close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah calon pelamar kerja melamar pekerjaan pada Job Fair di Gedung Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (19/10/2018). Foto Antara/Adeng Bustomi.
icon caption
Sejumlah calon pelamar kerja melamar pekerjaan pada Job Fair di Gedung Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (19/10/2018). Foto Antara/Adeng Bustomi.
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 26 Juni 2024 06:00

Jalan keluar cegah pendatang yang menganggur

Urbanisasi kerap menyisakan problem pengangguran. Bagaimana solusinya?
swipe

Maksum, 21 tahun, selalu berusaha mendatangi rumah-rumah warga yang tengah direnovasi di daerah Jakarta dan Tangerang, menawarkan diri untuk bekerja sebagai kuli bangunan atau tukang cat. Pemuda asal Brebes, Jawa Tengah itu mengakui sangat membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup di Jakarta.

Dia datang ke Jakarta selepas Idulfitri pada April 2024 lalu. Tujuannya ingin punya pekerjaan yang lebih pasti ketimbang di kampung halamannya. Selama di desa, dia hanya menggantungkan penghasilan sebagai buruh tani bawang merah, dengan upah Rp50.000 sehari.

“Tapi tidak setiap hari ada kerjaan. Kadang-kadang sama sekali enggak ada, (bisa) seminggu (tidak ada kerja). (Kalau begitu) saya enggak punya duit,” ucap Maksum kepada Alinea.id, Sabtu (22/6).

Dia merantau berbekal ijazah SMK jurusan otomotif dan menggantungkan harapan dari bantuan saudaranya yang membawanya ke Jakarta. Sayangnya, tempat saudaranya bekerja di toko ponsel di Roxy Square, Jakarta Barat juga sedang banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Jadi saya belum kerja dari Lebaran sampai sekarang,” kata Maksum.

Sementara Rabani, 20 tahun, yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah memutuskan merantau ke Jakarta pada 2022, setelah gagal tes masuk perguruan tinggi negeri. Dia pun memilih untuk mencari pekerjaan. Pemuda lulusan SMA itu ingin bekerja di perusahaan teknologi informasi di Jakarta.

”Tapi, sampai sekarang belum dapat pekerjaan tetap," ujar Rabani, Minggu (23/6).

Selama di Jakarta, dia tinggal bersama saudaranya yang memiliki warung di bilangan Rawa Bokor, Tangerang, Banten. “Saya kadang jaga warung sama bantuin belanja, biar enggak kelihatan numpang tinggal,” kata Rabani.

“Kadang sering dikasih upah lebih dari yang saya kerjain. Jadi enggak enak.”

Lain lagi dengan Puput, 19 tahun. Nasibnya terbilang beruntung. Baru sebulan tiba di Jakarta, warga Pemalang, Jawa Tengah itu langsung mendapat pekerjaan sebagai kasir di sebuah minimarket di Cengkareng, Jakarta Barat, berkat bantuan kenalan dekatnya di kampung.

“Alhamdulillah, buat awal. Tapi (nanti) saya mau cari kerjaan lain yang gajinya lebih gede,” ucap Puput.

Penyebab pendatang menganggur

Maksum dan Rabani adalah contoh perantau yang sulit mengadu nasib di Jakarta usai mereka merantau sehabis Idulfitri lalu. Lonjakan urbanisasi, bagaimanapun berkorelasi dengan pengangguran di Jakarta. Dikutip dari Antara, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta melaporkan, jumlah pendatang baru ke Jakarta usai Idulfitri sebanyak 7.243 orang—berdasarkan hasil perhitungan pada Mei 2024.

Dari jumlah pendatang baru tersebut, sebanyak 84,12% hanya berpendidikan di bawah SMA. Sisanya, sebanyak 15,88% berpendidikan lebih tinggi dari SMA. Pendatang baru paling banyak berasal dari Kota Bekasi, yakni 366 orang. Kemudian 274 orang dari Bogor, 257 orang dari Depok, 245 orang dari Kota Tangerang, dan 186 orang dari Kabupaten Bekasi.

Sedangkan Jakarta Barat menjadi tujuan kedatangan yang paling banyak diminati, yakni 565 orang. Disusul Jakarta Selatan sebanyak 526 orang, Jakarta Timur 507 orang, Jakarta Pusat 260 orang, Jakarta Utara 189 orang, dan Kepulauan Seribu 17 orang.

Jumlah tersebut tergolong turun dalam perhitungan Mei 2023, yang sebanyak 15.934 orang. Jumlah tersebut terbanyak sepanjang periode 2023. Pada Desember 2023, jumlah pendatang baru 8.783 orang. Sepanjang 2023, pendatang baru terbanyak juga berasal dari Bekasi, yakni 8.944 orang. Diikuti Kota Depok 6.353 orang, Kabupaten Bogor 5.978 orang, Kota Tangerang 4.673 orang, dan Kabupaten Bekasi 4.384 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 45.581 orang lulusan SMA, lalu 23.299 orang tidak sekolah, dan 18.703 orang lulusan SMP.

Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana, arus urbanisasi yang berdampak pada pengangguran terjadi karena tiga faktor. Pertama, hilangnya tradisi kewirausahaan otentik di desa, seperti berdagang kerajinan tangan, membuat kain, dan segala usaha khas daerah. Akibatnya, pekerja informal di desa tidak bisa menjadi penahan laju urbanisasi.

“Padahal tradisi pedagang kecil atau usaha rumahan merupakan katup pengaman,” ujar Asep kepada Alinea.id, Senin (24/6).

“Dulu kalau orang enggak bisa masuk sektor pekerjaan formal, dia masuk ke sektor informal.”

Asep menjelaskan, berkurangnya orang yang bekerja di sektor informal karena tingkat pendidikan semakin tinggi. “Jadi, orang tidak berselera lagi bekerja informal. Mereka lebih berselera bekerja di perusahaan dan pabrik,” ucap Asep.”

Kondisi itu, menurut Asep, lumrah terjadi di wilayah Jawa Barat. Semisal di Tasikmalaya, yang dahulu terkenal sebagai “pencetak” tukang kredit dan sentra bordir. Namun, seiring meningkatnya tingkat pendidikan, banyak orang tidak tertarik lagi bekerja sebagai tukang kredit atau perajin bordir, lebih memilih kerja di pabrik.

“Kalau di Garut itu jadi tukang cukur. Dan pekerjaan lain, (seperti) tukang patri atau tukang jahit. Tapi sudah ditinggalkan,” tutur dia.

Kedua, usia produktif—rata-rata usia 20 tahun—melonjak karena tak ada keberlanjutan program keluarga berencana (KB) setelah reformasi. “Orang yang menikah pada tahun 2000, anaknya sudah berusia 20 tahun dan siap kerja,” kata Asep.

Ketiga, terlampau tingginya konsentrasi pembangunan di wilayah Jakarta dan aglomerasi Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi dibanding daerah lainnya. Akhirnya menjadi pendorong warga untuk adu nasib di Jabodetabek.

“Penduduk Jabodetabek itu jumlahnya 30% dari total penduduk Pulau Jawa,” tutur Asep.

Asep berpandangan, untuk mengurai masalah pengangguran akibat urbanisasi, pemerintah perlu menghidupkan kembali kewirausahaan asli daerah, yang dapat menyerap tenaga kerja.

“Agar tidak terlampau mengarah ke sektor formal,” ujar Asep.

“Pemerintah juga cenderung ingin impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang memakan waktu jangka panjang.”

Lebih lanjut, Asep memandang, industrialisasi substitusi impor yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri mesti didorong di daerah-daerah.

“Kalau ekonomi kita sudah ekonomi ekspor dan tidak mengandalkan perusahaan asing yang bergerak di sini, ekonomi lokal bisa bergerak,” kata Asep.

“Bahkan bisa ekspor merek-merek tertentu. Itu dampak kesejahteraannya jauh lebih meningkat.”

Dalam banyak kasus, Asep berkata, pengembangan wirausaha asli daerah kerap terhambat kepentingan kepala daerah yang cenderung ingin menggunakan paradigma ekonomi jangka pendek dengan mendorong impor, yang menjadikan warga desa sebagai objek konsumen.

“Ketimbang mengembangkan ekonomi jangka panjang, mending langsung dapat duit,” ucap Asep.

Terpisah, analis kebijakan di Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Goldy Fariz Dharmawan mengatakan, arus urbanisasi yang terdorong impian mendapat pekerjaan di Jakarta dan sekitarnya—yang berdampak pada pengangguran—disebabkan informasi yang kurang lengkap mengenai lapangan kerja. Realitanya, pertumbuhan lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah pendatang.

“Kuncinya perlu mendorong pertumbuhan ekonomi di desa,” kata Goldy, Senin (24/6).

“Dengan demikian, ketersediaan lapangan pekerjaan bisa terpenuhi di desa, sehingga tidak perlu migrasi ke kota.”

Goldy melanjutkan, upaya itu perlu kolaborasi antara pemerintah—baik pusat maupun daerah-dengan pihak swasta. Misalnya, bagaimana membuat institusi yang baik untuk mendorong pembangunan industri di daerah, yang didukung akses logistik yang efisien.

Selain itu, dalam jangka menengah, pemerintah perlu mendorong pelatihan dan kursus seluas mungkin di daerah-daerah. Tujuannya, agar kemampuan angkatan kerja paling tidak selaras dengan kebutuhan industri.

"Dalam konteks wirausaha maupun mencari pekerjaan," ucap Goldy.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan