close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tes Covid-19./Foto fernandozhiminaicela/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi tes Covid-19./Foto fernandozhiminaicela/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Kamis, 28 November 2024 06:08

Infeksi Covid-19 yang parah bisa mengecilkan tumor penyebab kanker

Penelitian terkait hal itu diterbitkan di The Journal of Clinical Investigation belum lama ini.
swipe

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia selama tiga tahun merenggut lebih dari 15 juta jiwa. Tak cuma menimbulkan dampak negatif pada sistem kesehatan global, ternyata infeksi Covid-19 pun membawa efek positif yang tak diduga-duga.

Sebuah riset yang diterbitkan dalam The Journal of Clinical Investigation (November, 2024) oleh para peneliti dari beberapa lembaga dan universitas di Amerika Serikat mengungkapkan, infeksi Covid-19 yang parah bisa membantu mengecilkan tumor yang berisiko kanker.

Tim peneliti menguji teori mereka dengan melakukan eksperimen pada tikus yang mengalami berbagai jenis kanker stadium 4, seperti melanoma, kanker paru-paru, payudara, dan usus besar. Mereka memberi tikus obat yang meniru respons imun terhadap infeksi Covid-19 yang parah, yang memicu produksi jenis sel darah putih yang disebut monosit.

Menurut profesor ilmu biomedis di Anglia Ruskin University, Justin Stebbing dalam The Conversation, sel imun ini memainkan peran penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi dan ancaman lainnya. Hasilnya, tumor pada tikus mulai menyusut di keempat jenis kanker yang diteliti.

Pada pasien kanker, monosit terkadang bisa dibajak oleh sel tumor dan diubah menjadi sel ramah kanker, yang melindungi tumor dari sistem imun. Para peneliti menemukan, infeksi Covid-19 yang parah menyebabkan tubuh memproduksi jenis monosit khusus dengan sifat antikanker yang unik. Monosit yang diinduksi ini secara khusus tak hanya dilatih untuk menargetkan virus, tetapi juga mempertahankan kemampuan untuk melawan sel kanker.

Para peneliti menemukan, monosit yang diinduksi ini punya reseptor khusus yang mengikat dengan baik urutan RNA atau asam ribonukleat Covid tertentu. Menurut Stebbing, tidak seperti monosit biasa, yang dapat diubah oleh tumor menjadi sel pelindung, monosit yang diinduksi ini mempertahankan sifat-sifatnya dalam melawan kanker. Mereka mampu bermigrasi ke lokasi tumor—sebuah hal yang tak bisa dicapai oleh sebagian besar sel imun—dan begitu sampai, mereka mengaktifkan sel pembunuh alami.

“Sel-sel pembunuh ini kemudian menyerang sel-sel kanker, menyebabkan tumor menyusut,” tulis Stebbing.

Kepada Live Science, kepala bedah toraks di Northwestern Medicine, yang ikut dalam penelitian itu, Ankit Bharat mengatakan, monosit pada dasarnya membentuk seperti istana di sekitar sel kanker, melindunginya dari invasi sistem imun tubuh.

Selain mencobanya pada tikus, Bharat dan rekan-rekannya sebenarnya sudah memperhatikan beberapa pasien kanker, yang tumornya menyusut setelah terinfeksi Covid-19 yang parah. Mereka menganalisis sampel darah dari orang-orang yang pernah menderita Covid-19 parah dan menemukan, monosit yang diproduksi setelah infeksi punya reseptor khusus yang terikat dengan baik pada urutan spesifik RNA Covid-19.

“Jika monosit adalah gemboknya dan Covid adalah kuncinya, maka RNA Covid adalah pasangan yang tepat,” kata Bharat.

Bharat berpendapat, menakisme ini dapat bekerja pada manusia untuk melawan jenis kanker tertentu. Meski begitu, kata Bharat, vaksin Covid-19 yang beredar di pasaran, tidak mungkin memicu mekanisme tadi. Sebab, vaksin tak menggunakan urutan RNA yang sama dengan yang digunakan virus.

“Namun, obat dan vaksin di masa mendatang dapat dikembangkan untuk memacu perkembangan monosit yang melawan kanker,” ujar Bharat.

Terpenting, lanjut dia, mekanisme ini menyediakan kemungkinan terapeutik baru untuk kanker stadium lanjut yang tidak merespons pendekatan seperti imunoterapi—yang mengandalkan sistem imun tubuh untuk melawan kanker.

“Meski imunoterapi berhasil sekitar 20% hingga 40%, tapi dapat gagal jika tubuh tidak dapat memproduksi cukup sel T (sel darah putih yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh) yang menghancurkan sel kanker,” kata profesor bioogi molekuler di Princeton University, yang tak terlibat penelitian itu, Yibin Kang kepada Live Science.

Menurut Stebbing dalam The Conversation, implikasi dari penelitian ini melampaui Covid-19 dan kanker. Perkaranya, penelitian itu menunjukkan bagaimana sistem kekebalan tubuh kita bisa dilatih oleh satu jenis ancaman supaya menjadi lebih efektif melawan ancaman lainnya.

“Konsep ini, yang dikenal sebagai ‘kekebalan terlatih’ merupakan bidang penelitian menarik yang dapat menghasilkan pendekatan baru untuk mengobati berbagai macam penyakit,” tulis Stebbing.

Walau demikian, Stebbing mengingatkan, tak berarti seseorang harus sengaja terinfeksi Covid-19 sebagai cara untuk melawan kanker. Hal itu sangat berbahaya karena Covid-19 yang parah dapat mengancam jiwa dan punya konsekuensi kesehatan jangka panjang yang serius.

Di sisi lain, CEO Centivax—sebuah perusahaan bioteknologi di San Fancisco, Jacob Glanville, dikutip dari Fox News mengatakan, dia tidak terkejut dengan temuan baru ini. Soalnya, sudah ada bukti tentang regresi spontan yang terjadi setelah infeksi dengan demam tinggi pada berbagai penyakit, yang telah ada sejak dokter mengidentifikasi kanker.

“Biasanya, sistem imun dapat mengetahui ada sesuatu yang salah dengan jaringan kanker, tetapi kanker mengembangkan berbagai mutasi untuk menahan sistem imun agar tidak menyerangnya,” kata Glanville.

“Mekanisme yang diduga adalah peristiwa peradangan besar seperti infeksi dapat mengarahkan sistem imun untuk aktif melawan kanker.”

Selanjutnya, para peneliti berencana melakukan uji klinis untuk melihat apakah temuan tersebut dapat digunakan secara aman dan efektif untuk membantu pasien kanker.

“Penemuan ini membuka jalan baru untuk pengobatan kanker,” ujar Bharat, seperti dikutip dari Fox News.

     

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan