close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para komika, di antaranya Arie Kriting, Abdel Achrian, Bintang Emon, dan Rigen Rakelna, berfoto di tengah massa aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024)./Foto Instagram @YonoBakrie
icon caption
Para komika, di antaranya Arie Kriting, Abdel Achrian, Bintang Emon, dan Rigen Rakelna, berfoto di tengah massa aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024)./Foto Instagram @YonoBakrie
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 31 Agustus 2024 06:02

Kala komika bergerak ke gelanggang protes

Latar belakang komika yang berasal dari beragam kelompok lapisan masyarakat, turut memperkuat gerakan pro-demokrasi dalam bentuk narasi komedi satire yang mudah diterima berbagai kalangan.
swipe

Tawa penonton pecah saat komika Bintang Emon berkelakar satire, menyentil ormas yang menerima izin tambang, sehingga enggan lagi kritis terhadap penguasa di panggung Kenduri Cinta bertajuk “Impersonation; Meneguhkan Kembali Nasionalisme di Kenduri Cinta”, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (9/8) malam.

Kehadiran Bintang Emon menjadi pembeda, dari beberapa nama bintang tamu yang membawa materi agak serius, seperti ahli bedah saraf Ryu Hasan dan ilmuwan diaspora sekaligus dosen termuda dari University of Nottingham Bagus Muljadi. Bintang Emon berharap, Kenduri Cinta bisa menjadi pembuka dirinya dengan dunia baru, yang bersinggungan dengan spiritualitas dan ruang penguatan masyarakat sipil.

Beberapa pekan setelah acara itu, Kamis (22/8), Bintang Emon pun muncul dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, menentang rencana pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada oleh DPR, yang diduga ingin menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat ambang batas partai politik dan usia minimal pencalonan kepala daerah terkait pilkada.

Komika bernama asli Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra itu ikut aksi massa, bersama komika lainnya, seperti Abdel Achrian, Abdur Arsyad, Mamat Alkatiri, Adjis Doaibu, Rigen Rakelna, Yudha Keling, Ebel Cobra, Yono Bakrie, dan Arie Kriting.

Kritik yang efektif dan menyebar

Menurut peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri, kehadiran komika yang mengambil peran layaknya intelektual publik merupakan angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Sebab, komika bisa menyemai narasi dan ide pro-demokrasi menjadi lebih mudah dipahami lintas kelompok ekonomi, lintas generasi, dan suku.

Latar belakang komika yang berasal dari beragam kelompok lapisan masyarakat, turut memperkuat gerakan pro-demokrasi dalam bentuk narasi komedi satire yang mudah diterima berbagai kalangan. Bahkan mampu menggugah kesadaran kolektif publik untuk tidak tinggal diam terhadap keadaan demokrasi yang memburuk.

“Komika memainkan peran pendidikan politik untuk publik,” kata Aisah kepada Alinea.id, Kamis (29/8).

“Apa yang mereka lakukan bahkan efektif karena masuk ke dalam banyak ruang, baik itu di media sosial, YouTube, televisi, dan lainnya, yang intensif diterima publik.”

Aisah mencermati, pengamatan yang dilakukan komika dalam membaca situasi patut diacungi jempol. Soalnya, berhasil mengemasnya menjadi komedi satire yang mudah diterima publik. Bahkan, tidak jarang menciptakan kesadaran demokrasi yang menjalar ke ruang publik. Peran komika yang secara sadar melakukan kritik, menurut Aisah, sudah bisa digolongkan sebagai kaum inteligensi yang tercerahkan dan menyadari perannya.

“Kita semua tahu bahwa sebelum mereka menyampaikan penampilan atau roasting, para komika ini menyiapkan bahan secara serius, bahkan penelitian dahulu,” kata dia.

“Sering kali ketika penampilan mereka membahas tentang institusi dan aktor politik, maka bahan mereka pun disipakan dengan matang. Melalui roasting-roasting itu, secara tidak langsung mereka melihat apa yang dilakukan oleh para aktor politik, apa yang patut diapresiasi, dan apa yang patut dikritik.”

