Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sekaligus Plt. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Basuki Hadimuljono mengungkapkan, penyelesaian dan status lahan di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bakal dilakukan lewat peraturan presiden (perpres). Dikutip dari Antara, kata Basuki, ada dua hal yang perlu dibuat perpres, yakni pengadaan lahan seluas 2.086 hektare dengan penanganan dampak sosial kemasyarakatan (PDSK) plus dan hak guna bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan.
Basuki menjelaskan, PSDK biasa cuma tanam tumbuh, tetapi PDSK plus masyarakat dapat direlokasi dan dibuatkan rumah. Tergantung musyawarah dengan warga. Perpres itu, kata Basuki, juga bakal mencakup perkara ganti rugi lahan. Presiden Joko Widodo atau Jokowi sendiri sudah menugaskan Plt. Wakil Kepala Otorita IKN Raja Juli Antoni untuk fokus pada penyelesaian masalah status lahan di IKN.
Sebelumnya, pada April lalu Jokowi sudah meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY untuk segera menuntaskan 2.086 hektare lahan yang masih bermasalah untuk pembangunan IKN.
Di sisi lain, diduga mundurnya Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe dari posisi Kepala dan Wakil Otorita IKN disebabkan target yang dianggap kurang realistis. Salah satunya kemungkinan terkait sulitnya melakukan pembebasan lahan untuk pembangunan IKN.
BT, 30 tahun, salah seorang warga yang tinggal di sekitar kawasan IKN mengaku, penggusuran datang lebih awal daripada ganti rugi. Pohon-pohon kelapa sawitnya sudah tumbang. Belum lagi soal hak kepemilikan dan hak guna. Ia mengatakan, cukup banyak tetangganya yang ketika mengurus berkas hak kepemilikan, malah menjadi hak guna.
“Kayaknya banyak permasalahan soal peraturan baru,” ujar BT kepada Alinea.id, Jumat (14/6).
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilainya sebagai wujud pengabaian kewajiban negara terhadap hak atas warga lokal. Mengingat tujuan awal pembangunan IKN adalah untuk pemerataan kesejahteraan.
Armand mengingatkan, pembangunan IKN harus mengusung empat dimensi, yakni lingkungan, ekonomi, sosial, dan tata kelola. Empat dimensi itu saling bertautan.
Pada dimensi lingkungan, menurut Armand, keraguan mulai muncul. Terlebih untuk mewujudkan kota keberlanjutan, yang menjadi jargon IKN. Mandeknya mewujudkan kota keberlanjutan, ikut memengaruhi dimensi sosial, yakni kesejahteraan warga sekitar. Dimensi ekonomi bisa terlihat dengan pendapatan warga lokal yang meningkat. Namun, hal itu juga mandek. Sedangkan dimensi tata kelola berbicara soal akuntabilitas ganti rugi.
“Bagaimana mau ngomongin itu (pemerataan kesejahteraan), titik awalnya saja sudah tidak dilakukan,” ujar Armand, Rabu (19/6).
Menurut Armand, ganti rugi tak hanya bicara soal materi, tetapi juga moral. Pemenuhan ganti rugi tersebut harus sesuai dengan pengorbanan masyarakat lokal di kawasan IKN. Sebab, ketika masyarakat bergeser dari lingkunganya, selalu ada yang dikorbankan. Misalnya kultur karena mereka sudah terikat dengan lingkungan setempat.
Karenanya, jaminan seperti relokasi seharusnya menjadi paket dalam ganti rugi. Kemudian aspek legalitas, seperti surat hak milik atas tanah mereka nantinya harus masuk ke dalam jaminan masa depan.
“Ini harus dihitung terpisah (dari nilai ganti rugi) karena memindahkan sama saja mencabut mereka dari lingkungan sosial,” tutur Armand.