Glamping: Evolusi camping standar kelas atas
Varrel Sinaga, 21 tahun, seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta pernah merasakan sensasi menginap di glamping, yang menurutnya sangat nyaman. Ia mendapatkan pengalaman liburan yang menyenangkan bersama keluarganya. Varrel pernah menginap di sebuah glamping di Bandung, dengan biaya per malam Rp1 juta.
“Untuk fasilitas, ada kasur, kamar mandi dalam, alat mandi, AC portabel, lemari, dan teras depan untuk duduk-duduk,” ujar Varrel kepada Alinea.id, Selasa (16/1). “Mendapatkan sarapan, ada juga beberapa permainan di lingkungan glamping.”
Varrel mengatakan, glamping sangat berbeda dengan berkemah atau camping dari segi fasilitas. Kalau berkemah biasa, katanya, mesti membawa semua peralatan dan melakukan segalanya sendiri.
“Sedangkan glamping fasilitas sudah banyak, kita hanya cukup membawa diri saja. Kurang lebih sama seperti menginap di hotel,” tutur Varrel.
Sementara Alfira Aulia Ahmad, 23 tahun, karyawan swasta di Jakarta, mengeluarkan biaya Rp650.000 untuk menginap di glamping di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Fasilitasnya, menurut Alfira, cukup baik. Namun, toilet masih kurang banyak, sehingga bergantian dengan pengunjung lainnya.
“Pengalaman selama di glamping pastinya sejuk karena bisa menikmati suasana alam yang asri dan menghirup udara bersih,” ujar dia, Selasa (16/1). “Jadi membuat diri lebih istirahat. Healing.”
Glamping adalah akronim glamour camping. Ini adalah konsep menginap yang relatif baru. Istilah glamping, menurut situs Mews pertama kali diciptakan pada 2005 di Inggris, dan baru ditambahkan ke Kamus Oxford pada 2016. Konsep glamping dirancang untuk menarik mereka yang mencari pengalaman dengan alam terbuka, tetapi menginginkan kasur, toilet, serta pengalaman unik.
“Glamping hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari tenda safari hingga tenda bulat, kabin berkemah, dan rumah pohon,” tulis Mews.
“Fasilitas tergantung jenis akomodasi, tapi bisa berupa tempat tidur, dapur kecil, listrik, air, dan banyak lagi—yang semuanya tidak Anda dapatkan dari berkemah biasa.”
Terpisah, pakar pariwisata sekaligus Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Sumatera Barat, Sari Lenggogeni menjelaskan, ide awal glamping berasal dari camping. Lalu, menjadi populer dalam satu dekade terakhir. Glamping, kata Sari, adalah evolusi camping. Namun dengan konsep pasar kelas atas, ekslusif, dan terdapat berbagai fasilitas.
“Nah, glamping ini jadi tren pasca-pandemi Covid-19 (karena glamping) itu mengarah pada outdoor recreation, lebih ke nature,” tutur Sari saat dihubungi, Senin (15/1).
Glamping menjadi tren lantaran kebiasaan dalam wisata yang berbeda ketika pandemi dan pasca-pandemi, seperti menjaga jarak dan menghindari keramaian. “Makanya fenomena glamping yang menjamur itu sangat make sense. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di Amerika dan beberapa negara lain juga,” ujar Sari.
Secara umum, menurut Sari, glamping memang konsep wisata yang mahal. Sebab, berbasis wisata alam, sehingga sifatnya lebih privat. “Dalam artian, dia (glamping) tidak terhubung banyak interaksi dengan yang lain,” kata dia.
“Istilahnya membutuhkan kenyamanan selayaknya hotel dalam sebuah tenda besar.”
Dari riset secara global, ujar Sari, segmentasi pasar glamping memang ditujukan untuk kelas atas. Fasilitasnya lengkap, seperti AC, tempat tidur, dan perlengkapan mandi, mirip hotel bintang 5. “Sehingga wajar (mahal) karena konsep ini dianggap high end market atau niche market,” tutur dia.
Di sisi lain, managing partner di Inventure sekaligus konsultan pemasaran, Yuswohady mengatakan, fenomena menjamurnya glamping di Indonesia sangat positif. Glamping, katanya, memberikan sentuhan modern pada pengalaman berkemah biasa dan memberikan pilihan liburan yang lebih ekslusif.
“Fenomena ini mencerminkan pergeseran tren wisata menuju pengalaman alam yang lebih nyaman dan mewah, sekaligus menyediakan alternatif yang menarik bagi para wisatawan,” kata Yuswohady.
Untuk membuat glamping lebih baik, menurut Sari, pengelolanya mesti mempersiapkan fasilitas, membuat desain kenyamanan yang benar-benar sangat dekat dengan alam, serta bisa menciptakan pengalaman berbeda. Alasannya, glamping merupakan wisata yang menghadirkan pengalaman.
“Kita bisa mengamati beberapa (glamping) yang ada di Indonesia, layaknya mereka menawarkan suatu destinasi mirip berada di hutan Arizona atau seperti di Alaska,” ucap Sari.
“(Pengelola bisa) membuat detail desain dan service camp atau atmosfer yang unik.”
Sedangkan bagi Yuswohady, pengelola perlu fokus pada beberapa aspek. Pertama, pengelola harus memastikan fasilitas yang disediakan tetap terjaga kualiasnya dan sesuai standar ekslusivitas glamping. Kedua, kreativitas dalam desain dan amenitas pun penting untuk menciptakan pengalaman yang unik.
“Selain itu, interaksi dengan alam dan keberlanjutan lingkungan harus diintegrasikan ke dalam konsep glamping,” tutur Yuswohady.
Menurut Yuswohady, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dapat berperan penting dalam mengelola glamping agar menjadi destinasi menarik dan potensial mendapat pemasukan sektor pariwisata. Langkah-langkah yang harus diambil Kemenparekraf, ujar Yuswohady, antara lain mendorong investasi, kolaborasi promosi melibatkan pihak swasta dan asosiasi pariwisata, membuat regulasi yang mendukung perkembangan glamping, serta memberikan pendidikan dan pelatihan kepada pengelola.
Selain yang disebutkan Yuswohady, Sari menambahkan, Kemenparekraf bisa menarik investor untuk melakukan investasi pada glamping di berbagai daerah. Lalu, mempromosikan glamping-glamping terbaik di negara-negara yang menjadi target wisatawan Indonesia, seperti Malaysia dan Australia.
“Walaupun harga (menginap) let say Rp2 juta lebih ke atas, itu pasarnya cukup banyak,” kata Sari.
“Cukup signifikan untuk mereka (turis) stay selama beberapa hari, (turis) dari Malaysia, misalnya.”