close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi poster film Sumala./Foto tangkapan layar Instagram @hitmakestudios
icon caption
Ilustrasi poster film Sumala./Foto tangkapan layar Instagram @hitmakestudios
Sosial dan Gaya Hidup - Hiburan
Senin, 30 September 2024 06:14

Sumala: Dendam si anak iblis dan kekejaman orang tua

Film Sumala mengangkat isu yang relevan kini, yaitu kekerasan orang tua terhadap anaknya.
swipe

Film Sumala dirilis pada 26 September 2024. Dibintangi Luna Maya, Darius Sinathrya, dan Makayla Rose, film yang disebut diangkat dari kisah nyata ini menyajikan banyak adegan brutal.

Bagaimana cerita filmnya?

Kisah film Sumala diawali dengan sekelompok anak yang bermain sepak bola di sebuah lapangan kecil di tengah kebun jagung pada 1976. Anak-anak itu sudah diperingati untuk pulang, sebelum gelap.

Namun, bola yang mereka mainkan masuk ke kebun jagung yang tinggi dan lebat. Dua anak, Sutrisno dan Abdi, masuk untuk mencari bola itu, sedangkan anak-anak lainnya pulang. Ketika malam tiba, mereka bertemu sosok anak perempuan, dengan wajah yang mengerikan, mengambil bola yang mereka cari.

Sutrisno mengejar anak perempuan itu. Abdi tertinggal. Abdi pun lantas melihat Sutrisno mati, dengan cara kepalanya ditumbuk batu oleh anak perempuan berwajah seram tersebut. Setelah satu kampung ribut-ribut soal Sutrisno yang ditemukan mati, muncul seorang pria yang memberi tahu kalau anak perempuan itu bukan anak biasa.

Kisah lalu mundur ke belakang, tahun 1947. Di sebuah rumah paling megah di satu kampung bilangan Kabupaten Semarang, tinggal suami-istri tuan tanah bernama Soedjiman (Darius Sinathrya) dan Sulastri (Luna Maya). Sudah menikah selama 11 tahun, mereka belum dikarunia anak.

Tertekan karena tuntutan suami dan keluarganya, Sulastri mengambil jalan pintas. Tanpa sepengetahuan suaminya, dia pergi ke rumah seorang dukun di kampung seberang. Dukun tersebut menjamin Sulastri bakal hamil dalam waktu dua bulan, tetapi syaratnya harus bersekutu dengan iblis.

Sang dukun mengatakan, nanti Sulastri diberi dua anak kembar perempuan. Satu anak berparas cantik, baik hati, tetapi cacat. Satu anak berparas buruk rupa dan kerap membuat onar. Anak yang berwajah buruk rupa merupakan anak iblis, yang bakal diambil kembali oleh iblis di usia 10 tahun. Kedua anak itu harus dirawat, sebelum diambil iblis.

Ketika mengandung, Soedjiman dan Sulastri merencanakan, anak mereka diberi nama Kumala dan Sumala. Setelah anak itu lahir, Soedjiman kecewa karena satu bayinya terlihat tak lazim. Tak ambil pikir panjang, dia lantas membunuh bayi tersebut dengan sebilah keris. Perjanjian dengan iblis pun dilanggar.

Kumala tumbuh besar. Hanya, disabilitas. Kumala mengalami keterlambatan bicara, kakinya pincang, dan tangan kirinya tidak normal. Di usianya yang keenam tahun, Kumala kerap rewel. Soejiman memperlakukan Kumala dengan keras. Awalnya dia hanya diikat.

Seiring bertumbuhnya usia, Kumala kerap mendapatkan kekerasan dari ayahnya. Mulai dari ditampar, diikat di gudang, diikat di tiang di kebun jagung, dibentak, hingga dipasung. Kumala juga sering kali mendapat perundungan dari teman-teman seusianya. Namun, ibunya yang menyaksikan hal itu, hanya diam.

Menjelang usianya yang ke-10, Kumala didatangi hantu kembarannya, Sumala. Sumala yang berwajah mengerikan berjanji bakal menjaganya. Dia lantas mengikuti Kumala ke mana-mana. Kumala dirasuki Sumala.

Pembalasan dendam pun tiba. Satu persatu, mereka yang menyakiti Kumala dibunuh dengan cara yang keji, termasuk ibu dan ayahnya sendiri.

