia mengenakan tanktop berwarna ungu, dipadukan renda tanktop warna hitam dan celana kulit. Penampilan nyentrik aktor berusia 25 tahun itu juga diabadikan di media sosial pribadinya.
Gaya busana Jefri tersebut dikenal dengan istilah genderless fashion. Tren fesyen ini cukup diminati generasi Z, yang dikenal memiliki pandangan terbuka terhadap identitas dan ekspresi diri.
“Generasi kita lebih self-expression dan inklusivitas. Banyak yang udah enggak mau dikotak-kotakin lagi, tutur mahasiswi tata busana di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Fitri Andreyani kepada Alinea.id, Jumat (29/11).
Menurut Fitri, genderless fashion memberikan ruang kebebasan bagi semua orang untuk mengenakan pakaian sesuai preferensi mereka, tanpa ada batasan gender. Dia menilai, tren ini semakin populer di kalangan generasi Z karena didorong oleh media sosial dan influencer.
“Pakaian ini enggak di-set buat cowok atau cewek aja. Jadi, lebih ke kebebasan buat semua orang pakai apa yang mereka suka,” ujar Fitri.
The Berliner menyebut, konsep mode tanpa gender bukan hal yang baru. Pada 1960-an, perancang busana Prancis, Pierre Cardin pernah mengenakan gaun berbentuk kotak. Dengan gaya androgininya, David Bowie bahkan memukau dunia musik era 1970-an.
Selain Cardin, perancang busana asal Amerika Serikat kelahiran Austria, Rudi Gernreich, membuat beragam pakaian dengan tujuan menumbangkan norma gender dalam berbusana. Namun ternyata, kreasi mereka tidak cocok dipakai sehari-hari, sehingga gagal mengembangkan mode tanpa gender itu.
Sementara itu, pengamat fesyen sekaligus pendiri Sustainable Fashion Academy, Franka Soeria menilai, genderless fashion memainkan peran penting dalam meningkatkan inklusivitas pada dunia mode, dengan memungkinkan individu dari semua identitas gender menemukan pakaian yang sesuai gaya dan ekspresi pribadi.
“Generasi muda, khususnya generasi Z, tampaknya lebih eksperimental dalam urusan fesyen, sehingga batas busana laki-laki dan perempuan menjadi lebih abu-abu,” ucap Franka, Jumat (29/11).
“Batasan yang lazim, seperti bahan atau warna tertentu, sekarang semua diterabas.”
Menurut Franka, pada dasarnya segala hal yang berubah pasti memiliki waktu untuk lebih dapat diterima. Saat ini, mayoritas merek dan desainer masih menentukan garis batas gender dengan jelas. Alasannya, publik masih punya tuntutan seperti itu.
“Genderless fashion yang mudah berkembang lebih cepat, yaitu di segmen streetwear. Misalnya kaus, jaket, dan aksesori yang dapat dipakai laki-laki dan perempuan,” tutur Franka.
Franka menuturkan, dalam hal estetika dan desain, yang menjadi elemen kunci dari mode genderless yang bisa diterima berbagai kalangan tanpa terikat norma gender adalah segala sesuatu yang berbicara “netral”. Misalnya, kemeja atau kaus warna netral, tanpa detail yang terlalu jelas menegaskan gender laki-laki atau perempuan.
“Tas dengan desain yang netral dan tidak mencirikan untuk gender mana produk itu diciptakan,” kata Franka.
Lebih lanjut, Franka menjelaskan genderless fashion termasuk dalam fesyen berkelanjutan. Sebab, mode ini mampu menjangkau pasar lebih luas dan tidak menyasar hanya satu gender.
“Desain genderless fashion juga biasanya tidak terlalu mengikuti tren, dapat dipakai untuk jangka waktu yang lama. Desainnya lebih timeless,” ujar Franka.
“Tren adalah salah satu faktor yang menghambat gerakan sustainability di fashion.”