Kampung narkoba: Patah tumbuh, hilang berganti
Siang itu, sejumlah orang tengah meriung santai di pinggir Jalan Kali Kapuk Timur, Cengkareng, Jakarta Barat. Kawasan itu berdekatan dengan Kompleks Permata atau dikenal sebagai Kampung Ambon, yang pada awal 2000-an dikenal sebagai sentra peredaran ganja dan sabu-sabu. Namun, kini kondisinya telah jauh berbeda. Tak ada lagi tanda peredaran narkoba karena terdapat aparat yang memantau.
Salah seorang warga, Tendi—nama samaran—bercerita, sejak sepuluh tahun lalu Kampung Ambon bukan lagi “rumah” bagi bandar dan pengguna narkoba. Pria berusia 36 tahun itu mengaku, sering kali melihat polisi berpatroli saat malam hari.
“(Polisi) mendengar kabar, katanya ada sabu masuk Kampung Ambon. Tapi, begitu enggak mendapat yang dicari, mereka pergi,” ucap Tendi kepada Alinea.id, Senin (29/7).
Tendi yang mengaku sebagai warga RT06 Kompleks Permata, berkisah bila dahulu ikut terkena stigma dari sebutan kampung narkoba. Padahal, tidak semua warga Kampung Ambon terlibat dalam bisnis haram itu.
“Rame dulu (medio 1990 hingga awal 2000). Orang pada datang kalau mau make, berisik sudah pasti. Tapi, dulu enggak semua warga jual narkoba. Cuma kena stigma mah sudah pasti,” tutur Tendi.
Namun, Tendi merasa Kampung Ambon tidak hanya memiliki sejarah kelam, tetapi juga sisi kebersamaan yang terkadang dia rindukan. Sebab, dahulu para pelaku bisnis narkoba kerap memberikan “sedekah” atau membantu keuangan warga yang sedang kesusahan.
“Dahulu kalau ada yang sakit, dari mereka (bandar) suka ada yang datang kasih duit,” kata dia.
Meski begitu, dia merasa lebih baik citra miring Kampung Ambon sebagai sentra narkoba segera diakhiri alias tutup buku. Soalnya, biar pun masih ada sedikit “gesekan” dengan aparat, generasi muda Kampung Ambon sudah tidak lagi melirik bisnis narkoba sebagai jalan hidup.
“Kalau per individu di tempat lain, saya enggak tahu. Tapi, kalau bandar di sini, sudah pada berhenti,” tutur Tendi.
Kisah kelam Kampung Ambon masih terekam dalam memori Sandika—bukan nama sebenarnya. Warga Kalideres, Jakarta Barat itu dahulu, antara tahun 2008 dan 2010, sering datang ke Kampung Ambon untuk merasakan sensasi narkoba jenis ganja.
“Saya diajak sama abang-abangan di tongkrongan. Nyobain lah, akhirnya terus..terus..(dan) kegadai motor,” ucap Sandika.
Selain sepeda motor yang digadai untuk bisa “berbelanja” narkoba, Sandika pun mengaku pernah dikejar polisi usai keluar dari Kampung Ambon. Karena takut tertangkap, dia bersembunyi di dalam toilet milik rumah kontrakan warga di daerah Pedongkelan. Sialnya, di dalam toilet itu ada seorang warga yang tengah buang air besar.
“Sambil mohon-mohon saya, jangan teriak. Saya juga pisah sama teman, (jadinya) bingung,” ujar Sandika.
Kini, setelah berkeluarga, Sandika mengaku sudah tidak lagi menyentuh narkoba. “Untung dulu enggak ketangkep. Kalau ketangkep, gimana?” kata Sandika.
Maridjo, 58 tahun, seorang pedagang minuman di sekitar Kampung Ambon mengatakan, sejak 2015 dia sudah tidak lagi mendengar ada bisnis narkoba di sana. Namun, Maridjo mengungkap, ada satu masa dirinya sangat takut berjualan di dekat Kampung Ambon karena khawatir disangka intel atau informan polisi.
“Tahun 2009 sama 2012 ‘panas’ itu, sering saya dagang tiba-tiba rame,” kata Maridjo.
Kampung narkoba lain
Citra Kampung Ambon yang dicap sebagai kampung narkoba perlahan berubah sejak Agustus 2014. Saat itu, di bawah kepemimpinan Kapolres Jakarta Barat Fadil Imran, dicanangkan program RW Bebas Narkoba. Secara berangsur-angsur, dengan pemantauan dan cipta kondisi, serta penangkapan yang masif terhadap bandar, membuat citra miring Kampung Ambon berubah.
Walau demikian, kampung narkoba baru bermunculan. Yang terkenal adalah Kampung Muara Bahari di Tanjung Priok, Jakarta Utara dan Kampung Boncos di Palmerah, Jakarta Barat. Kampung Muara Bahari pada Sabtu (13/7) digerebek. Sebanyak 31 orang ditangkap. Polisi pun mengamankan sabu-sabu 103 gram dan 26 paket kecil, 12 timbangan digital, 14 alat isap atau bong, 25 senjata tajam, satu senapan angin, empat senjata airgun, dan satu pesawat nirawak.
Lalu, dalam penggerebekan Kampung Boncos pada Rabu (17/7) lalu, polisi menemukan, dari 46 orang yang diamankan, 42 di antaranya positif narkoba jenis sabu-sabu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Saputra Hasibuan memandang, fenomena meredanya peredaran narkoba di Kampung Ambon, tetapi membuat kampung narkoba lain muncul, mendandakan kejahatan narkotika bekerja layaknya teori balon.
“Jika ditekan salah satu sisinya, maka akan menonjol di sisi lain,” ujar Edi kepada Alinea.id, Selasa (30/7).
“Jadi, artinya bisnis ini tidak hilang dan tidak mereda di Jakarta. Hanya berpindah ruang.”
Edi menduga, pelaku bisnis narkoba selalu mencari ruang baru yang cocok sebagai “pangkalan” menjual barang haram tersebut. Begitu satu kampung narkoba digerebek, maka sang bandar akan mencari tempat baru yang tidak diketahui aparat.
Realita terbentuknya ruang atau suatu kampung menjadi sentra bisnis narkoba, kata Edi, menandakan bila penanganan narkoba tidak cukup bisa dibanggakan hanya karena satu kampung diintervensi menjadi kampung anti-narkoba.
“Polisi jangan terlena dan tangkap terus. Awas juga bandar kambuhan, yang bisa saja bisnis lagi,” ucap Edi.
Dihubungi pada Selasa (30/7), kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi menilai, kejahatan narkoba sangat bergantung pada hukum demand and supply, yang sangat menentukan persebarannya. Di sisi lain, dia menyebut salah satu indikator terbentuknya ruang bisnis atau kampung narkoba.
“Salah satu indikator utama, ya ketahanan masyarakat sekitar (yang) lebih adaptif terhadap kejahatan itu sendiri,” ujar Josias.