Dari pola itu, Aisah melihat, secara tak langsung komika telah menjalankan peran mengawasi kerja politik para politikus. Karakter komika yang mengkritik melalui komedi satire, kata dia, telah muncul mewakili publik yang tampak bisa mengangkat isu lebih menggema ke segala lapisan masyarakat.

“Mereka memainkan peran juga sebagai role model bagi publik, dan ini tampak sekali dari apa yang mereka lakukan saat aksi kritik revisi UU Pilkada kemarin,” tutur dia.

“Kehadiran mereka mendapatkan perhatian publik. Aksi tidak lagi identik hanya dengan akademisi dan aktivis, tetapi juga komika. Mereka dinilai menjadi sosok-sosok berpengaruh yang semakin menguatkan semangat aksi tersebut.”

Merawat gerakan sosial

Aisah melihat, komika yang turun ke aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR tak terpanggil tiba-tiba. Akan tetapi, ujar Aisah, sikap kritis mereka sudah dipupuk lama dan berangsur-angsur mengambil peran sebagai “residu” dari kekuasan yang tamak dan mengarah pada gejala dinasti politik.

“Mereka kritis terhadap aksi dan aktor politik yang problematik sudah sejak lama, dan tidak hanya pada satu atau dua isu saja. Fokusnya ada pada banyak kasus,” ucap Aisah.

Menariknya lagi, para komika secara cepat mengalami regenerasi yang masif, sehingga tidak hanya satu atau dua orang saja yang menonjol. Kata dia, ada banyak komika berpengaruh. Bahkan, telah membentuk komunitas baru tak hanya di ruang seni, tetapi juga perlawanan.

“Komika dilihat sebagai komunitas atas individu-individu yang bekerja secara bergantian dan saling mengisi,” kata Aisah.

Lebih lanjut, Aisah mengatakan, komika yang kritis dan mengambil peran sebagai kontrol sosial akan menjadi magnet gerakan penguatan masyarakat sipil dalam episode pasang-surut demokrasi lima tahun mendatang.

“Oleh karena itu, komika menjadi elemen penting saat ini, yang saya kira akan memperpanjang napas upaya penguatan demokrasi ke depan,” ujar Aisah.

“Karena itu, penting untuk menjaga objektivitas dan idealismenya bahwa yang utama adalah kepentingan publik.”

Senada dengan Aisah, analis politik dari Universitas Medan Area, Khairunnisa Lubis menilai, komika yang mengambil peran sebagai kontrol sosial telah memiliki pengaruh memperkuat gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Bahkan, jauh sebelum para komika turun ikut demonstrasi kawal putusan MK di depan Gedung DPR/MPR, sudah banyak yang membangun citra sebagai komika kritis terhadap kondisi demokrasi.

“Tentunya dengan mereka yang langsung turun ke lapangan, jelas tidak hanya memberikan dampak reaksioner saja di kalangan mahasiswa,” kata Khairunnisa, Kamis (29/8).

“Ini jelas menjadi triggered karena beberapa komika dari sejak awal konsisten untuk menyuarakan hal-hal terkait pemerintahan melalui media sosial, dengan kata lain politik citra yang dibentuk beberapa komedian yang turun langsung dalam aksi kemarin tergolong berhasil.”

Kehadiran para komika di gelanggang demonstrasi, menurut Khairunnisa, telah meningkatkan antusiasme mahasiswa dan masyarakat untuk setia mengawal putusan MK. Aksi positif komika itu dalam menjaga demokrasi, katanya, perlu dirawat. Mengingat penguasa juga punya siasat mendekati influencer lain untuk memoles kesan positif kinerja pemerintah.

“Yang perlu dirawat dalam menjaga kekonsistenan gerakan sosial agar tetap menjadi kontrol sosial, salah satunya adalah tetap menempatkan perilaku moral dan politik,” ujar Kharunnisa.

“Pada dasarnya, gerakan sosial sifatnya melindungi ruang publik dan akan melawan jika tidak sesuai konstitusi. Gerakan sosial harus mampu terlepas dari intervensi lembaga-lembaga negara.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan