Kapan bayi mulai mengenal humor?
Orang tua pasti bahagia jika melihat anak-anaknya tertawa. Namun, sejak kapan anak-anak itu mulai mengenal humor? Ada beberapa penelitian yang menjelaskan hal ini.
Riset yang dilakukan para peneliti dari Johnson State College pada 2012, terbit di jurnal Infant and Child Development menyebut, kemampuan bayi menangkap humor dari aksi melucu orang dewasa—atau membadut—dimulai dengan jeritan sederhana pada usia tiga bulan, lalu meniru tindakan yang konyol pada usia lima bulan. Kemampuan menangkap humor itu ditandai dengan peningkatan senyuman dan tawa.
Dalam riset yang dilakukan para peneliti dari Johnson State College, University of Vermont, dan University of New Hampshire-Manshester, yang terbit di Journal of Experimental Child Psychology (Agustus, 2015) ditemukan, bayi segala usia tersenyum saat orang tua diperintahkan tersenyum dan tertawa sembari bertindak konyol terhadap bayi mereka.
“Namun, hal ini (senyum) terjadi secara signifikan lebih lama pada usia lima dan enam bulan, serta lebih sering dan lebih cepat pada usia tujuh bulan, ketika orang tua memberikan isyarat humor,” tulis para peneliti.
“Jadi, mulai usia lima bulan, sikap orang tua memengaruhi bayi terhadap tindakan yang tak masuk akal, dan efek ini semakin besar pada usia tujuh bulan.”
Dikutip dari BBC, para peneliti di University of Portsmouth menemukan sejak usia tujuh atau delapan bulan, anak-anak dengan sengaja memanfaatkan wajah, tubuh, dan suaranya untuk membuat orang dewasa tertawa. Lalu, penelitian dari University of Sheffield menemukan, anak-anak berusia 16 bulan sudah dapat memahami perbedaan antara berpura-pura dan bercanda.
Para peneliti dari University of Bristol dalam jurnal Behavior Research Methods (November, 2021) menggunakan early humor survey (EHS), melibatkan 671 bayi berusia 0 hingga 47 bulan dalam upaya menentukan bagaimana humor berkembang seiring bertambahnya usia.
Penelitian itu mengidentifikasi 21 jenis humor yang berbeda sepanjang usia, dengan satu bulan sebagai usia paling awal anak-anak diamati untuk mengapresiasi humor. Sekitar 50% bisa mengapresiasi humor dalam usia dua bulan. Lalu, sekitar 50% mulai membuat lelucon sendiri pada usia 11 bulan.
Para peneliti pun menemukan, bayi berusia kurang dari 12 bulan paling banyak merespons humor fisik, visual, dan pendengaran melalui permainan, seperti menggelitik, membuat wajah yang lucu, mengeluarkan suara lucu, atau meletakkan benda-benda secara tak wajar.
Anak-anak usia sekitar setahun mulai menangkap humor yang lebih partisipatif, seperti ejekan, topik tabu, mengagetkan orang lain, serta akting yang aneh. Lantas humor berkembang seiring bayi menjadi balita. Misalnya, anak-anak berusia dua tahun menyukai humor yang absurd. Mereka juga menunjukkan permulaan berbuat jail dan menganggap lucu hinaan pada orang lain. Anak usia tiga tahun menunjukkan pemahaman terhadap lelucon yang lebih kompleks dalam bentuk permainan kata-kata, trik tangan, dan penggunaan kata-kata yang tabu.
“Riset kami menyoroti bahwa humor adalah proses yang kompleks dan berkembang dalam empat tahun pertama kehidupan,” ujar peneliti dari University of Bristol Elena Hoicka, yang menjadi salah seorang periset, seperti dikutip dari New York Post.
Dalam Psychology Today, peneliti dari Ghent University Maithri Sivaraman dan penulis buku Doing Developmental Research Tricia Striano Skoler menyebut, bayi dapat menertawakan peristiwa-peristiwa yang tak masuk akal, bahkan ketika orang lain di sekitar mereka tidak tertawa. Artinya, mereka tak sekadar meniru ekspresi wajah orang lain.
Sivaraman dan Skoler percaya, bayi memahami humor jauh sebelum mereka mengembangkan bahasa apa pun. “Mungkin ada asal usul evolusi yang penting untuk tertawa sebagai mekanisme perkembangan pada manusia,” ujar Sivaraman dan Skoler.
Sivaraman dan Skoler mengatakan, tawa bayi seolah-olah memberi tahu kepada kita bahwa mereka adalah pengamat yang tajam dan punya pemahaman yang kuat tentang apa yang normal dan familiar. “Jadi, ketika kita melebih-lebihkan kejadian biasa, bayi menatap kita lebih lama dan mereka tertawa,” ujar Sivaraman dan Skoler.
Tertawa, kata Sivaraman dan Skoler, menandakan lebih dari sekadar kegembiraan. Hal itu menjadi sumber tambahan untuk memperkuat ikatan sosial antara bayi dan orang tuanya. Lebih lanjut, mereka menjelaskan, interaksi berulang saat orang tua mencoba membuat wajah lucu atau “menyalahgunakan” objek yang tak masuk akal, menandakan konteks yang akrab dengan lingkungan sosial.
“Ini memungkinkan bayi untuk memahami dan menghargai humor dengan orang yang dicintai,” tulis Sivaraman dan Skoler.
Sivaraman dan Skoler menulis, humor merupakan alat penting untuk kesejahteraan mental kita dan membantu anak-anak berkembang dalam kehidupan sosial mereka. Seiring bertambahnya usia anak, humor mereka menjadi lebih kompleks, melibatkan lelucon verbal, dan berkembang ke dalam berbagai bentuk.
“Interaksi sederhana dengan orang tua akan mempersiapkan bayi untuk tertawa sejak dini. Tawa awal ini sangat kuat. Tak hanya menandakan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi juga memperdalam hubungan sosial,” tulis Sivaraman dan Skoler.