Jangan abaikan masalah stunting di Indonesia
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita yang diakibatkan karena kurang gizi dalam jangka waktu yang cukup lama, paparan infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi. Kondisi ini terjadi karena faktor status kesehatan remaja, ibu hamil, pola makan balita, ekonomi, budaya dan lingkungan.
Asisten Eksekutif Wakil Kementerian Kesehatan Arisda Oktalia mengatakan, stunting pada anak-anak akan berdampak pada penurunan kecerdasan. IQ anak stunting rata-rata 11 poin lebih rendah, produktivitas rendah yang menggangu proses belajar, sekolah, dan bekerja di masa depan. Sementara itu, anak stunting yang memiliki penyakit kronis tiga kali lipat lebih risiko mengalami kematian.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia 2021 sebanyak 5 juta anak Indonesia mengalami stunting. Arisda mengungkapkan bahwa ketika semakin banyak yang mengalami stunting, maka GDP Indonesia dapat turun sebesar 2% - 3%.
"Jumlah yang begitu besar ada di Indonesia, tentunya akan berdampak di individu yang mengalami stunting. Tapi juga terhadap sebuah negara. Menurut World Bank, apabila jumlah ini kita terus dipertahankan. GDP Indonesia akan menurun sebesar 2% - 3% atau setara Indonesia kehilangan US$ 27 setiap tahunnya,” katanya.
Hal itu diungkapan Arisda, dalam acara yang bertajuk “Launching Gerakan Cegah Stunting bersama Mitra dengan Menteri Kesehatan RI” yang di selenggarakan secara daring oleh Kementerian Kesehatan, Jumat (9/9).
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia butuh menurunkan angka stunting sampai 14% di tahun 2024. Adanya sasaran dalam menyelesaikan permasalahan stunting dengan dua kelompok usia yakni, sebanyak 23% bayi yang lahir di dunia sudah mengalami stunting. Ini menunjukkan bahwa stunting sudah berproses dari anak itu sebelum lahir. Hal itu terjadi karena Ibu anak tersebut mengalami kuarang gizi dan anemia sejak remaja. Selanjutnya, anak yang setelah lahir di usia 6-33 bulan mengalami risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk menjadi stunting, apabila makanan pendaming asinya tidak tinggi protein hewani.
“Pemerintah juga sudah melakukan 11 program untuk menurunkan angka stunting, setiap programnya juga sudah diterapkan pada kelompok yang terjadi stunting yakni remaja putri, ibu hamil, balita,” tambah Arisda.
Namun dari masing-masing sasaran, masih terdapat permasalahan dalam upaya intervensi pencegahan stunting. Seperti pada sasaran remaja putri, sebanyak 8,3 juta, tidak mengonsumsi tablet tambah darah yang mengakibatkan anemia; 2,8 juta ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 6x. Kemudian masih ada 46 ribu posyandu yang tidak aktif beroperasi; 6,5 juga balita tidak dipantau tumbuh kembangnya oleh orangtua; 1,5 juta relawan kader yang tidak memiliki standardisasi kemampuan.
Tantangan ini tentunya memerlukan layanan kesehatan untuk menurunkan stuntingl. Seperti 300 ribu posyandu untuk pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada balita , 100 ribu sekolah untuk mengedukasi para remaja putri, dan 1,5 juta kader untuk memiliki kemampuan pemantauan tumbuh kembang.
“Ini bukanlah masalah kesehatan, tetapi masalah negara. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan dukungan anda-anda semua,” ujarnya.
Kemenkes sudah melakukan 5 kegiatan untuk cegah stunting yakni, #AksiBergizi, #BumilSehat, #PosyanduAktif, #JamboreKader, dan #CegahStuntingItuPenting. Kegiatan cegah stunting ini dilakukan pada 12 provinsi di Indonesia yang memiliki stunting tertinggi yaitu Aceh, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dam Sulawesi Barat. Sementara itu, provinsi Indonesia yang memiliki jumlah stunting yang banyak yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten.
Pesan Kemenkes untuk menghadapi stunting
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, stunting bukanlah permasalahan kesehatan, tetapi permasalahan negara yang harus diperhatikan.
"Banyak orang yang berpikir masalah stunting ini masalah kesehatan, sebenernya ketika saya sudah mendalami ini bukan masalah kesehatan. Ini masalah yang dihadapi oleh suatu negara atau bangsa yang akan menunjukkan apakah negara itu besar atau tidak,” katanya.
“Pak presiden Jokowi itu udah sangat benar, menyatakan bahwa otoritas utama beliau untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar adalah masalah SDM karena diukur GDPnya berapa,” tambahnya.
Ia memberikan tiga pesan terkait masalah stunting yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menghadapinya. Pertama, GDP di Indonesia harus ditingkatkan dengan cara seluruh rakyat Indonesia lebih pintar dan produktif. Kedua, memperhatikan window of opportunity sampai 2030 untuk kerja sama dalam menaikan produktifitas yang lebih tinggi.
“Jumlah usia produktif Indonesia akan naik terus sampai 2030. Pada tahun 2030, persentase di Indonesia dengan rentang usia 15-60 tahun itu paling tinggi. Artinya di titik itulah persentase jumlah di Indonesia yang masih income banyak, sesudah itu persentasenya menurun. Artinya, banyak penduduk Indonesia yang tidak menghasilkan income dibandingkan penduduk Indonesia yang menghasilkan income. Artinya, makin banyak penduduk Indonesia yang harus ditopang oleh penduduk Indonesia yang lain,” ujar Budi.
Ketiga, menurutnya harus dibangun oleh seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan pencegahan stunting dengan modal kekuatan sosial yang kuat untuk menurunkan angka stunting. Program ini akan berhasil ketika masyarakat sangat yakin dan penting.