Apa kelebihan dan kelemahan film ini?

Akting Darius sangat baik, memerankan sosok orang tua yang kejam terhadap anaknya. Namun, alur film yang terlalu lambat untuk membangun sebab-akibat seluruh kejadian menegangkan di film ini terlampau membosankan.

Alih-alih horor dengan teknik jumpscare, film ini malah menonjolkan adegan-adegan sadis, seperti pemenggalan, penggorokan, dan penusukan. Bagi penggemar film horor gore—menampilkan hal-hal berbau kekerasan—dan splatter—penggambaran grafis tentang darah dan kekerasan—mungkin film ini bisa dinikmati. Akan tetapi, bagi yang hanya ingin melihat wajah hantu yang seram, tetapi kurang suka adegan brutal, rasanya kurang cocok.

Alasan Sumala tetap membunuh anak-anak, walau dendamnya sudah terbalas juga kurang kuat. Puluhan tahun berlalu, Sumala tetap ada dan memburu anak-anak yang tak pulang kala malam tiba. 

Dari mana kisah ini diangkat?

Sutradara Sumala, Rizal Mantovani, disebut-sebut mengangkat film ini dari kisah nyata, yang ceritanya dibeberkan lewat utas akun Betz Illustration di media sosial X. Betz menulis utas di X pada akhir 2023. Menurut pengakuannya di X, Betz mendapatkan cerita tersebut dari seseorang yang mengirim pesan di Instagram-nya, bernama Abdi, yang mengaku mengalami kejadian mengerikan saat usianya baru delapan tahun.

Lokasi sesungguhnya di Semarang, juga masih diperdebatkan. Betz hanya menyebut, lokasi desanya ada di perbukitan dan pelosok, terdapat kebun jagung yang luas. Hal itu dibuktikan dengan unggahan foto. Betz juga mengunggah foto sesajen, yang menurutnya masih ada di beberapa tempat di penjuru desa yang dipercaya warga untuk meredam amarah Sumala.

Akun YouTube Bocah Bandungan, seperti dilansir dari Suara Merdeka, menyebut lokasi kisah Sumala diduga ada di Kecamatan Bancak, Desa Plumutan, Dusun Randusari, di ujung Kabupaten Semarang berbatasan dengan Boyolali.

Meski demikian, belakangan ini film-film horor Indonesia kerap diklaim sebagai “diangkat dari kisah nyata”. Selain Sumala, sebelumnya ada KKN di Desa Penari yang sukses, diangkat dari utas akun X. Lalu, ada Lembayung, yang juga disebut kisah nyata seorang mahasiswi bernama Pica yang menceritakan pengalaman mistisnya saat menjalani praktik kerja lapangan (PKL) di sebuah poli gigi. Namun, apakah dilakukan riset mendalam terhadap kebenaran ceritanya, masih diragukan.

Bagaimana konteksnya dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak?

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan film ini, tetapi Sumala mengangkat isu yang kuat, yakni kekerasan orang tua terhadap anak. Bahkan, isu itu masih relevan hingga kini.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat pada rentang Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki.

Kekerasan seksual ada di urutan tertinggi, dengan 6.280 kasus. Diikuti kekerasan fisik 6.472 kasus dan kekerasan psikis 4.054 kasus. Pelakunya orang dekat, seperti orang tua sebanyak 1.069 kasus, serta pacar atau teman sebanyak 2.383 kasus.

Sepanjang 2024, cukup banyak kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua. Contohnya, seorang ibu yang tega menggorok leher anaknya yang masih berusia 18 hari di Labuhanbatu, Sumatera Utara karena kecewa anaknya berjenis kelamin laki-laki.

Seorang ayah di Ciomas, Kabupaten Serang, Banten yang tega menggorok leher anaknya yang masih berusia tiga tahun, dengan alasan sedang mendalami ilmu kebatinan. Lalu, seorang ayah di Kota Ternate, Maluku Utara, yang tega membakar anak perempuannya hanya karena keluar rumah tanpa izin.

Kemudian, sepasang suami-istri di Kota Bandung, Jawa Barat yang menganiaya anak balita yang diadopsinya hingga tewas. Terakhir, yang tak kalah miris, seorang ibu menganiaya anaknya yang berusia enam tahun dengan cara diinjak dan dicambuk di Medan, Sumatera Utara, hanya karena stiker sekolah yang hilang.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan