Instalasi Harmoni(S): Menimbang lokasi kuno, materi resam dan bentuk visual
Sebuah instalasi seni cukup besar dengan ukuran panjang 13 meter, lebar 10 meter dan tinggi 4 meter cukup menarik disimak dan perlu untuk diulas. Karya seniman kolektif dari Kilau Art Studio, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang berkolaborasi dengan pengrajin materi tanaman gulma resam di Desa Muaro Jambi, Provinsi Jambi ini, menantang kita mendedahkan tafsir dan pemaknaan yang beragam.
Menimbang tinjauan wacana dan praktik seni kontemporer yang dikatakan site specific art, tentu akan terhubung pada lokasi dan responsif karya terhadap lingkungan sekitar. Demikian pula jika menimbang materi, yang terbuat dari bahan natural, kita bisa menempatkan karya pada perspektif environmental art.
Namun, jika kita membawa pada karya yang diproduksi bersama-sama secara kolaboratif dan sementara sebagian dari ide-ide mendasar seperti asupan data, lokasi dan sangat terbukanya konsep desain yang digagas bersama di Jakarta, maka bisa bergeser pada upaya pemberdayaan pengrajin dan pekerja kreatif setempat. Instalasi itu beralih peran menjadi semacam konsep art activism. Sebuah aksi pemberdayaan masyarakat lewat seni.
Maka tinjauan kuratorial bisa membuka kemungkinan-kemungkinan lain, sikap dan gagasan yang boleh jadi dengan hadirnya diskursus dalam dua dasawarsa terakhir dengan terminologi glo-cal (global sekaligus lokal), yakni: diskursus yang mengemuka bahwa terjadi pertemuan besar arus baru seni lokal dengan dialognya seni yang datang dari Barat. Pertemuan ini, bisa saling memberi, mengupas bahkan memberi kekayaan cakrawala pengetahuan seni baru
Tiga hal utama
Tinjuan kuratorial kemudian mencoba menyederhanakan dengan tak menafikan tafsiran-tafsiran lain dalam tiga hal utama: lokasi yang kuno, materi dan bentuk visual, yang bisa didekatkan pada konsep site specific art sekaligus environmental art.
Pertama tentang sites (situs), yang bisa menggunakan beberapa pendekatan, baik sejarah, arkeologi pun antropologi atau trans disiplin ilmu yang lain. Karya instalasi gigantik ini sudah semestinya direlasikan dengan kompleks Kedaton (instalasinya persis berada beberapa ratus meter dari Kedaton).
Yakni, satu tempat dari puluhan lokasi dalam kompleks Candi Muaro Jambi dalam masa keemasan Kerajaan Sriwijaya, era sang Dharmakirti, dibangun sekitar abad 5-7 Masehi.
Kedaton dipilih sebab area ini adalah sebuah "Global Ancient College" yang terjadi 1200 tahun lalu, ada proses ajar-mengajar dengan ribuan murid dan peziarah yang tak hanya menyediakan ilmu spiritualitas Budha, namun ilmu pengetahuan umum (liberal arts) seperti, sains, filsafat, sastra dan seni.
Sejarah menggiring kita pada sosok Atisha dan I-tsing, dua pembelajar sekaligus peziarah hebat, pada awal milenium ke-2 dengan catatan-catatan musafirnya keduanya bisa ditemukan jejak-jejak naskahnya di Tibet, China, India, kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, mungkin juga Afrika.
Seniman kolektif dari Jakarta, Kilau Art Studio, kemudian ingin menyambung yang kuno dan fenomena saat ini, bagaimana ilmu pengetahuan, kebajikan-kebajikan nalar dan rasa mulai ditanggalkan disebabkan paham materialisme zaman modern.
Yang kedua adalah materi resam (dicrapnoteris linearis, jenis tanaman paku). Tanaman gulma resam, yang aplikatif untuk membuat benda-benda pakai ini juga terkenal di Sumatera sebagai tanaman obat dan materi yang liat tatkala terkena air selain mudah dibentuk.
Kelak, secara ekonomi resam diharapkan membantu masyarakat sekitar candi untuk berdikari dengan lebih kreatif dengan adanya seniman-seniman visual itu.
Yang menarik dari resam, materi ini sepertinya mentransmisi kondisi tragis lingkungan hidup di Muaro Jambi, sebab tambang batu bara, pasir dan sawit beberapa kilometer dari sana memberi dampak buruk pada tanah, udara dan tentu saja cadangan air bersih. Seniman-seniman itu mencoba menghubungkan instalasi resam dan krisis ekologi. Environmental art kemudian hadir dan memberi dalih cukup jelas.
Yang ketiga adalah visualisasi instalasi yang serupa gerak organik, yakni rupa Biomorf. Bentuk yang bergelombang, transparan, meminimalkan sudut-sudut yang runcing. Terasa seperti eros, energi mahluk hidup. Komunitas Kilau Art Studio dengan para mitranya, sekaligus pengrajin resam dan pemuda-pemuda karang taruna setempat bersepakat bahwa karya instalasi seperti gerak peradaban yang tak henti.
Hal itu, meminjam konsep cakra atau yang lain. Tawaf, bergerak bisa jadi melingkar atau tak teratur. Masyarakat muslim setempat sangat dekat secara spiritual pun kultural dengan sejarah panjang dinding-dinding bata ribuan tahun, gundukan-gundukan tanah, kanal, kolam-kolam/kubangan kuno di sana.
Judul karya Instalasi, Harmoni(S) 2020, mungkin seperti doa bagi sebuah kondisi terterpa musibah, semisal pandemi Covid-19 dan krisis lingkungan.
Sebuah instalasi seni cukup besar dengan ukuran panjang 13 meter, lebar 10 meter dan tinggi 4 meter cukup menarik disimak dan perlu untuk diulas. Karya seniman kolektif dari Kilau Art Studio, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang berkolaborasi dengan pengrajin materi tanaman gulma resam di Desa Muaro Jambi, Provinsi Jambi ini, menantang kita mendedahkan tafsir dan pemaknaan yang beragam.
Menimbang tinjauan wacana dan praktik seni kontemporer yang dikatakan site specific art, tentu akan terhubung pada lokasi dan responsif karya terhadap lingkungan sekitar. Demikian pula jika menimbang materi, yang terbuat dari bahan natural, kita bisa menempatkan karya pada perspektif environmental art.
Namun, jika kita membawa pada karya yang diproduksi bersama-sama secara kolaboratif dan sementara sebagian dari ide-ide mendasar seperti asupan data, lokasi dan sangat terbukanya konsep desain yang digagas bersama di Jakarta, maka bisa bergeser pada upaya pemberdayaan pengrajin dan pekerja kreatif setempat. Instalasi itu beralih peran menjadi semacam konsep art activism. Sebuah aksi pemberdayaan masyarakat lewat seni.
Maka tinjauan kuratorial bisa membuka kemungkinan-kemungkinan lain, sikap dan gagasan yang boleh jadi dengan hadirnya diskursus dalam dua dasawarsa terakhir dengan terminologi glo-cal (global sekaligus lokal), yakni: diskursus yang mengemuka bahwa terjadi pertemuan besar arus baru seni lokal dengan dialognya seni yang datang dari Barat. Pertemuan ini, bisa saling memberi, mengupas bahkan memberi kekayaan cakrawala pengetahuan seni baru
Tiga hal utama
Tinjuan kuratorial kemudian mencoba menyederhanakan dengan tak menafikan tafsiran-tafsiran lain dalam tiga hal utama: lokasi yang kuno, materi dan bentuk visual, yang bisa didekatkan pada konsep site specific art sekaligus environmental art.
Pertama tentang sites (situs), yang bisa menggunakan beberapa pendekatan, baik sejarah, arkeologi pun antropologi atau trans disiplin ilmu yang lain. Karya instalasi gigantik ini sudah semestinya direlasikan dengan kompleks Kedaton (instalasinya persis berada beberapa ratus meter dari Kedaton).
Yakni, satu tempat dari puluhan lokasi dalam kompleks Candi Muaro Jambi dalam masa keemasan Kerajaan Sriwijaya, era sang Dharmakirti, dibangun sekitar abad 5-7 Masehi.
Kedaton dipilih sebab area ini adalah sebuah "Global Ancient College" yang terjadi 1200 tahun lalu, ada proses ajar-mengajar dengan ribuan murid dan peziarah yang tak hanya menyediakan ilmu spiritualitas Budha, namun ilmu pengetahuan umum (liberal arts) seperti, sains, filsafat, sastra dan seni.
Sejarah menggiring kita pada sosok Atisha dan I-tsing, dua pembelajar sekaligus peziarah hebat, pada awal milenium ke-2 dengan catatan-catatan musafirnya keduanya bisa ditemukan jejak-jejak naskahnya di Tibet, China, India, kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, mungkin juga Afrika.
Seniman kolektif dari Jakarta, Kilau Art Studio, kemudian ingin menyambung yang kuno dan fenomena saat ini, bagaimana ilmu pengetahuan, kebajikan-kebajikan nalar dan rasa mulai ditanggalkan disebabkan paham materialisme zaman modern.
Yang kedua adalah materi resam (dicrapnoteris linearis, jenis tanaman paku). Tanaman gulma resam, yang aplikatif untuk membuat benda-benda pakai ini juga terkenal di Sumatera sebagai tanaman obat dan materi yang liat tatkala terkena air selain mudah dibentuk.
Kelak, secara ekonomi resam diharapkan membantu masyarakat sekitar candi untuk berdikari dengan lebih kreatif dengan adanya seniman-seniman visual itu.
Yang menarik dari resam, materi ini sepertinya mentransmisi kondisi tragis lingkungan hidup di Muaro Jambi, sebab tambang batu bara, pasir dan sawit beberapa kilometer dari sana memberi dampak buruk pada tanah, udara dan tentu saja cadangan air bersih. Seniman-seniman itu mencoba menghubungkan instalasi resam dan krisis ekologi. Environmental art kemudian hadir dan memberi dalih cukup jelas.
