Ironi bunuh diri pada anak
Pada Senin (22/1) pagi, seorang anak berusia 11 tahun berinisial EF di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, ditemukan tewas tergantung di dalam kandang sapi. Jenazah korban diketahui pertama kali oleh ayah angkat dan pamannya. Diduga, siswa kelas 5 SD itu melakukan tindak bunuh diri karena pengaruh video di media sosial.
Sebelumnya, seorang siswa SD berusia 10 tahun di Pekalongan, Jawa Tengah juga mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pada Rabu (22/11/2023). Diduga penyebabnya karena kecewa ponsel disita orang tuanya.
Kejadian bunuh diri pada anak, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dari 2004 hingga 2023 sebanyak 356 kasus.
“Kalau dibagi rata setiap bulan itu sekitar 15 atau maksimal 18 anak (melakukan tindak bunuh diri) setiap tahun,” ujar komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dyah Puspitarini kepada Alinea.id, Rabu (24/1).
Sementara pada 2023, dari data yang direkapitulasi KPAI, ada 46 kasus anak mengakhiri hidup.
“Jadi pada tahun 2023 meningkat 200% hingga 300%. Memang mengkhawatirkan,’ ucap Dyah.
Dyah mencatat, anak yang mengakhiri hidup paling kecil berusia sembilan tahun. Sedangkan yang paling dewasa berusia 17 tahun. Paling banyak terjadi pada anak usia 10 tahun dan 12 tahun.
“Notabene mereka masih anak-anak dan duduk di bangku sekolah dasar. Itu pun juga meningkat cukup tajam,” kata dia.
Penyebab dan pencegahan
Penyebab utama anak melakukan bunuh diri, menurut Dyah, karena pola pengasuhan orang tua yang rapuh dan kurang ikatan antara anak dan orang tua. Imbasnya, anak kurang terbuka terkait masalah yang dihadapi kepada orang tua. Lalu, faktor perundungan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal dan sekolah.
“Faktor asmara yang gagal juga ternyata tidak bisa kita sepelekan,” tutur Dyah.
Terpisah, Guru Besar tetap Ilmu Psikologi Universitas Indonesia (UI) sekaligus psikolog anak, Rose Mini Agoes Salim mengungkapkan, tren anak mengakhiri hidup yang meningkat berhubungan erat dengan pola asuh orang tua yang abai. Hal ini mengakibatkan anak tak memiliki life skill untuk menghadapi persoalan.
“Sering kali anak kadang-kadang merasa tidak nyaman. Tapi tidak bisa mengekspresikan itu kepada orang tuanya,” kata Rose, Selasa (23/1).
“Sementara dengan teman atau guru juga mereka tidak dapat tanggapan. Jadi, masalah itu terbenam dalam dirinya.”
Rose mengatakan, anak yang memiliki kemampuan psikososial yang baik, seperti mampu menganalisa, berkomunikasi, dan berempati, maka tak mudah terdorong mengakhiri hidup. Keterampilan psikososial itu, kata Rose, harus diajarkan sejak anak masuk ke sekolah dan ketika mulai berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal.
“Kalau ini tidak diajarkan pada diri anak, maka ketika dia mengalami sesuatu, seperti tidak ada jalan keluar. Salah satu caranya adalah mengakhiri hidupnya,” ucap dia.
Selain sekolah, orang tua pun harus peka saat anak menghindari keramaian dan menyendiri. Jika terlihat sikap seperti itu, bisa jadi mental anak sedang tak baik karena faktor eksternal dari lingkungan sekitar.
“Ada kadang-kadang masalah di-bully di sekolah atau anak itu enggak nyaman karena tidak bisa paham pelajaran di sekolah,” ujar Rose.
“Tapi enggak semua anak punya kemampuan komunikasi untuk menjelaskan masalah itu. Namun, orang tua juga enggak tanggap.”
Sementara itu, menurut Dyah, kepedulian keluarga sangat penting untuk mencegah anak melakukan tindak bunuh diri. Sebab, pola asuh yang berorientasi pada penguatan karakter yang logis dan mandiri sangat penting sebagai bekal anak menghadapi kondisi depresi.
“Komunikasi dengan orang tua itu sangat penting karena ada juga hal sepele, misal, anak ditegur tidak usah main hp (handphone),” ucap Dyah.
“Terus, anak sakit hati dan masuk kamar, lalu bunuh diri. Itu kasus tidak hanya satu. Ada dua atau tiga kasus seperti itu.”
Dyah menuturkan, mental anak yang rapuh sangat rentan mengakhiri hidup ketika menghadapi masalah di luar. Maka, lingkungan sekitar, termasuk sekolah, mesti tanggap memitigasi anak yang depresi.
“Beberapa kasus itu ada memang (yang) meninggal di sekolah. Dia terjun dari lantai (atas di) sekolah itu ada beberapa (kasus),” kata dia.
“Itu juga perlu pengawasan dan kemudian sekolah juga harus membuat sistem. Sistem pengawasan di sekolah puh harus ditingkatkan.”
Salah satu kasus anak yang mengakhiri hidup di sekolah dengan cara melompat dari lantai empat sekolahnya terjadi di sebuah SD di kawasan Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Selasa (26/9/2023).
Dyah melanjutkan, edukasi kesehatan mental perlu pula ditingkatkan pada anak di sekolah, sehingga mereka terdorong menghindari penyelesaian masalah dengan cara bunuh diri. Di samping itu, masyarakat di lingkungan sekitar rumah mesti tanggap, jika ada gerak-gerik anak yang menjurus pada menyakiti diri sendiri, yang berujung mengakhiri hidup.
“Ada beberapa kasus yang meninggal itu gantung diri di pohon,” ucap Dyah.
“Kalau masyarakat melihat ada gerak-gerik yang aneh pada anak, terus diam-diam dia beli tali. Kemudian ada kenyataan mau bunuh diri, mungkin bisa dicegah.”
Tak kalah penting, ujar Dyah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mesti lebih ketat menyaring situs yang bisa mendorong anak melakukan upaya mengakhiri hidup. Alasannya, tak sedikit anak yang mengakhiri hidup karena melihat tontonan berbahaya dan menjurus pada perilaku mengakhiri hidup di internet.
“Ada anak yang mengakhiri hidup itu mendapat informasi atau mencari tahu di situs-situs (internet) ini,” ucap Dyah.
Sedangkan Rose menekankan, perlu ada penanganan dalam kerangka kebijakan dan rekayasa sosial di lingkungan sekolah dan tempat tinggal. Orang tua dan guru di sekolah, mesti memiliki mekanisme mitigasi pencegahan anak kemungkinan mengakhiri hidup, sehingga bisa mencegah kejadian yang lebih fatal. Sistem mitigasi mulai dari pola asuh dan pengawasan psikologis yang baik itu, kata Rose, bisa dilakukan di level lingkungan rumah dan sekolah.
“Setiap dinas pendidikan level kabupaten harus peka terhadap masalah kesehatan mental ini. Harusnya ada guru BK (bimbingan konseling) di sekolah untuk membantu kalau tidak ada psikolog,” ujarnya.
“Tapi tidak semua sekolah punya guru BK apalagi psikolog. Kalau enggak, (bisa) kerja sama saja dengan konsultan dan rumah sakit untuk membantu sekolah.”