Insomnia berisiko serangan jantung
Tidur bermanfaat membuat tubuh kita rehat sejenak. Untuk beraktivitas kembali keesokan hari. Dikutip dari Outside, para ilmuwan sepakat, orang dewasa butuh setidaknya tujuh jam tidur per malam, untuk kondisi kesehatan yang baik. Lebih spesifik, orang dewasa berusia 18 hingga 64 tahun membutuhkan tujuh hingga sembilan jam tidur, sedangkan orang berusia 65 tahun ke atas sebaiknya tidur tujuh hingga delapan jam.
“Sebuah riset tahun 2022 yang diterbitkan di Communications Biology menemukan, orang dewasa yang lebih tua cenderung membuat keputusan yang lebih baik dan lebih cepat, serta memiliki daya ingat kerja yang lebih baik, ketika mereka tidur tujuh jam setiap malam,” tulis Outside.
Namun, tak sedikit orang yang mengalami gangguan tidur atau insomnia, sehingga tak mendapat waktu tidur yang berkualitas. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang diterbitkan American Psychiatric Association (APA) dikenal dengan istilah insomnia disorder. Insomnia adalah pengalaman kesulitan tertidur, menjaga tidur, atau mengalami terbangun pada pagi hari.
Menurut peneliti dari University Hospital of Psychiatry and Psychotherapy Bern, Umea University, University of Oxford, dan University of Freiburg, yakni Dieter Riemann, Lukas B. Krone, Katharina Wulff, dan Christoph Nissen, dalam riset “Sleep, Insomnia and Depression” di Neuropsychopharmacology (2020), masalah tidur ini harus disertai dengan gangguan tidur pada siang hari, seperti penurunan fokus dan konsentrasi.
“Gejala ini harus terjadi setidaknya tiga kali seminggu, selama setidaknya tiga bulan, baru dapat didiagnosis sebagai insomnia disorder,” tulis para peneliti.
Para peneliti menyebut, gejala insomnia sangat sering terjadi—lebih dari 50% populasi dalam setahun—dan dalam banyak kasus akan hilang. Diperkirakan, sekitar 10% dari populai di negara-negara industri menderita insomnia kronis.
Sementara, dalam riset Danti Pratiwi dari Universitas Muhammadiyah Malang berjudul “Psikoedukasi untuk Meningkatkan Pemahaman tentang Problem Insomnia pada Lansia” yang terbit di jurnal Procedia (2017) disebutkan, setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% merupakan gangguan tidur yang serius.
“Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yaitu sekitar 67%,” tulis Danti.
Insomnia, selain menimbulkan masalah mental, juga mengganggu kesehatan. Dikutip dari NBC News, berdasarkan riset yang dipaparkan di Amerian College of Cardiology, orang yang mengalami insomnia punya risiko 69% lebih tinggi terkena serangan jantung. Penelitian yang diterbitkan pada 2016 oleh tim riset internasional, tulis NBC News, menguji hubungan antara insomnia dan serangan jantung lewat data lebih dari 1 juta orang dewasa, dengan rata-rata usia 52 tahun dari enam negara.
“Selama rata-rata sembilan tahun pemantauan, orang yang tidur secara rutin selama lima jam atau kurang memiliki risiko 56% lebih tinggi mengalami serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidur delapan jam setiap malam, tanpa memandang usia atau jenis kelamin,” tulis NBC News.
Di Amerika Serikat, menurut Direktur Center for Sleep and Cardiovascular Outcomes Research di University of Pittsburgh Sanjay Patel, sebanyak 10% dari populasi mengalami beberapa bentuk insomnia. Lebih sering terjadi pada perempuan.
Para peneliti juga menemukan, kebiasaan tidur yang baik dapat memberikan manfaat untuk jantung dan kesehatan secara keseluruhan. Bahkan dapat memperpanjang usia.
“Mereka (para peneliti) juga menemukan, 8% dari kematian akibat berbagai penyebab dapat dikaitkan dengan pola tidur yang buruk,” tulis NBC News.
“Menurut riset ini, orang dengan tidur berkualitas tinggi, hidup lebih lama 4,7 tahun untuk pria dan 2,4 tahun untuk perempuan.”
Menurut Patel, seperti dilansir dari NBC News, stres sering kali menjadi akar dari penyebab tidur yang singkat. Kemudian, kurang tidur menjadi stres baru.
“Saya sedikit khawatir, riset ini mungkin akan memperburuk insomnia bagi beberapa orang yang waswas bahwa kalau mereka tak bisa tidur lebih banyak, mereka akan mengalami serangan jantung,” ujar Patel kepada NBC News.
Di samping itu, riset Sogol Javaheri dan Susan Redline dari Brigham and Women’s Hospital, Boston berjudul “Insomnia and Risk of Cardiovascular Disease” di jurnal Chest (Agustus, 2017) menemukan, insomnia punya tingkat komorbiditas yang tinggi dengan beberapa penyakit kardiovaskular, termasuk hipertensi, penyakit jantung koroner, dan gagal jantung.
Celakanya, sebut Dieter Riemann dkk, membutuhkan biaya tinggi untuk pengobatan orang-orang yang mengalami insomnia. Pengobatannya mencakup benzodiazepin, benzodiazepin reseptor agonis, ramelteon, suvorexant, dan zat lain yang diberikan, seperti antidepresan penenang.
“Sampai saat ini, pengobatan insomnia adalah terapi kognitif perilaku. Penting untuk dicatat, diagnosis insomnia, seperti halnya semua gangguan mental, berdasarkan pada pengalaman subjektif individu penderita dan bukan pada kriteria yang ditentukan oleh polisomnografi,” tulis Riemann dkk.