Panggilan tugas sebagai pastoral antiperdagangan orang membuat Sr Laurentia SDP begitu menghayati kehidupan getir korban perdanganan manusia dari modus pekerja migran non-prosedural di desa-desa di Nusa Tenggara Timur (NTT). Biarawati itu saban hari menapaki daerah terpencil yang menjadi zona merah perdagangan orang.
Tujuannya, agar perempuan di desa tak terbuai janji manis sindikat perdagangan orang yang bisa saja dijebak orang terdekat, seperti paman atau pacar, sebagai perpanjangan tangan mereka. Rata-rata mereka membujuk perempuan dari keluarga miskin untuk bekerja di Malaysia atau Taiwan.
Nasib perempuan dan pemuda di pelosok NTT sangat rentan terperosok pada kasus perdagangan orang karena minta menjadi pekerja migran sangat tinggi. Celakanya, banyak yang menempuh jalur non-prosedural alias tidak resmi lantaran masalah administrasi dokumen yang lama dan perusahaan penyalur yang sulit diakses, bahkan tak ada.
“Kemiskinan yang sangat berat membuat mereka sangat ingin keluar (negeri). Sayangnya, proses yang mereka tempuh secara non-prosedural. Membuat mereka sangat rentan di negara penempatan,” ucap Laurentia kepada Alinea.id, belum lama ini.
Laurentia bercerita, awal mula ia bersinggungan dengan isu tindak pidana perdagangan orang (TPPO) saat mendampingi 120 anak NTT yang hendak diselundupkan ke Malaysia sebagai pekerja migran pada 2015.
Mereka selamat dan ditampung di tempat penampungan di kawasan Tangerang, Banten. Sejak kejadian itu, dia merasa, masalah perdagangan manusia di NTT sangat pelik. Dari sana, dia bertekad terjun mengadvokasi sekaligus mendampingi korban TPPO. Bahkan, Laurentia menangani pula pekerja migran asal NTT yang pulang dalam peti mati.
“Sudah banyak sekali yang mati dari masalah pekerja migran non-prosedural ini. Tapi, tetap saja tidak berhenti masalah ini,” tutur Laurentia.
Pertama kali Laurentia menangani jenazah pekerja migran ilegal pada 2017. Saat itu, dia merasa nasib warga NTT yang menjadi pekerja migran ilegal sangat memilukan. Sebab, alasan terkuat mereka ke luar negeri adalah untuk memperbaiki perekonomian dan kualitas hidup. Namun, kembali kepada keluarga dalam keadaan tidak bernyawa.
“Orang yang ditinggalkan, sangat terpukul,” kata Laurentia.
Selama kurun 2018-2024, Laurentia mencatat, telah ada 580 pekerja migran yang pulang ke NTT sudah meninggal. Rata-rata karena sakit kronis akibat tidak mendapat jaminan kesehatan.
“Ada yang meninggal karena TBC, pendarahan karena melahirkan, dan bunuh diri,” ucap Laurentia.
Korban yang meninggal, diurus Laurentia. Dia pun memberi dukungan kepada sanak saudaranya agar kuat. Dari pengalamannya, beban psikologis keluarga yang ditinggalkan sangat berat. Karena pekerja migran yang meninggal biasanya merupakan tumpuan tulang punggung keluarga.
Laurentia menyebut, korban pekerja migran banyak yang berasal dari Kabupaten Malaka, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Flores Timur. Kemiskinan karena ketiadaan lapangan pekerjaan dan budaya merantau, membuat warga NTT sangat ingin bermigrasi atas dasar motif mencari penghidupan yang lebih baik. Akan tetapi, karena tidak dibarengi dengan keterampilan dan tingkat pendidikan yang memadai, warga NTT sangat mudah terjebak perdagangan orang di negara penempatan pekerja migran, seperti Malaysia atau Taiwan.
“Yang pergi itu orang dari kampung-kampung pelosok yang infrastrukturnya sangat jelek. Jadi, ketika mereka ingin mengurus dokumen-dokumen, misalnya paspor, itu dimanfaatkan oleh para calo,” kata dia.
“Jadi, calo-calo itu datang ke kampung-kampung untuk menawarkan pekerjaan. Mereka memberi iming-iming kerja enak dan gaji besar, tapi tidak perlu membawa apa-apa.”
Laurentia sudah berupaya menahan laju pekerja migran ilegal ke luar negeri, dengan cara memberikan sosialisasi bahaya besar menjadi pekerja non-prosedural. Selain itu, dia juga memberikan pelatihan pemberdayaan warga agar tidak harus ke luar NTT untuk memperbaiki nasib. Caranya, mengajarkan mengelola kelapa yang melimpah di NTT untuk dijadikan minyak kelapa murni. Laurensia juga mengelola makanan olahan pisang.
“Terus kami mencoba membantu menjual secara online. Itu yang saat ini kami lakukan belum banyak, baru sedikit. Hal ini kami lakukan bersama-sama, supaya ibu-ibu dan warga lain tidak mudah tergiur tawaran ke luar negeri,” ujar Laurentia.
Di sisi lain, Laurentia melihat persoalan perdagangan orang di NTT pun masalah struktural, yang memerlukan solusi dengan berbagai pendekatan yang menyentuh level desa dan melibatkan banyak warga.
“Desa itu diberikan kesempatan untuk bisa berkembang. Regulasi-regulasi yang ada itu diharapkan bisa menyentuh tataran desa, semisal terkait infrastruktur juga lapangan pekerjaan,” tutur dia.
Di samping itu, penegakkan hukum terhadap calo harus dilakukan dengan serius. “Saat ini pemerintah kurang serius. Sekian tahun dibentuk Satgas TPPO, tapi sampai sekarang beluma da kemajuan signifikan, makan semakin tinggi korbannya di NTT,” kata Laurentia.
Laurentia khawatir, jika tak segera ada solusi, masalah perdagangan orang di NTT menurun ke generasi selanjutnya. Sebagai seorang manusia biasa, Laurensia pun mengaku sering terkuras emosi ketika menghadapi kesulitan menangani masalah perdagangan orang, tetapi yang dianggap remeh masyararakat NTT.
“Saya sering marah sekali ketika menemukan ada pekerja migran non-prosedural. ‘Kenapa kalian enggak ngurus dokumen?’” ujar Laurentia.
“Ini memang harus didampingi. Itu yang membuat saya tetap konsisten sampai saat ini. Saya masih ingin sosialisasi dan memberi penguatan kepada mereka.”