close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gim arkade atau dingdong. Alinea.id/Firgie Saputra/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi gim arkade atau dingdong. Alinea.id/Firgie Saputra/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 03 September 2022 06:00

Kala dingdong dituduh biang kerok perjudian

Pemerintah menganggap gim arkade atau dingdong penyebab rusaknya mental remaja dan sarana perjudian.
swipe

Awal 1980-an, anak-anak dan remaja kota keranjingan mainan baru: video game. Kala itu, dikenal jenis video computer game (VCS), game & watch—lidah kita menyebutnya jimbot, dan arcade game (gim arkade). VCS dan game & watch merupakan konsol pribadi, yang saat itu hanya bisa dimiliki keluarga berada karena harganya yang mahal.

Sedangkan gim arkade, yang berbentuk mirip lemari dengan panel kontrol di bawah layar monitor dan hanya bisa dioperasikan dengan memasukkan uang logam Rp50 bisa disewa di ruang publik, seperti pasar, pusat perbelanjaan, restoran, ruko, bioskop, pusat permainan anak.

Tangan-tangan pemain mesti tangkas melawan mesin komputer lewat aneka gim yang punya nama keren-keren, misalnya Space Invaders. Di Indonesia, kelak mesin itu dikenal dengan dingdong.

“Karena mesin gim tersebut berbunyi ‘dingdong’ ketika koin dimasukan ke dalam mesin,” ujar Muhammad Abdul Karim, yang menulis skripsi Perkembangan Permainan Video Games dan Dampaknya terhadap Kehidupan Masyarakat Jakarta Tahun 1981-1998 (2019) di Universitas Indonesia, saat dihubungi Alinea.id, Senin (29/8).

Namun, dalam pemberitaan Suara Karya, 18 Desember 1981, dingdong merujuk pada jenis permainan gim biliar. Gim arkade disebut pula sebagai mesin ketangkasan.

Kemungkinan, dingdong sudah ada di Indonesia sejak akhir 1970-an, berdasarkan keterangan seorang penjaga rental gim video di Bioskop Grand, Senen, Jakarta Pusat dalam Suara Karya, 18 Desember 1981, yang menyebut usahanya sudah berjalan selama empat tahun.

Beberapa anak muda mencoba gim di pameran gim video Atari Expo di Ratu Plaza, Jakarta pada 1981. Acara itu berlangsung dari 27 November 1981 hingga 3 Januari 1982, namun terpaksa ditutup usai ada larangan pemainan gim video di tempat umum pada akhir 1981. /Foto YouTube Soekarna Channel

Dilarang pemerintah

Menurut TEMPO, 26 Desember 1981 di artikel “Tembakan Maut bagi Video Game” hingga akhir 1981 terdapat sekitar 759 mesin gim video di 100 lokasi di Jakarta. Sebagian besar punya PT Gala Niaga.

Perusahaan itu pun serius menggarap bisnis ini. Sampai-sampai, mereka merakit sendiri 710 mesin video di daerah Tanah Kusir, Jakarta.

“Diperkirakan terdapat 4.000 mesin video game di Indonesia, dari Medan sampai ke Manado,” tulis TEMPO. “Sebagian besar yang masuk di Indonesia merek Taito buatan Jepang.”

Saat itu, dunia memang tengah dilanda demam bisnis gim video. Mekatronika, Nomor 1/VIII/1984 dalam artikel “Video Games: Ledakan Elektronik Tahun Delapan Puluhan” menyebut, berjuta dolar AS diinvestasikan untuk bisnis ini.

Akan tetapi, bisnis ini meredup ketika pemerintah melarang gim video beroperasi di tempat umum. Menurut TEMPO, pada 16 Desember 1981 Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengeluarkan instruksi agar mesin-mesin itu dilarang beroperasi di tempat umum. Sehari sebelumnya, Wakil Ketua DPA G.P.H Djatikusumo sowan ke Presiden Soeharto, menyarankan gim video dilarang karena merusak mental remaja.

Pada November 1981, sebut Mekatronika, Presiden Ferdinand Marcos juga melarang gim video di pusat-pusat hiburan di Filipina, dengan alasan serupa. Sudomo memukul rata semua jenis gim video yang dilarang di tempat umum, kecuali yang hanya dimainkan dalam rumah tangga.

Awal Desember 1981, Sudomo sudah pula mengemukakan masalah yang muncul dari gim video di tempat umum dalam Sidang Stabilitas Ekonomi Nasional. Selain dampak negatif terhadap remaja, ia menekankan bahaya perjudian.

“Permainan televisi yang mengarah ke perjudian itu sudah ada bukti-bukti kuat,” kata Sudomo dalam Suara Karya, 18 Desember 1981.

Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo (menjabat 1977-1982) lantas mengeluarkan surat perintah penutupan, penjualan, dan pengoperasian permainan elektronik di Jakarta sejak 17 Desember 1981.

Kepada Suara Karya, humas Pemda DKI Ramona Ginting menyebut, izin sudah telanjur diberikan untuk 532 tempat usaha gim video, sejak terbit izin perdana pada Februari 1981.

“Alasannya (pelarangan), sesuai pengamatan yang dilakukan, permainan itu bisa berkembang menjadi sarana perjudian, sehingga bertentangan dengan kebijakan menyangkut larangan perjudian,” ujar Ramona di Suara Karya, 18 Desember 1981.

Usai muncul berita pelarangan, tempat gim video malah ramai pengunjung. Mereka yang datang kebanyakan hanya penasaran ingin melihat mesin-mesin itu.

“Pengunjung rata-rata pelajar. Tapi juga ada anak-anak putus sekolah, penjual koran, tukang semir, dan gelandangan,” tulis Suara Karya, 18 Desember 1981.

Memberantas judi gim video

Beberapa anak muda mencoba gim arkade alias dingdong di sebuah tempat permainan di Pasar Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada akhir 1981./Foto Suara Karya, 18 Desember 1981.

Abdul Karim mengatakan, perjudian sebelum tahun 1981 masih bersifat legal, dengan aturan tertentu. Tetapi, sebenarnya ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Lantas, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian.

“Yang menjadi dasar penertiban total terhadap segala jenis perjudian,” ujar Abdul Karim.

Sinar Harapan, 7 Agustus 1981 menyebut, pelaksanaan penutupan lokasi judi mulai dilakukan pada 1 April 1981. Pemerintah DKI Jakarta membentuk Tim Penanggulangan Judi untuk melakukan operasi perjudian itu.

Dingdong juga diasosiasikan sebagai media judi oleh pemerintah. Menurut Abdul Karim, bentuk perjudiannya terletak pada sistem permainannya, yakni pemain harus mengeluarkan uangnya terus-menerus untuk menikmati permainan.

“Sehingga terkesan seperti pemerasan,” ujar Abdul Karim.

Disebut Suara Karya, 18 Desember 1981, seseorang yang sudah ketagihan gim video, sangat mudah menghabiskan uang hingga Rp1.500. Bisa jadi, tempat-tempat dingdong itu dijadikan pula sebagai arena taruhan antarpemain. Indikasinya, beberapa tempat dingdong memasang peringatan dilarang berjudi yang ditempel di dinding, seperti di Pasar Cempaka Putih.

Pemberantasan dilakukan dengan razia, walau terkesan tebang pilih karena tak semua tempat digerebek. Salah satu contohnya, polisi menggerebek dua rumah di Yogyakarta pada akhir Maret 1982.

“Sejumlah alat permainan video berharga jutaan rupiah disita sebagai barang bukti dan pemilik rumah ditahan untuk pemeriksaan,” tulis Sinar Harapan, 1 April 1982.

Akhirnya, pelarangan itu hangat-hangat tahi ayam. Rental dingdong masih beroperasi di banyak tempat. Pemda juga diberi otoritas mengatur sendiri perintah pelarangan.

“Karena retribusi dari permainan ini sangat besar,” ujar Abdul Karim.

Sekitar 1984, muncul mesin gim serupa dingdong, yang juga dioperasikan dengan uang logam, bernama mickey mouse dan bonanza. Disebut pula mesin keping. Gimnya berupa poker. Dua mesin ini kemudian jadi sasaran utama razia judi.

April 1984, dilaporkan Sinar Harapan, 6 April 1984 dilakukan penyegelan terhadap 47 mesin keping dan 50 sejenis mesin jackpot di tempat hiburan, seperti panti pijat, coffee house, dan restoran karena tak berizin.

Paling besar adalah pencabutan izin mesin keping di Jakarta Ancol Bowling, Jakarta Utara. Menurut Sinar Harapan, 3 April 1984 di sana ada 27 unit mesin yang tak boleh lagi beroperasi karena terindikasi judi.

