Anggota Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia (Redaxi) Irmawati Puan Mawar memandang, jejak digital yang buruk bisa mempengaruhi masa depan seseorang. Maka kecakapan digital dan mengenali ragam aplikasi digital dibutuhkan.
Masyarakat dapat memahami ragam pesan dalam aplikasi percakapan, yaitu pesan teks atau tulis, pesan dalam bentuk panggilan suara, lalu pesan dalam bentuk panggilan video (video call).
“Selain itu, dibutuhkan pula etika percakapan atau etika berkomunikasi dengan aplikasi percakapan. Sebab, jejak digital yang buruk bisa mempengaruhi masa depan seseorang. Jadi, tetap dibutuhkan kehati-hatian dalam berbicara di media sosial,” katanya dalam keterangan, Jumat (28/10).
Menurutnya, pikiran dan bahasa yang digunakan saling berkaitan erat, ibarat api dan asap. Sebab, menurut dia, bahasa tak cukup soal berkata-kata.
Hal ini dianggap memberikan penerangan terhadap pandangan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi supaya dalam berkomunikasi dunia digital tidak lepas dari etika. Terlebih, latar belakang pengguna media digital berbeda-beda dalam hal bahasa, adat-istiadat, maupun budayanya, maka dibutuhkan standar etika agar komunikasi berjalan dengan baik tanpa ada masalah.
“Kekeliruan dalam berbahasa masih bisa dimaklumi, sepanjang pembaca atau audiens bisa memahami maksud yang hendak disampaikan,” ujarnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta Gilang Jiwana Adikara menegaskan, gawai adalah pintu masuk ke dunia atau ruang digital. Seperti halnya di dunia nyata, ada aturan, etika, dan undang-undang (UU) yang membuat kita aman dan nyaman bermedia digital.
Harus disadari bahwa berinteraksi dengan orang lain di dunia digital sama halnya berinteraksi dengan orang di dunia sesungguhnya. Bukan sekadar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya.
“Hindari unggahan negatif yang melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik, seperti unggahan yang melanggar kesusilaan, perjudian online, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, penyebaran berita bohong atau hoaks, serta ujaran kebencian,” ucap Gilang.
Praktisi Pendidikan & Socialpreneur Digital Skill Kristiyuana mengingatkan, dalam bermedia digital, harus didasarkan pada kesadaran bahwa ada perbedaan budaya, bahasa, adat-istiadat, maupun standar norma dari seluruh pengguna media digital. Namun, ragam perbedaan itu sebaiknya disatukan dalam prinsip Bhineka Tunggal Ika, yang berarti meski berbeda-beda, namun tetap satu (sama). Kesadaran untuk berpikir kritis juga dibutuhkan dalam ruang publik yang memberikan kebebasan berekspresi atau berpendapat.
“Dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Mari mengisinya dan menjadikannya sebagai ruang berbudaya, tempat kita belajar dan berinteraksi, tempat anak-anak tumbuh berkembang, sekaligus tempat di mana kita sebagai bangsa hadir bermartabat,” tutur Kristiyuana.