Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Maria Endang Sumiwi, mengatakan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah tingginya angka kesakitan dan kematian pada balita. Ia memaparkan hasil Sampling Registration System pada 2018, sebagai bukti masa kritis pada balita,
“15 dari 100 kematian neonatus (bayi baru lahir) terjadi di rumah. Artinya, keluarga bisa saja terlambat mengetahui gejala atau tanda bahaya pada balita. Di samping itu, 62 dari 100 kematian balita terjadi di rumah sakit, hal ini menunjukkan bahwa akses sampai ke pelayanan kesehatan rujukan sudah baik, tetapi kemungkinan kondisi balita yang dirujuk sudah berat, sehingga sulit untuk diselamatkan,” kata Maria melalui Webinar Kenali Gejala Penyakit Pada Anak dan Langkah Penangan Pertama yang Tepat di Rumah, pada Jumat (21/10/2022).
Menurutnya, salah satu strategi pemerintah dalam menurunkan angka kematian balita, yaitu memanfaatkan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai home based record dan media edukasi bagi ibu dan keluarga. Maria juga menyebut bahwa buku KIA, telah ditambahkan formulir atau lembar pemantauan mandiri oleh ibu hamil, ibu nifas, dan pemantauan bagi bayi baru lahir dan balita,
“Buku KIA memiliki beberapa manfaat, salah satunya untuk mendeteksi dini balita sakit di tingkat keluarga. Jika ditemukan gejala atau tanda bahaya yang ada di dalam formulir tersebut, ibu atau balita harus segera datang atau dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan,” ucapnya.
Menurutnya, masa balita merupakan periode emas pertumbuhan fisik, intelektual, dan emosional anak. Pemenuhan kebutuhan akan asah, asih, dan asuh melalui pemenuhan aspek fisik, biologis, dan stimulasi yang memadai pada usia balita, akan meningkatkan kelangsungan hidup anak dan mengoptimalkan kualitas anak sebagai generasi penerus bangsa. Namun sebaliknya, masa balita juga menjadi periode kritis karena segala bentuk penyakit, kekurangan gizi, maupun kekurangan stimulasi pada usia ini, akan membawa dampak negatif yang menetap sampai masa dewasa, bahkan sampai usia lanjut.