Kampus tanpa eksistensi "dosen killer"
Belum lama ini, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengumumkan, sedang mengembangkan aturan yang melarang praktik “dosen killer” atau dosen yang keras terhadap mahasiswa. UGM bakal membahas soal standar operasional prosedur (SOP) untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman. Selain itu, langkah ini diambil untuk mengatasi isu kesehatan mental mahasiswa. UGM ingin menghilangkan berbagai bentuk kekerasan di kampus, baik verbal, psikologi, maupun fisik.
Seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta, Salsa, 21 tahun, mengaku pernah diajar dosen killer. Ia mengatakan, dosen yang galak memberikan kesan kurang nyaman ketika pembelajaran. Misalnya, terlalu menghakimi mahasiswa bila melakukan kesalahan.
“Padahal hal tersebut (kesalahan) sepele, seperti penggunaan penampilan (cara berpakaian) yang menurutnya tidak selaras dan memakai parfum yang dosen tersebut tidak suka,” katanya kepada Alinea.id, Jumat (17/11).
Menurut mahasiswi semeter tujuh itu, dosen killer kerap memberikan tugas yang amat berat. Contohnya, ia pernah diberi tugas merangkum 14 bab buku dalam waktu sehari, dan diperintahkan presentasi di depan kelas.
“Ketika mengajar, seharusnya (dosen) memberikan pengantar terlebih dahulu, dan tidak semena-mena memberikan tugas dalam batas yang tidak wajar,” tutur Salsa.
Seorang mahasiswi lainnya, Adevia, 21 tahun, juga mengaku pernah diajar dosen killer. Bagi Adevia, dosen killer adalah pengajar yang tak memberi toleransi keterlambatan kepada mahasiswa. Menurutnya, seharusnya sebelum membuat peraturan, ada koordinasi antara dosen dan mahasiswa.
“Tidak ada toleransi untuk keterlambatan, bahkan satu menit pun enggak boleh,” kata Adevia, Kamis (16/11).
“Saya pernah lari dari parkiran motor di basement ke lantai tiga ruangan dosen tersebut, tanpa lift untuk mengejar waktu supaya tidak telat.”
Adevia mengatakan, jika ingin diadakan peraturan soal keterlambatan, seharusnya kalau dosen tersebut telat, juga tak boleh masuk ke kelas. “Bukan hanya mahasiswa saja yang melakukan peraturan tersebut,” ujar dia.
Bagaimana seharusnya seorang dosen?
Terpisah, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nizam mengapresiasi kebijakan yang akan dikeluarkan UGM untuk mengatasi perundungan warga kampus. Termasuk oleh dosen.
“Agar kampus terbebas dari perundungan, dosen harus bisa menjadi contoh bagi mahasiswanya,” kata Nizam saat dihubungi, Kamis (16/11).
“Perundungan merupakan salah satu pemicu timbulnya gangguan mental bagi warga kampus.”
Lebih lanjut, Nizam menjelaskan, Kemendikbud Ristek sudah mengeluarkan peraturan yang terkait dengan masalah perundungan dan kekerasan seksual di kampus. Di samping itu, kata Nizam, berbagai pelatihan juga sudah dilakukan di banyak kampus, serta telah terbentuk satuan tugas (satgas) untuk pencegahan.
Kemendikbud Ristek, ujar Nizam, pun telah menerbitkan berbagai pedoman untuk kegiatan belajar-mengajar dan membangun kehidupan kampus yang sehat, aman, dan nyaman. Menurutnya, di dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, aspek pencegahan perundungan juga menjadi salah satu bagian penting dalam standar pendidikan tinggi.
Di dalam pasal 37 ayat (2) huruf c peraturan itu disebutkan, penyiapan mahasiswa baru yang akan mulai mengikuti pendidikan minimal meliputi, cara mewujudkan kampus yang bebas dari kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi. Sedangkan di pasal yang sama ayat (3) disebutkan, seluruh kegiatan dalam penyiapan mahasiswa baru harus bebas dari kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
Di sisi lain, Nizam mengingatkan, untuk mewujudkan lingkungan belajar yang nyaman di kampus, yang paling penting harus ada kesadaran bersama membangun lingkungan kampus yang sehat, aman, dan nyaman.
“Salah satu yang sangat penting adalah kepedulian. Warga kampus saling peduli, saling asah, asih, dan asuh,” ucap Nizam.
Terlepas dari itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus memandang, tak tepat memakai istilah dosen killer. Soalnya, konotasi dosen killer selama ini adalah dosen yang pelit nilai dan mempersulit secara sengaja para mahasiswa, dengan memberikan nilai-nilai jelek untuk tujuan pamrih tertentu.
“Dosen seperti ini yang perlu diatasi dalam lingkup akademik,” ucap pendiri lembaga pendidikan karakter Education Consulting tersebut, Kamis (16/11).
Selain itu, ia sepakat dosen yang melakukan kekerasan, baik verbal, fisik, maupun yang mengancam secara psikologis harus “disingkirkan” dari kelas. “Karena akan merusak pendidikan,” kata pengajar lepas di Universitas Multimedia Nusantara itu.
Ia menekankan, kekerasan verbal, intimidasi, dan ancaman akan mengganggu perkembangan mental mahasiswa. Menurut Doni, membuat aturan tentang dosen killer adalah hak otonom kampus. Meski menurutnya, tak perlu ada aturan khusus terkait hal itu.
“Karena sudah ada dalam kebijakan tindak pencegahan kekerasan di perguruan tinggi, serta kode etik dosen di setiap perguruan tinggi,” tutur Doni.
Bagi Doni, seorang dosen yang baik serupa seorang guru pada umumnya. Ia bisa membimbing, mengarahkan, dan membantu mahasiswa untuk mendapat ilmu serta keterampilan yang membangun bagi masa depan peserta didik. Doni menambahkan, pekerjaan guru dan dosen adalah pekerjaan profesional.
“Ciri profesionalisme dosen dan guru, sudah ditetapkan dalam UU (undang-undang tentang) Guru dan Dosen,” ujar Doni.
Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang dimaksud Doni adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005. Sementara untuk dosen, katanya, ada tambahan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
Oleh karenanya, Doni memandang, seorang dosen harus memiliki kompetensi personal, sosial, profesional, dan pedagogis. Kompetensi personal yang dimaksudnya, dosen harus menjadi pribadi yang dewasa dan baik. Lalu, yang dimaksud kompetensi sosial, dosen harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain secara dewasa.
Selanjutnya, yang dimaksud kompetensi profesional, dosen harus memiliki kompetensi keilmuan yang diperlukan untuk mengajar. “Kompetensi pedagogis, dosen harus mampu mengajar dengan baik,” kata Doni.