Kasus Hamlin dan kiat membangun brand fesyen berkualitas
Merek fesyen lokal Hamlin tengah menjadi sorotan warganet, setelah seorang beauty vlogger, Arianti melakukan ulasan produk lewat TikTok berupa tas laptop yang dibelinya seharga Rp300.000-an, ternyata merupakan produksi merek lain, dengan harga yang jauh lebih murah Rp20.000-an. Label Hamlin di tas laptop itu bisa dicopot, menimpa merek lain. Unggahan tersebut pun viral.
Melalui akun media sosial Instagram-nya, manajemen Hamlin pun memberikan klarifikasi. Mereka menyatakan, kesalahan ada pada pihak mitra produsen. Hamlin sendiri merupakan merek dari beragam produk luxury fashion, mulai pakaian, tas, dompet, hingga aksesoris. Produk-produknya dijual di toko online dan media sosial.
Salah seorang konsumen, Anne Situmeang, mengetahui brand Hamlin dari sebuah toko daring terkemuka. Ia membeli produk tas slempang atau slingbag di toko daring itu.
“Aku pikir dia barang original produksi sendiri,” kata Anne kepada Alinea.id, Jumat (22/3).
Ia membeli tas slempang tersebut seharga Rp1,5 juta. Namun, ketika dilihat di toko daring lain, barang serupa dibanderol Rp150.000. “Kualitas juga tidak kayak barang Rp1 juta,” tutur dia.
“Harga enggak sebanding dengan kualitas. Untuk harga segitu, tidak worth it.”
Ia sempat menaruh curiga lantaran pengemasan barang terlalu lama. Kurang lebih dua minggu ia menunggu. “Kalau produksi sendiri, kenapa harus lama sekali hanya packing saja,” ujar Anne.
Via, yang tengah mencari clutch atau tas pesta membeli produk brand Hamlin dari toko daring terkemuka pula. Alasannya, ia ingin mencoba brand lokal. Ia membelinya seharga Rp550.000.
“Saya kira akan mendapatkan barang yang sesuai dengan harga lah. Setidaknya, tidak seperti barang harga Rp30.000-an,” ucap Via, Jumat (22/3).
“Saat barang sampai, saya tidak sadar kalau yang saya beli itu merek Hamlin. Tapi yang saya sadar adalah kualitas barang tersebut benar-benar enggak sesuai dengan harganya.”
Menurut pakar branding sekaligus managing partner Inventure Indonesia, Yuswohady, sebenarnya beberapa perusahaan besar ada yang meminta atau membentuk sebuah kerja sama antara brand tersebut dengan pembuat atau manufaktur. Jika Hamlin memang ada kerja sama tertulis dengan manufaktur, kata Yuswohady, seharusnya tak menjadi masalah selama ada perjanjian.
Lazimnya, ujar Yuswohady, manufaktur akan memproduksi barang sesuai dengan kebutuhan brand, dan mereka akan menjual kepada brand tersebut. Artinya, manufaktur akan memproduksi barang tanpa logo dan mengirimkannya kepada pihak brand. Setelah itu, mereka menambahkan value lagi dari brand, seperti logo. Kemudian dijual.
“Ini berbeda yang saya lihat dari yang dilakukan oleh Hamlin. Karena di situ (tas laptop) pada saat customer meng-kletek (membuka) logo brand Hamlin, malah ada logo brand lain yang ternyata, pas dicek harga yang ditawarkan jauh sekali,” ujar Yuswohady kepada Alinea.id, Kamis (21/3).
“Ini kan seolah-olah Hamlin mengakui, dan ini sudah tidak benar, ya.”
Yuswohady menekankan, jika Hamlin ingin membuat brand yang serius, tidak akan asal meniban-tempel logo produk lain. Yuswohady menyebut, semisal harganya dinaikkan dari Rp100.000 ke Rp1 juta, seharusnya ada nilai yang naik pula.
