Interaksi manusia dan binatang dalam lukisan gua
Babi hutan berwarna merah itu digambarkan berinteraksi dengan tiga sosok manusia berwarna serupa. Salah satu sosok tampak sedang memegang benda di dekat tenggorokan babi. Yang lainnya, tepat di atas kepala babi, dalam posisi terbalik dengan kaki terentang. Sosok ketiga penampilannya lebih besar dan gagah dibandingkan yang lain, tengah memegang benda tak dikenal dan kemungkinan mengenakan hiasan kepala.
Lukisan tersebut merupakan karya gambar hias gua yang ditemukan di Leang Karampuang, kawasan batuan kapur Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Dalam laporan penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature pada Rabu (3/7), peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adhi Agus Oktaviana beserta beberapa koleganya menemukan, lukisan itu dibuat 51.200 tahun yang lalu. Sebuah lukisan gua figuratif tertua di dunia.
Para peneliti menggunakan teknik yang dikenal sebagai penanggalan seri uranium (seri U), yang digunakan untuk menganalisis endapan mineral kalsit yang menutupi gambar. Para peneliti pun menggunakan aplikasi baru dari pendekatan yang mereka kembangkan, disebut laser-ablation U-series imaging (LA-U-series). Gunanya, menentukan usia beberapa lukisan gua paling awal di wilayah tersebut.
Sebelumnya, lukisan figuratif paling awal diklaim ada di Leang Tedongnge di Sulawesi Selatan, yang dibuat pada 45.500 tahun yang lalu. Kemudian, lukisan di situs Leang Bulu’ Sipong 4 di wilayah yang sama diketahui dibuat 43.900 tahun lalu.
Lukisan di Leang Karampuang itu, disebut Newsweek, sebagai seni gua figuratif paling awal yang ada di dunia. Bisa jadi pula, gambar naratif tertua.
Seni figuratif adalah karya yang tidak berdesain abstrak dan menggambarkan dengan jelas suatu objek, seperti hewan dan manusia.
“Seni gua naratif menunjukkan, para pelukis menyampaikan lebih banyak informasi tentang gambar daripada sekadar objek statis individual, mereka memberi tahu kita cara melihatnya secara bersamaan,” ujar periset dari Australian Research Centre for Human Evolution, Griffith University, Maxime Aubert, yang juga salah seorang peneliti dalam riset itu kepada Newsweek.
Live Science menyebut, bukti arkeologi menunjukkan, manusia Neanderthal mulai menggambar gua sejak 75.000 tahun yang lalu, tetapi biasanya tidak bersifat figuratif. Hingga beberapa tahun yang lalu, lukisan gua figuratif berusia 21.000 tahun ditemukan di Lascaux, Prancis. Lukisan tersebut menggambarkan manusia berkepala burung sedang menyerang bison.
Akan tetapi, pada 2019, para arkeolog menemukan ratusan contoh seni batu di gua-gua karst Maros-Pangkep. Lukisan itu mencakup panel selebar 15 kaki atau 4,5 meter menggambarkan sosok mirip manusia sedang berinteraksi dengan babi hutan dan anoa.
Menurut para peneliti, identitas para pelukis itu kemungkinan besar Homo sapiens. Namun, kurang ada bukti keberadaan manusia karena gua terletak di ketinggian, jauh dari area lainnya.
“Ada kemungkinan manusia purba ini hanya naik ke gua-gua untuk membuat karya seni ini,” kata Aubert dalam Live Science.
“Mungkin ada cerita dan ritual yang terkait dengan melihat karya seni tersebut, kita tidak tahu. Tapi tampaknya ini adalah tempat spesial.”
Di sisi lain, para arkeolog tertarik dengan lukisan naratif tentang sosok sebagian manusia dan sebagian hewan atau disebut therianthrope.
“Para arkeolog sangat tertarik dengan penggambaran therianthrope karena memberikan bukti kemampuan membayangkan keberadaan makhluk gaib, sesuatu yang tidak ada dalam kehidupan nyata,” kata arkeolog asal Griffith University yang juga terlibat dalam penelitian, Adam Brumm, dikutip dari Live Science.
Sebelumnya, bukti paling awal keberadaan therianthrope adalah patung manusia-singa berusia 40.000 tahun yang digali di sebuah gua di Jerman.
Bagaimanapun, gambar yang dilukis di dinding gua, mencerminkan salah satu bentuk komunikasi paling awal yang dilakukan manusia. Gambar-gambar paling awal yang diketahui sering kali tampak abstrak, bersifat simbolis, hingga menggambarkan figur hewan, manusia, dan hibrida yang kemungkinan bermakna spiritual.
Menurut The Art Story, manusia dahulu menggambar di gua menggunakan arang dan pigmen alami lainnya, seperti oker. Lukisan-lukisan di dinding gua memberikan catatan yang baik tentang jenis-jenis hewan yang ada di lokasi tertentu pada zaman Paleotikum, yang beberapa di antaranya sudah punah.
Representasi binatang buas, sebut The Art Story, juga membuat banyak orang percaya lukisan tersebut berfungsi sebagai catatan fauna yang “tersedia” untuk diburu di daerah sekitar. Sementara itu, adanya titik-titik di samping beberapa hewan kemungkinan menyiratkan semacam penghitungan yang menggambarkan karya tersebut dapat digunakan untuk mencatat keberhasilan perjalanan berburu sebelumnya.
Penempatan gambar-gambar di dinding gua atau bahkan di langit-langit, umumnya di tempat terpencil di bagian belakang gua, menurut The Art Story, memunculkan teori lain tentang mengapa beberapa lukisan itu dibuat. Beberapa orang percaya, gambar-gambar itu ditempatkan di lokasi sebuah kelompok bisa berkumpul untuk mengadakan upacara rahasia—kemungkinan dalam upaya melakukan perburuan.
“Di Gua Niaux di Prancis misalnya, menurut arkeolog Jean Clottes, ruangan yang relatif luas akan mampu menampung kelompok yang relatif besar,” tulis The Art Story.
“Hal ini mendukung teori bahwa gambar mempunya fungsi ritual.”
Di sisi lain, sangat sedikit gambar bentuk manusia yang ditemukan, selain makhluk gabungan setengah manusia setengah hewan yang ditemukan di gua-gua Eropa. Tak seperti seni Australia dan Afrika Selatan di periode yang sama, seni gua di Eropa tak menawarkan gambaran tentang lanskap, seperti cakrawala. Nyaris tak ada penggambaran interaksi manusia dengan hewan dan hampir tak ada adegan berburu.
“Tidak ada alasan yang diketahui untuk hal ini. Namun, banyak orang cenderung mengaitkan fungsi spiritual yang lebih jelas pada seni gua non-Eropa. Bahkan, ada yang berpendapat, gambar tersebut bisa jadi merupakan dokumen upacara spiritual,” tulis The Art Story.
Sementara itu, menurut History, lukisan gua di Sulawesi Selatan menunjukkan kemampuan senimannya dalam menggambarkan makhluk yang ada di lingkungan sekitar. Empat orang peneliti yang terlibat dalam riset di Leang Karampuang, yakni Adhi Oktaviana, Adam Brumm, Maxime Aubert, dan Renaud Joannes-Boyau menyebut, sosok-sosok mirip manusia itu digambarkan menyampaikan kesan tindakan yang dinamis dalam hubungannya dengan babi.
“Sesuatu sedang terjadi dalam karya seni ini. Sebuah kisah sedang diceritakan. Kami tidak tahu cerita apa itu. Mungkin itu adalah kisah perburuan babi hutan atau penggambaran mitos atau kisah khayalan,” tulis para peneliti dalam The Conversation.
“Apa pun masalahnya, hal ini tampaknya menyangkut hubungan antara babi dan manusia seperti yang dipahami oleh manusia purba di Sulawesi.”