Jakarta Fashion & Food Festival (JF3) kembali digelar pada tahun ini. Pada pagelaran ke-18, yang berlangsung di Summarecon Mall Kelapa Gading mulai 1 September 2022, mengusung tema "Cultural Diversity".
Sebagai salah satu peserta, Italian Fashion School (IFS) mengusung tema IFS Urbanize Batavia. Ada lima desainer, yang merupakan murid-murid IFS, akan berpartisipasi pada acara tersebut, Sabtu (3/9). Mereka bakal memamerkan 42 karyanya yang terinspirasi dari kebudayaan Betawi.
"Kenapa tema ini? Karena pertama, awalnya ide kita simpel, ulas di sekitar kita. Daripada jauh-jauh ke NTT atau ke mana, kenapa tidak ke titik terdekat? Apalagi, masih pandemi," kata pendiri IFS sekaligus CEO PT Modesta Desain Indonesia, Diora Agnes, Jumat (2/9).
Kedua, kebudayaan Betawi sarat warna-warni. Hal itu sesuai dengan tren fesyen tahun ini, yang berangkat dari kejenuhan atas berlarut-larutnya pandemi Covid-19.
"Warna-warni juga kental dengan budaya Betawi. Ternyata, Batavia juga terbentuk dari akulturasi budaya. Sangat asimilasi dengan orang lokal, dari etnis China, Arab, Belanda," tuturnya.
Sebanyak 42 busana yang akan diperagakan esok dibuat dalam waktu singkat, sekitar 2 bulan. Namun demikian, setiap desainer IFS mengembangkan karyanya sesuai karakter dan tema masing-masing.
Kelima murid IFS yang akan berpartisipasi salah satunya Amelia NS, yang karyanya terinsipirasi dari ondel-ondel, batik, ornamen gigi balang, dan kembang kelapa. Lalu, Karyanya colorful dan memadukan desain metropolitan dan tradisional dengan motif batik print lantas dinamai "Icon Batavia".
Kemudian, Dina Mulya Sophieyadi, dengan inspirasi berangkat dari pencak silat Betawi, yang memperjuangkan keadilan dan toleransi antarsuku bangsa. Dina mengambil unsur kain sarung dan sabuk pakaian khas Betawi dan diaplikasikan ke dalam ready to wear dan karyanya dinamai "Jawara Betawi".
Lalu, Maharani Dewi Armala. Dengan terilhami dari kue pepe, salah satu jajanan khas Betawi, dia memadupadankan siluet kebaya dan warna-warni yang kuat dengan dimodifikasi, tetapi tetap bergaya modern dan ready to wear. Koleksinya diberi nama "PeTropolitan".
Sementara itu, Mitha Tri Novianti menjadikan tarian tradisional Betawi sebagai titik awal mendesain busananya, yang bernama "Fussion of Classic". Sekalipun koleksi elegan dan modern, tetapi karyanya tetap menampilkan unsur etnik dan ready to wear.
Terakhir, Theresia Dewi membuat busana dengan berangkat dari kembang kelapa dan burung hong, yang lazin digunakan sebagai motif batik Betawi. Dalam karyanya bernama "Diffuseries", Theresia memadukan keindahan multikultur Kota Jakarta dan disajikan dalam ready to wear.
"Bagaimana cara kita meramu?" tanya Diora. "Paling penting yang kita kerjakan tidak boleh lepas dari tren. Kalau tidak sesuai tren, itu berbahaya."
"Kita berkomunikasi, meriset tren global. Kita ambil inti-intinya dan terjemahkan, apakah cocok dalam baju kita dalam konteks lokal? Jadi, tidak serta merta mencaplok. Buat Aku, itu kurang original juga. Akhirnya, ide-ide mengkristal jadi Batavia. Jadi, kita bukannya mengekor-ekor, seperti 'cewek kue', 'cewek bumi'," imbu dia.
Diora melanjutkan, IFS melalui karya kelima muridnya tersebut ingin membuktikan bahwa busana tradisional tak sekadar kebudayaan yang dipakai pada momentum tertentu. Namun, ada nilai, asal-usul kehidupan, ungkapan akan diri, serta erat berhubungan dengan sebuah masyarakat.
"Kita juga akan merasakan kepuasan lebih ketika mengenakan fashion yang berkaitan dengan tradisi kita," ujarnya dalam keterangannya. "Bukankah fashion seharusnya begitu?"