Stalker: Perilaku penguntit yang menyebalkan
Pada Selasa (31/10) aktris, model, dan selebritas internet Anya Geraldine membagikan pengalaman yang tak menyenangkan di Instagram Story-nya. Ia mengungkapkan, selama sepekan terakhir, diikuti orang tak dikenal. Bahkan hingga ke apartemennya.
Sang penguntit atau stalker juga mengganggu Anya dengan pesan-pesan lewat media sosial. Dalam video singkat itu, Anya mengatakan, ia tak nyaman dengan orang misterius tersebut. Dari isi pesannya, tampak si stalker sangat terobsesi dengan Anya.
Penguntit itu juga sampai-sampai ada di bawah apartemennya, selama seminggu terakhir. Menurut Anya, perbuatan sang stalker sudah membuatnya risih. Ia tak menyalahkan orang mengidolakan dirinya, tetapi Anya merasa risih jika ada fan yang terlalu berlebihan. Ia mengaku butuh privasi sebagai seorang manusia biasa.
Perilaku stalking tak cuma dialami Anya. Selebritas dan tokoh publik dunia bahkan banyak yang mengalami hal yang lebih gila dari apa yang Anya alami.
Contohnya, seperti ditulis Sara Brady dalam situs Your Tango, adalah John Hinckley, yang terobsesi dengan aktris Jodie Foster usai menonton film Taxi Driver pada 1976. Selama Jodie berkuliah di Yale University, Hinckley mengikutinya ke New Haven dan menaruh catatan di bawah pintunya. Alih-alih ingin mencari perhatian Foster, ia melakukan perbuatan kriminal berat.
“Dia memutuskan mencoba membunuh Presiden (Ronald Wilson) Reagen,” Brady. Hinckley pun akhirnya ditangkap. Kehidupan sang stalker berakhir di penjara.
Stalker lainnya yang cukup terkenal bernama William Lepeska. Menurut Brady, Lepeska sempat menghabiskan waktu selama lima tahun karena terobsesi dengan mantan anggota Spice Gils, Mel B.
Namun, ia lantas mengalihkan obsesinya itu kepada petenis Rusia, Anna Kournikova. Lepeska melakukan hal di luar nalar demi Kournikova. Ia berenang telanjang melintasi Biscayne Bay untuk mencapai rumah Kournikova di Miami Beach. Lalu, berjalan tak jelas di rumah tetangganya. Karena hal itu, Lepeska ditangkap pada 2005.
Apa dan bagaimana stalker?
Dalam Psycology Today profesor psikologi dari York University sekaligus penulis buku Trauma and the Avoidant Client, Robert T. Muller, mengatakan stalking adalah sebuah perhatian, pelecehan, kontak yang tak diinginkan, atau perilaku yang diarahkan kepada seseorang dengan berulang, yang membuat orang menjadi takut.
“Sifat neurotik yang tak henti-hentinya dari pelaku stalking dapat berupa pelecehan terhadap target, menghubungi secara berulang, serta mengirimkan surat dan hadiah. Jika ini tak efektif, pelaku dapat meningkatkan perilaku yang lebih mengganggu, seperti mengintai dan secara tiba-tiba ada di hadapan korban,” tulis Muller.
Menurut konselor profesional di Austin, Texas, Ashley McMann, dalam wawancara kepada jurnalis Hilary I. Lebow di Everyday Health, stalking menimbulkan trauma yang intens. Riset dalam Journal of Interpersonal Violence pada 2023 menyebut, 91% korban mengalami dampak psikologis. Efek lainnya bersifat fisik.
“Mengalami ketakutan konstan terhadap privasi, membuat Anda berada dalam keadaan hiperarousal, yang membuat sulit berkonsentrasi, tidur, dan bekerja,” ujar McMann kepada Lebow.
“Sistem saraf yang terlalu terbebani ini dapat menyebabkan kelelahan, ketegangan otot, perubahan selera makan, dan sistem kekebalan tubuh yang melemah.”
Katrina Baum dari National Institue of Justice di Washington pernah melakukan studi nasional kepada korban stalking pada 2009. Hasilnya, sebanyak 36,6% menganggap motivasi pelaku adalah pembalasan, kemarahan, atau kebencian. Sedangkan 32,9% menjawab pengendalian, dan 23,4% mengatakan gangguan mental atau ketidakstabilan emosional.
“Pada kenyataannya, sebagian besar pelaku stalking tidak mengalami halusinasi atau waham, meskipun banyak dari mereka mungkin menderita gangguan mental lain, termasuk depresi, penyalahgunaan zat, dan gangguan kepribadian,” tulis Muller.
Penelitian yang tak kalah penting dilakukan pakar stalking Australia sekaligus direktur klinis dan kepala psikiater di Forensicare Victoria, Paul Mullen, pada 1993. Ia menganalisis perilaku 145 pelaku stalking. Berdasarkan analisisnya itu, Mullen dan koleganya mengusulkan lima jenis pelaku stalking—untuk memudahkan diagnosis dan pengobatan.
Pertama, pelaku stalking yang ditolak. Menurut Muller, pelaku jenis ini mengalami akhir hubungan yang tak diinginkan, kemungkinan dengan pasangan, orang tua, rekan kerja, atau kenalan.
Kedua, seseorang yang mencari kedekatan dengan mengidentifikasi orang asing sebagai cinta sejati. Biasanya, pelaku seperti ini berperilaku seolah-olah mereka ada dalam hubungan dengan orang tersebut.
“Banyak pelaku stalking seperti ini meyakini bahwa cintanya dibalas,” tulis Muller
Ketiga, jenis pelaku yang tak kompeten. Mirip pelaku pencari kedekatan, mereka berharap perilakunya akan mengarah pada hubungan dekat. “Namun, jenis pelaku stalking ini mengakui bahwa korban tak merespons kasih sayang mereka, sementara ia tetap melanjutkan upayanya,” ujar Muller.
“Mullen melihat pelaku stalking yang tidak kompeten ini sebagai individu yang terbatas secara intelektual dan canggung secara sosial.”
Keempat, pelaku stalking yang merasa terhina karena merasa mengalami ketidakadilan. Mereka menginginkan balas dendam terhadap korban, ketimbang hubungan. “Ditemukan bahwa pelaku stalking yang merasa terhina sering kali melihat ayah mereka sebagai orang yang sangat mengendalikan,” tulis Muller.
Terakhir, pelaku stalking yang bersifat predator. Mereka tak punya keinginan menjalin hubungan dengan korban, tetapi menginginkan rasa kuasa dan kontrol. “Mullen menjelaskan, mereka merasa senang mengumpulkan informasi tentang korban dan berfantasi untuk menyerang secara fisik, dan yang paling sering secara seksual,” tulis Muller.
Psikoterapis di New York, Monica Amorosi—dikutip dari tulisan Lebow—memberikan beberapa saran bila merasa diikuti seseorang, yakni memberitahu orang lain; mengumpulkan bukti; melindungi privasi, misalnya meningkatkan keamanan ponsel atau media sosial; dan melapor polisi.
Terlepas dari itu, Muller mengatakan, penelitian Mullen menunjukkan para ahli seharusnya tak fokus pada pelaku stalking sebagai pelaku kejahatan, tetapi sebagai individu yang rentan dan terdistorsi. “Perilaku mereka mencerminkan, setidaknya sebagian, pengaruh dari gangguan mental yang serius,” tulis Muller.
“Langkah paling penting adalah melihat mereka sebagai individu yang membutuhkan bantuan psikologis.”