“Seperti (merek) Louis Vuitton. Mereka mengandalkan emotional value dari para costumer-nya, yang menyebabkan harganya tinggi dan mereka (konsumen) akan mau beli,” ucap dia.
Emotional value atau nilai emosional merupakan utilitas yang berasal dari perasaan atau emosi positif yang ditimbulkan dari mengonsumsi produk. Nilai emosional adalah kepuasan emosional dan kesenangan yang didapat konsumen melalui penggunaan atau konsumsibarang atau jasa tertentu.
Ia menjelaskan, tak ada masalah jika sebuah produk fesyen dijual lebih tinggi dari harga produksinya. Misalnya, merek Louis Vuitton yang produksi tasnya mungkin cuma Rp1 juta, tetapi bisa dijual ratusan juta rupiah.
“Karena memang sudah brand yang lama dan besar, jadi tidak masalah mereka (konsumen) membeli barang itu,” tutur Yuswohady.
Produk dari sebuah brand yang sudah terbukti dari segi kualitas, ujar Yuswohady, membuat orang tak akan mau tahu tentang berapa harga produksinya. Konsumen yang membeli juga tak akan memikirkan berapa pun harganya.
“Ini adalah salah satu kekuatan brand. Brand tersebut memiliki added value yang membuat berbeda dari (brand) lain, seperti identitas dari brand itu,” kata dia.
“Nah, ini menurut saya yang Hamlin tidak miliki. Mereka, saya rasa, tidak memiliki reputasi yang kuat karena saya juga baru saja dengar (mengetahui) brand itu.”
Ia curiga, ketika Hamlin menjual produk tas Rp1 juta atau Rp2 juta, padahal biaya yang dikeluarkan hanya Rp100.000, mereka tak punya patokan berapa sebenarnya harga dari brand tersebut. “Nah, ini yang membedakan mereka dengan brand yang besar,” ucap Yuswohady.
“Saya rasa Hamlin hanya coba-coba saja. Dia mengerti bahwa di internet itu orang kan tidak akan memeriksa barang, jadi persepsi orang itu hanya kalau barang mahal, sudah pasti bagus.”
Menurutnya, ada kesalahan dari konsumen juga yang kurang teliti mencari tahu brand tersebut. Tak mengetahui reputasi yang dimiliki, dan langsung membeli karena harganya mahal. Padahal, kata Yuswohady, brand-brand mahal pasti memiliki kualitas dan rekam jejak yang panjang.
“Contohnya Eiger. Mereka bisa buat brand yang sebesar itu sudah pasti melalui proses yang mungkin 20-30 tahun, dan sudah teruji membuat produk yang bagus,” kata Yuswohady.
Yuswohady menerangkan, value sebuah brand adalah yang paling penting. Kalau brand ingin bertahan lama, mereka harus menjaga baik-baik dari segi kualitas dan image-nya sendiri secara keseluruhan.
“Untuk produksi, tidak masalah menggunakan penyedia jasa (manufaktur) yang membuat barang itu, tapi yang penting adalah brand itu mau menyuntikkan value lagi yang berbeda dari brand lainnya,” ujar Yuswohady.
“Jadi, intinya kita boleh menaikkan harga, tetapi harus menyuntikkan value kepada barang tersebut.”
Ia menegaskan, konsumen sebaiknya lebih teliti melihat brand yang akan dibeli. Caranya, mencari rekam jejak brand itu dalam berbisnis, seperti sudah berapa tahun mereka berjualan. Selain itu, brand yang baik sudah pasti ketersediaannya ada di mana-mana.
“Kalau tenant-nya cuma satu di Instagram misalkan, itu juga bisa jadi pertanyaan buat kita,” ujar dia.
“Kalau sudah pasang harga segitu (tinggi) seharusnya sudah punya corporate website, enggak cuma mengandalkan Instagram atau TikTok saja.”