Nepo baby: Anak-anak 'istimewa' dari orang tua
Penampilan Gibran Rakabuming Raka dalam debat calon wakil presiden (cawapres) pada Jumat (22/12/2023) menjadi sorotan. Ia dianggap mampu bersaing dengan lawannya yang lebih berpengalaman, yakni Muhamimin Iskandar dan Mahfud MD. Namun, kontroversinya sebelum dipilih menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto masih mengemuka. Al Jazeera menyebut Gibran menghadapi badai kontroversi, termasuk tuduhan sebagai nepo baby dan kelanjutan politik dinasti.
Kepada Al Jazeera, dosen bidang politik dan studi keamanan dari Murdoch University, Ian Wilson mengatakan, meski Gibran mungkin ingin melepaskan citra sebagai nepo baby, tetapi sulit untuk menghilangkan citra keluarganya.
Nepo baby adalah akronim dari nepotism baby atau anak nepotisme. Individu yang mendapat keuntungan dari nepotisme itu disebut nepo baby. Individu tersebut meraih kedudukan berkat kekuatan atau pengaruh orang tua, yang sudah mapan di bidang tertentu. Istilah nepo baby dipopulerkan New York Magazine. Majalah tersebut mengeluarkan edisi khusus akhir tahun 2022 yang mengangkat nepo baby dalam industri hiburan Hollywood. Selain di dunia hiburan, anak-anak nepotisme itu lazim ditemukan dalam dunia bisnis dan politik.
Bahkan, sejarawan dan penulis buku First Family: George Washington’s Heirs and the Making of America, Cassandra A. Good dalam tulisannya di Time mengutip survei YouGov pada Februari 2023, menyebut dari 10 bidang, politik merupakan bidang dengan jumlah responden terbanyak yang menyatakan nepotisme sangat umum (53%).
Lembaga riset yang berpusat di Dubai, Uni Emirat Arab, Real Research pernah mengadakan survei online tentang opini publik terkait nepo baby. Survei itu dilakukan pada 19-26 April 2023 terhadap 20.000 peserta laki-laki dan perempuan berusia 21 hingga 99 tahun, dengan partisipasi lebih dari 50 negara, termasuk Indonesia.
Survei itu menyebut, politik dan pemerintahan paling rentan terhadap nepotisme, dibandingkan sektor lainnya, dengan 12%. Diikuti bidang bisnis dan keuangan (10%), olahraga (10%), perhotelan dan pariwisata (9%), fesyen (9%), hiburan dan media (8%), hukum (6%), militer dan penegakan hukum (7%), pendidikan (6%), real estate (5%), kedokteran (5%), dan lain-lain (13%).
Dalam bidang politik, di Indonesia praktik nepo baby kerap terjadi dalam suksesi pemerintahan daerah atau partai politik. Di Amerika Serikat, nepo baby pun terkesan lumrah. Good menulis di Time bahwa selama dua dekade terakhir, politik kepresidenan Amerika sulit melepaskan diri dari kekuatan ikatan keluarga.
“Bill, Hillary, dan bahkan Chelsea Clinton; George HW, George W, dan Jeb Bush; Donald, Eric, dan Don Trump Jr, ditambah Jared dan Ivanka Kushner,” tulis Good, menyebut nama-nama pejabat Negara Paman Sam yang punya hubungan kekerabatan.
Nepotisme pun sudah dipraktikan sejak Presiden Amerika Serikat pertama, George Washington. Ia memang tak punya anak kandung. Namun, menurut Good, ia masih punya banyak anggota keluarga yang dapat mengambil keuntungan dari ikatan mereka dengannya. Paling menonjol secara politik adalah keponakannya, Bushrod Washington.
“Ia (George) meminta Bushrod untuk mencalonkan diri sebagai anggota Kongres dan kecewa ketika Bushrod menerima kursi di Mahkamah Agung dari John Adams (presiden selanjutnya),” tulis Good.
Dikutip dari Inside Elections di Amerika kekuasaan politik tak pernah berhenti mengalir dari orang tua ke anak. Presiden Amerika Serikat keenam, John Quincy Adams, disebut sebagai nepo baby pertama dalam politik negara itu, ketika ia mengikuti jejak ayahnya, John Adams—Presiden Amerika Serikat kedua.
“Kebanyakan orang Amerika mengetahui dinasti politik, mulai dari Adams, Kennedy, Roosevelt, Bush, Rockefeller. Namun, Kongres dipenuhi oleh keluarga politik yang kurang dikenal, beberapa di antaranya telah bertahan selama beberapa generasi,” tulis Inside Elections.
Dikutip dari tulisan Good, pakar ilmu politik Kimberly Lynn Casey menyebut, hampir 70% Presiden Amerika Serikat adalah anggota keluarga politik. Lalu, sekitar 70% hakim federal memiliki satu atau lebih kerabat yang bekerja di bidang politik.
“Istri Woodrow Wilson, Edith, secara efektif mengambil alih jabatan presiden setelah suaminya terkena stroke,” tulis Good.
“John F. Kennedy menunjuk saudaranya, Robert, sebagai Jaksa Agung Amerika Serikat.”
Bagaimana respons masyarakat terhadap nepo baby? Real Research pun menemukan, 25% responden merasa nepo baby belum tentu berbakat atau pantas mendapatkan posisi atau peluang. Lalu, 16% responden menganggap, meski nepo baby mendapat keuntungan dari hubungan kekeluragaan, mereka harus tetap dievaluasi. Selanjutnya, 15% responden merasa, nepo baby dapat merusak prinsip keadilan dan kesetaraan. Sedangkan 14% berpendapat, nepo baby dapat melanggengkan kesenjangan dan hambatan kemajuan sosial. Kemudian, 11% berpendapat, nepotisme adalah sebuah masalah.
Peneliti dari University of Birmingham, Asmiati Malik dalam the Conversation pernah meriset tanggapan orang Indonesia terhadap nepotisme. Ia melakukan survei pada 237 responden antara Mei hingga Juni 2018. Ia juga mewawancarai 10 orang untuk mendapat pandangan yang jauh lebih dalam pada Juli dan Agustus 2018.
“Sebanyak 73% dari responden beranggapan, tindakan elite penguasa yang memberikan jabatan dan kesempatan pada keluarganya sendiri adalah tindakan yang salah,” tulis Asmiati.
“Namun, responden juga menilai, nepotisme sebagai tindakan yang paling sedikit memberi dampak buruk dibanding dengan tindakan yang lain (misalnya, korupsi).”
Sementara hasil wawancara menunjukkan, tujuh dari 10 responden menganggap nepotisme adalah hal yang lumrah. Menurut Asmiati, mereka beralasan, sudah kodratnya manusia akan memilih keluarga, teman, atau orang terdekat karena faktor lebih kenal secara personal.
“Selain itu, mereka juga tidak perlu khawatir saat anggota keluarga akan mengkhianati mereka,” tulis Asmiati.
Lebih lanjut, Asmiati menyebut, praktik nepotisme biasanya dimulai sangat awal ketika orang tua membeda-bedakan anaknya, berdasarkan yang mereka paling suka. Kemudian, perilaku ini secara tak sadar masuk ke alam bawah sadar anak, sehingga membentuk perilaku mereka di masa depan.
The Guardian menulis, sebuah kewajaran bagi orang tua ingin membantu anak-anak mereka. Akan tetapi, di situ letak masalahnya.
“Nepotisme sulit dihilangkan karena kita berjuang melawan salah satu insting manusia yang paling kuat: orang tua mendedikasikan hidup dan kekayaan mereka untuk memberikan keuntungan kepada anak-anak mereka,” tulis the Guardian.