Yang ketiga adalah visualisasi instalasi yang serupa gerak organik, yakni rupa Biomorf. Bentuk yang bergelombang, transparan, meminimalkan sudut-sudut yang runcing. Terasa seperti eros, energi mahluk hidup. Komunitas Kilau Art Studio dengan para mitranya, sekaligus pengrajin resam dan pemuda-pemuda karang taruna setempat bersepakat bahwa karya instalasi seperti gerak peradaban yang tak henti.
Hal itu, meminjam konsep cakra atau yang lain. Tawaf, bergerak bisa jadi melingkar atau tak teratur. Masyarakat muslim setempat sangat dekat secara spiritual pun kultural dengan sejarah panjang dinding-dinding bata ribuan tahun, gundukan-gundukan tanah, kanal, kolam-kolam/kubangan kuno di sana.
Judul karya Instalasi, Harmoni(S) 2020, mungkin seperti doa bagi sebuah kondisi terterpa musibah, semisal pandemi Covid-19 dan krisis lingkungan.
Pengrajin lokal, buku dan harapan
Di Desa Muaro Jambi, para penduduknya secara tradisional intim dengan kerajinan menganyam, yang biasanya jenis daun pandan dari generasi ke generasi ketrampilan itu diturunkan. Sehingga ketika material tanaman gulma resam dibawa oleh para seniman dan pengrajin lain desa, sebenarnya tak asing bagi penduduk desa.
Kerja bahu-membahu dengan komunitas Kilau Art Studio dengan pengrajin serta komunitas lokal menghidupkan area kompleks candi. Seniman-seniman pada akhirnya tak hanya memikirkan bentuk desain lengkap yang berbahan resam, tantangan-tantangan teknis mengkonstruksi dari draf/konsep awal dan bagaimana memilih lokasi dan tentu saja meriset soal keberadaan kompleks Kedaton, sebagai pusat ajar-mengajar global masa lalu itu.
Semuanya akhirnya terhubung pada buku sederhana yang penting, yakni "Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas, 2013", dengan cover buku karya seniman Heri Dono, sebagai salah satu rujukan para seniman. Buku ini disokong oleh sebuah agen perjalanan CEO Asia dari Prancis, atas jasa baik yang menghubungkan dengan situs candi, yakni seorang jurnalis, penulis dan sastrawan yg diganjar penghargaan bergengsi Francophonie-Asie 2003 di Prancis atas kecintaanya yang besar pada sejarah dan karya-karya klasik nusantara, terutama Jawa dengan novel fenomenalnya "Kekasih yang Tersembunyi: Serat Centhini". Ia adalah Elizabeth Inandiak.
Tiga puluh tahun hidup di Indonesia membuat Inandiak tak menjadi seorang arkeolog atau ahli sejarah kuno secara akademis, sebab pendekatan tulisannya yang cair, imajinatif dengan kekuatan narasi yang membuat karakter karyanya istimewa. Proyek-proyek penulisan dan penyaduran baik naskah kuno dan kontemporer sejak 2000-an membuat Inandiak tertarik pada Muaro Jambi dan memberi sentuhan yang unik tatkala menjadi editor dengan menyumbang bangunan cerita di buku "Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas" yang layak dibaca dan menjadi salah satu sumber utama seniman-seniman itu.
Inandiak menjawab pertanyaan pada sebuah Youtube pada 2019, mengomentari tentang Candi Muaro Jambi bahwa kebajikan ilmu pengetahuan berkelindan dalam mitos, dongeng, sejarah riil masa lalu dalam khasanah budaya kita baik dari catatan pelancong, peziarah atau syair-syair tertentu/suluh.
Buku setebal 182 halaman dipresentasikan seperti tuturan seorang narator, pemuda-pemuda kampung, aktivis lokal dan masyarakat muslim di sana. Seolah ungkapan berbagi rasa dari teks-teks dan syair I tsing sebagai saksi kuno yang terpesona dengan candi itu dalam bahasa Indonesia, Inggris, Sansekerta, Mandarin dan Prancis, selain menjabarkan istilah-istilah dan lokasi dalam kompleks Budhis itu, serta yang mengejutkan adalah buku menarasikan sepenggal cerita tentang ancaman-ancaman kerusakan lingkungan.
Buku ini mengungkap juga cerita bagaimana masyarakat setempat menentang kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara dan sawit disekitar situs candi. Seniman-seniman kemudian selama sebulan mensurvei di desa sukamaju, sisa-sisa lahan sawit itu.
Kemudian buku itu seolah harapan untuk masa kini, yang menuntun kita bahwa masa-masa emas masa lalu, puncak-puncak prestasi perguruan tinggi kuno di antara pusat-pusat studi dunia, keyakinan spiritual yang tak hanya menyoal ritual dan semadhi, tetapi pencerahan akal dan budi telah menyebadan dengan karya Instalasi Harmoni (S) itu. Selain harapan juga terhampar bahwa karya instalasi semacam instrumen pendeteksi bencana lingkungan disebabkan ulah manusia.
Bambang Asrini Widjanarko, kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru)