Devianti Putri pernah bekerja sebagai penulis konten di sebuah perusahaan rintisan di Surabaya. Perusahaannya masih menyewa working space dengan konsep terbuka (open space). Devianti merasa, bekerja di kantor dengan konsep terbuka membuatnya lebih santai ketimbang di kantor tertutup atau bersekat.
“Kalau melihat kantor model tertutup dengan sekat gitu, kayaknya kok enggak santai ya, kerja banget,” kata Devianti saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (9/4).
Menurutnya, kantor model terbuka membuatnya terdorong berkomunikasi dengan rekan kerja yang lain. Misalnya, kata Devianti, jika ada karyawan baru ia ingin mengobrol dan bertanya perihal pekerjaannya.
Berbeda dengan Devianti, Gilang Nugraha yang bekerja sebagai brand marketing di salah satu perusahaan swasta, tak suka bekerja di kantor berkonsep terbuka. Alasannya, ia merasa mendapatkan tekanan.
Menurut Gilang, kantor model open space norak. Ia tak suka ditonton banyak orang bila sedang bekerja. Selain itu, kata Gilang, kantor konsep terbuka berisik.
“Serius, tempatku dulu itu berisik banget kayak Pasar Uler Priok,” ujar Gilang ketika dihubungi, Selasa (9/4).
Gilang mengatakan, kebisingan di kantor open space mengganggu ia dan timnya untuk berpikir kreatif. Tak tahan dengan kondisi kerja di kantor berkonsep terbuka, akhirnya Gilang dan tiga rekan kerjanya memutuskan resign.
“Dulu divisiku dikasih ruangan tersendiri, berikut studio foto. Tapi akhirnya disatukan sama divisi sales, sales support, dan admin. Ketiga divisi itu rame banget kalau lagi bikin surat jalan. Ada kali ya 30-an orang dalam satu ruangan,” ujar Gilang.
Dengan pengalamannya itu, Gilang akhirnya menemukan preferensi tempat kerja ideal. Menurut dia, tempat kerja harus tetap disekat, tetapi tak terlalu tinggi. Ia akan lebih nyaman, bila satu ruangan hanya diisi tiga hingga lima orang saja.
“Kalau kantor yang sekarang tetap open space sih, tapi lebih enak karena jarak antara satu karyawan dengan yang lain agak jauh,” kata Gilang.
Interaksi beralih
Di dalam tulisannya berjudul “The impact of the open workspace on human collaboration” yang terbit di jurnal The Royal Society Publishing pada 2 Juli 2018, dua peneliti Harvard Bussiness School, Ethan Bernstein dan Stephen Turban mengatakan, konsep kantor open space membuat manusia menjauhkan diri dari rekan kerja dan lebih memilih berinteraksi melalui pesan elektronik.
Bernstein dan Turban merekrut 52 partisipan untuk penelitian mereka. Sebanyak 52 partisipan tersebut melakukan pekerjaan mereka di kantor berkonsep open space selama 15 hari.
Bernstein dan Turban menemukan fakta, sebelum kantor tersebut didesain menjadi lebih terbuka, 52 partisipan melakukan interaksi langsung selama 5.266 menit dalam 15 hari. Lalu, ketika kantor mereka didesain ulang menjadi lebih terbuka, 52 partisipan hanya menghabiskan 1.492 menit untuk berinteraksi secara langsung selama 15 hari.
Dari percobaan itu, selain interaksi, produktivitas karyawan juga menurun karena komunikasi tergantikan melalui surat elektronik.
“Di ruang yang tak memiliki sekat, interaksi elektronik menggantikan interaksi tatap muka,” tulis Bernstein dan Turban.
Mereka menjelaskan, kantor open space tak melulu akan meningkatkan interaksi terbuka antarkaryawan. Sebab, privasi merupakan kebutuhan dasar manusia, dan dari bukti sebelumnya, privasi pun meningkatkan produktivitas.
Selain itu, tulisan dalam Oxford Economic berjudul “When the walls come down: How smart companies are rewriting the rules of the open workplace” menyebut, generasi milenial tak begitu suka bekerja di kantor open space. Alasannya, suara bising dan kurangnya ruang personal menjadi penyebab pekerja sulit berkonsentrasi.
Picu stres
Psikolog industri dan organisasi Shanty Komalasari mengatakan, bekerja di kantor berkonsep terbuka memang punya sejumlah kekurangan, yakni membuat seorang pekerja tak punya privasinya lagi.
“Kadang untuk beberapa pekerjaan tertentu memang butuh konsentrasi tinggi dan privasi. Seperti pekerjaan seorang Human Resource Development (HRD), itu membutuhkan privasi,” katanya saat dihubungi, Rabu (24/4).
Lebih lanjut, Shanty menuturkan, kantor open space harus didesain dengan baik agar benar-benar nyaman bagi pekerjanya. Misalnya, memperhatikan pencahayaan, suhu ruangan, hingga kursi agar karyawan tak stres.
“Cahaya yang terlalu terang misalnya, itu bisa juga membuat orang tak nyaman. Orang-orang yang berlalu lalang, suara bising, itu bisa mengganggu konsentrasi,” ujar dosen psikolog industri dan organisasi Universitas Islam Negeri Antasari, Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini.
Jika dibiarkan berlarut-larut, lanjut Shanty, kondisi tak nyaman tersebut akan memicu stres hingga kelelahan. “Bukan tak mungkin kondisi ini juga akan memicu burn out bagi karyawan hingga akhirnya mereka memilih resign,” kata Shanty.
Untuk mencegah hal tersebut, Shanty mengatakan, divisi sumber daya manusia setiap enam bulan atau setahun sekali wajib mengadakan survei analisis beban kerja pada karyawan mereka.
“Karena tak semua beban kerja disebabkan person to person, atau antara satu orang ke orang lain,” tutur Shanty.
Shanty pun menyebut, kantor yang ideal tak harus selalu berkonsep tertutup, tetapi harus tetap memberikan ruang privasi pada karyawannya.