“Menurut (Kepala Biro Ketertiban DKI) Soesdarjono kepada pengusaha mesin permainan keping yang diizinkan di Jakarta, diberikan peringatan tegas untuk tidak mencoba melakukan penyimpangan atau mengubah program permainan jenis mickey mouse pada jenis perjudian dengan gambar-gambar kartu poker,” tulis Sinar Harapan, 6 April 1984.

Di Cirebon, wartawan Sinar Harapan menemukan lima lokasi hiburan yang menyewakan permainan gim video, tetapi beberapa lokasi menyediakan ruang khusus berjudi. Di tempat itu, modusnya adalah menempatkan gim video bersifat permainan anak—kemungkinan gim arkade di ruang berbeda dengan mesin buat judi, yakni bonanza. Tak lupa, ada tempelan tulisan larangan berjudi di dinding.

“Keterangan kasir tempat penukaran uang kertas dengan uang logam Rp50 umumnya yang datang berniat main judi,” tulis Sinar Harapan, 24 April 1984.

Bonanza sendiri, merujuk situs web arcade-museum.com, merujuk nama perusahaan pembuatnya asal Amerika Serikat, yaitu Bonanza Enterprises Ltd. Dalam permainan bonanza, jika para penjudi menang bermain gim poker melawan komputer, mereka bisa dapat uang 2000 kali lipat atau Rp100.000.

“Pada kenyataannya para penjudi itu hanya dipecundangi mesin bersifat komputer yang memang tidak akan bisa dikalahkan,” tulis Sinar Harapan.

Wali Kota Cirebon Moch Dasawarsa seakan tutup mata. Menurutnya, batasan judi adalah pemain menukarkan koin hasil permainan menggunakan mesin itu dengan uang. Lalu, pihaknya mengakali dengan meminta pengelola mengganti uang logam Rp50 dengan logam biasa. Dasawarsa pun mengizinkan pengusaha memberi hadiah kepada pemain yang menang berupa barang kecil.

“Seperti rokok atau geretan yang nilainya tak lebih dari Rp5.000. Tidak diperkenankan hadiah berupa uang tunai,” tulis Sinar Harapan.

Bentuk mesin gim bonanza yang diproduksi perusahaan asal Amerika Serikat, Bonanza Enterprises Ltd./Foto arcade-museum.com.

Meski giat menertibkan judi gim video, tetapi pemerintah seolah bersikap mendua dengan permainan lain berunsur judi, yakni porkas yang dilegalkan pada 1985. Menurut Sinar Harapan dalam buku Rekaman Peristiwa 87 (1987), porkas berbentuk usaha pengumpulan dana dari para pecandu sepak bola.

Pemainnya harus membeli kupon yang diundi setiap Minggu malam. Pemerintah berdalih, porkas berbeda dengan judi karena tak ada tebakan angka, tetapi menebak menang-seri-kalah.

Hingga 1989, permainan ketangkasan, termasuk dingdong, yang hanya bisa dioperasikan dengan uang logam, masih cap judi. “Suatu permainan yang khusus mempertaruhkan uang dan dibayar uang adalah judi,” ujar Menteri Dalam Negeri Rudini di Kompas, 27 Juni 1989.

Kompas, 17 April 1989 turut pula menyamakan dingdong sebagai judi, dengan memberi judul “Judi Dingdong Mengganggu Kegiatan Belajar Anak-anak” dalam artikel tentang keluhan orang tua terhadap tempat gim video itu di Tangerang. Di artikel itu, Kompas merujuk gim ketangkasan Tom’s New Game.

Akan tetapi, menurut dosen Desain Komunikasi Visual President University sekaligus pemerhati budaya gim, Iskandar Zulkarnain, terkadang surat kabar salah kaprah dengan menyebut segala mesin yang dioperasikan dengan uang logam itu gim arkade atau dingdong.

“Kalau di Amerika Serikat, arcade awalnya memang mesin-mesin ketangkasan, kayak pinball dan foosball. Dan pinball machine pernah juga dilarang di beberapa negara bagian Amerika Serikat karena dianggap judi,” ujar pria yang memperoleh gelar doktor bidang visual and cultural studies dari University of Rochester itu, Minggu (28/8).

“Baru pas akhir tahun 1970-an, ketika game Pong, Space Invades, dan Asteroids populer, arcade jadi identik dengan video game.”

Seiring waktu karena dituding jadi problem bagi anak-anak sekolah dan media judi, membuat dingdong dapat stigma negatif di masyarakat. Kini, istilah dingdong makin bias sebagai penyebutan mesin judi slot dan jenis judi online, yang belakangan diberantas pihak berwajib.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan