Kebaya Jeng Yah di Gadis Kretek dan simbol ketangguhan
Serial Netflix, Gadis Kretek yang mulai tayang awal November 2023 masih menjadi pembicaraan. Bukan hanya kisahnya saja yang membuat orang-orang penasaran dengan serial yang terdiri dari lima episode dan diangkat dari novel karya Ratih Kumala, tetapi juga busana yang dipakai pemeran utamanya, Dasiyah alias Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo).
Di film itu, Dasiyah yang merupakan anak dari pemilik pabrik rokok keretek Merdeka di Kota M, bukan cuma terlihat anggun, tetapi juga tangguh. Ia mengenakan kebaya berleher tinggi dan berwarna gelap, yang dikenal dengan kebaya janggan. Jenis kebaya ini khas Yogyakarta.
Sejarah dan filosofi
Kurator Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, Fajar Wijanarko menduga, kebaya janggan sudah muncul sejak masa pemerintahan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram, sekitar 1600-an.
“Kemudian diwarisi oleh Keraton Yogyakarta hari ini, sebagai bagian dari wangsa Mataram yang meneruskan tradisi Mataram Sultan Agung,” kata Fajar kepada Alinea.id, Kamis (23/11).
Sultan Agung adalah Sultan Mataram ke-3, yang berkuasa pada 1613-1645. Bagi Fajar, dugaan itu muncul karena kebudayaan pra-Islam, merujuk arca-arca yang ada dalam peninggalan candi Hindu-Buddha, kebanyakan perempuan pada masa itu hanya mengenakan penutup tubuh bagian atas yang sederhana.
“Sementara (kebaya) janggan muncul sebagai bagian dari tata busana atau busana adat yang ada di keraton (Mataram) pada saat itu, dan kecenderungan menutup tubuh bagian atas, bahkan hingga leher,” ujar Fajar.
Lebih lanjut, ia menerangkan, kata “janggan” berasal dari kata “jonggo”, yang artinya leher atau busana penutup tubuh bagian atas hingga menutup bagian leher. Menurutnya, masyarakat, terutama keraton percaya busana janggan adalah representasi dari kedalaman pikir perempuan karena berwarna gelap.
“Kemudian menjadi satu bentuk kenyamanan dan keamanan, bagian dari perlindungan, bentuk ketangguhan, ketegasan karena dahulu kebaya ini digunakan oleh prajurit-prajurit perempuan,” ujarnya.
“Seperti kalau kita bisa lihat foto-foto dari Nyi Ageng Serang.”
Nyi Ageng Serang (1752-1828) adalah pahlawan nasional perempuan. Ketika berusia 73 tahun, di awal Perang Diponegoro atau Perang Jawa tahun 1825, Nyi Ageng Serang memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Diponegoro melawan Belanda. Ia juga menjadi penasihat perang.
Seturut itu, antropolog dari Universitas Brawijaya sekaligus peneliti di Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) Ary Budiyanto mengatakan, hanya sedikit melihat perbedaan dari model kebaya janggan yang keseharian Keraton Yogyakarta dengan yang dibuat desainer kebaya janggan untuk Jeng Yah di serial Gadis Kretek.
“Ada nuansa beskap Solo di serial Gadis Kretek karena terkesan lebih pas di badan, seperti jas. Hingga mengesankan lebih tegas dibanding dengan yang di keraton keseharian yang lebih longgar,” tutur Ary, Rabu (22/11).
“Dan ini diakui oleh sang desainer (kebaya janggan serial Gadis Kretek) yang ingin menonjolkan ‘keeksekutifan’ dan maskulinnya Jeng Yah sebagai perempuan yang punya karakter leadership.”
Ary melihat, beskap sendiri juga ada pengaruh dari Eropa. “Mengadaptasi pakaian-pakaian prajurit Eropa,” ucapnya.
Ary percaya, serial Gadis Kretek bisa mengangkat tren kebaya janggan. Buktinya, kata dia, viral di kalangan sosialita, terutama selebritas. Seberapa besar pengaruhnya, ujar dia, tergantung pada seberapa luas dan intens media semacam serial Gadis Kretek dibuat dalam bentuk berbagai medium.
“Entah iklan, video klin, dan lain-lain, yang terus menerus ‘ditularkan’ ke publik agar tertarik dan ingin meniru,” kata Ary.
“Kalau ini dilakukan, maka dampaknya seperti orang-orang kita yang kini dengan mudah dan merasa wajar ikut-ikutan meniru gaya Korea atau Islami lantaran selalu dibicarakan, dilihat di semua lini media massa yang ada.”
Di zaman serba video seperti sekarang, menurut Ary, serial macam Gadis Kretek yang mempopulerkan baju tradisional kita yang beragam, bisa dilakukan eksperimen. Tentu, lanjut dia, tak berarti latah membuat serial atau film dengan latar belakang dan gaya cerita yang mirip dengan Gadis Kretek.
“Harus lebih kaya dan beragam, namun tetap menghadirkan kebaya dan lainnya,” tutur dia.
“Lihatlah serial drakor (drama Korea) ataupun drama China dan Jepang, yang selalu menghadirkan elemen budaya lokal mereka. Kini, di China dan Korea, utamanya baju tradisional masa kerajaan mereka terangkat di generasi mudanya.”
Sementara itu, Fajar mengatakan, sebenarnya tanpa ada serial Gadis Kretek, tren menggunakan kebaya dalam beberapa busana yang kasual, sudah banyak dilakukan. Misalnya, kebaya dipadukan dengan kain jarik atau “dijodohkan” dengan celana jin.
“Atau rok biasa atau model jahit ala kebaya, itu juga sudah banyak dilakukan,” ucap Fajar.
“Apalagi kalau kita melihat kondisi hari ini, fashion itu berputar.”
Terlebih, secara administratif, daerah Yogyakarta dan Solo merupakan “penyangga” kebudayaan Mataram. “Sehingga persoalan kebaya ini menjadi tren kembali atau tidak, saya rasa ini sudah menjadi tren sebelum Gadis Kretek ada,” tutur Fajar.
Terkait pengaruhnya, Fajar mengakui, saat ini kebaya janggan atau kebaya pada umumnya kembali memengaruhi secara psikologis terhadap generasi muda. “Dan ini cukup memberi bagian yang signifikan dalam proses pelestarian busana adat,” katanya.
Bagi Fajar, cukup efektif mengenalkan tradisi lewat sebuah film. Apalagi, kata dia, serial Gadis Kretek tak hanya bicara tentang perempuan sebagai bagian dari industri keretek. Namun juga bentuk perlawanan seorang perempuan terhadap konstruksi sosial yang ada.
“Coba kalau panjenengan (Anda) lihat busana yang dipakai Dian Sastrowardoyo, rasa-rasanya tidak sezaman dengan tahun 1960-an,” ujarnya.
Menurutnya, karakter Dasiyah yang mengenakan kebaya janggan, menjadi salah satu representasi dan nilai yang begitu pragmatis untuk menunjukkan konstruksi kesetaraan itu sudah muncul sejak zaman dahulu.
“Sejak masa pemerintahan kolonial, perempuan sudah memiliki peran, meskipun bukan peran-peran yang vital. Namun, peran-peran yang signifikan, baik itu di publik ataupun di-private,” kata Fajar.