close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tes kehamilan./Foto cottonbro studio/Pexels.com
icon caption
Ilustrasi tes kehamilan./Foto cottonbro studio/Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Selasa, 28 Januari 2025 06:05

Kebijakan diskriminatif sekolah berwujud tes kehamilan

Video beberapa siswi SMA di Cianjur tengah melakukan tes kehamilan viral di media sosial.
swipe

Beberapa hari lalu, viral di media sosial siswi SMA di Cianjur, Jawa Barat ramai-ramai mengikuti pemeriksaan kehamilan. Mereka mengantre untuk melakukan tes urine menggunakan alat uji kehamilan yang hasilnya ditunjukkan ke pihak sekolah.

Belakangan diketahui, tes kehamilan itu dilakukan pihak SMA Sulthan Baruna, Cianjur. Dikutip dari Antara, Kepala SMA Sulthan Baruna, Sarman, mengatakan kegiatan tes kehamilan rutin dilakukan setelah tiga than lalu ada seorang siswi berhenti sekolah karena hamil, sehingga setiap semester baru, pihak sekolah mengadakan ts kehamilan terhadap siswi. Kegiatan ini dilakukan dua kali setiap tahun.

Masih dilansir dari Antara, Bupati Cianjur, Herman Suherman mengatakan, tes kehamilan yang dilakukan SMA Sulthan Baruna adalah usaha antisipasi pergaulan bebas, yang tengah marak di daerah tersebut. Herman juga meminta sekolah lebih menekankan pada pendidikan karakter dan menambah jadwal pelajaran agama atau siraman rohani rutin terhadap siswa.

Menurut anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi, kebijakan sekolah yang melakukan tes kehamilan terhadap siswi sangat diskriminatif. Sebabnya, anak perempuan cenderung dijadikan sasaran pemeriksaan terkait kekhawatiran sekolah terhadap kehamilan yang tidak dikehendaki di kalangan siswa.

“Padahal, jika terjadi kehamilan, yang bertanggung jawab tidak hanya perempuan,” kata Siti kepada Alinea.id, Minggu (26/1).

“Pemeriksaan kehamilan ini juga berpotensi korban kekerasan seksual takut ke sekolah atau melanjutkan pendidikannya.”

Siti memandang, dalam konteks tes kehamilan yang dilakukan SMA Sulhan Baruna, Cianjur, yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah hak kesehatan reproduksi, yang berhubungan dengan hak atas informasi, pendidikan kesehatan reproduksi, serta kerahasiaan.

“Baik (siswa) laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual, sesuai dengan perkembangan usianya, yang diharapkan dapat mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki,” ucap Siti.

Siti berharap, pihak sekolah memberikan informasi pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif kepada siswanya.

Terpisah, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim menilai, bila sekolah ingin mencegah perilaku kurang baik, seperti pergaulan bebas, maka seharusnya diberlakukan kepada seluruh siswa, baik laki-laki maupun perempuan.

Menurut dia, jika takut ada siswi yang hamil, sebaiknya dilakukan upaya preventif dengan mengajarkan edukasi seks dan kesehatan reproduksi ke semua siswa. Tak hanya murid perempuan.

“Ini tidak hanya dilakukan di SMA, pada saat anak SD mereka juga sudah harus dapat pendidikan pubertas ini,” kata Rose, Minggu (26/1).

“Apa yang kemudian mereka ketahui (setelah diajarkan)? Seperti ketika dipegang di area tertentu membuat dia tidak bisa menahan dorongannya, itu harus diajarkan.”

Rose mengingatkan, sekolah pun harus mengajarkan siswa bagaimana caranya mengontrol diri dari hasrat seksual. Pendekatan psikologis ini juga perlu disertai dengan pendekatan moral.

“Orang tuanya juga harus diikutsertakan. Orang tua juga harus tahu pergaulan anak," kata Rose.

Menurut Rose, keterlibatan orang tua sangat penting agar siswa tidak bersandar dan memilih menjadikan pacar sebagai pelabuhan curhat, yang akhirnya terjerumus pada pergaulan bebas.

“Semisal, kalau melihat orang itu merinding, merindingnya karena dia suka sama orang itu. Hal-hal seperti ini yang harus diajarkan kepada anak,” tutur Rose.

“Jadi mereka tahu, ‘tanpa disentuh kamu aja bereaksi seperti itu. Apa yang harus kamu lakukan supaya jangan sampai kita tidak bisa mengontrol diri kita’.”

Rose mengatakan, siswa laki-laki dan perempuan harus diberlakukan setara dalam memberikan pelajaran pubertas dan kesehatan reproduksi. Tujuannya, agar mereka punya kesadaran yang sama untuk menghindari pergaulan bebas yang berisiko.

“Jadi, kebijakan tes kehamilan harus dipertimbangkan kembali karena akan mendiskreditkan anak perempuan,” ujar Rose.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan