Kecanduan gawai dan gim pada anak-anak, wujud kepanikan moral?
Di teras rumahnya di bilangan Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, dikelilingi lima temannya, mata Reza tengah asyik menatap layar smartphone-nya. Jari-jarinya bergerak, mengusap layar ponsel cerdas miliknya. Sesekali, ia berteriak. Sore itu, ia sedang bermain gim Mobile Legend.
Nyaris setiap hari Reza menghabiskan waktu untuk bermain gim di gawainya. Sehari, ia bisa menghabiskan waktu enam jam dan tenggelam dalam permainan digital itu. Di akhir pekan, waktunya untuk bermain gawai bertambah. Ia bisa bermain hingga pukul 22.00 WIB.
Selain bermain gim daring, Reza pun pengguna aktif media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Remaja tanggung kelas dua SMP itu, juga bisa menghabiskan waktu berjam-jam menonton Youtube.
Ibu angkat Reza, Qumaroh mengaku membiarkan Reza bermain smartphone agar tak keluyuran di luar rumah. Gawai yang dibelikan Qumaroh pun harganya tak murah. Ia rela mengeluarkan kocek Rp17,5 juta untuk membeli smartphone merek Samsung.
“Enggak masalah main gim sampai malam, yang penting sekolahnya bener. Alhamdulillah ada mainannya daripada ke mana-mana,” kata Qumaroh saat ditemui reporter Alinea.id di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis (13/2).
Tak bisa dimungkiri, Indonesia termasuk salah satu pasar smartphone paling besar di dunia. Berdasarkan riset Statista Research Department, yang dipublikasikan pada 21 November 2019, antara tahun 2018 dan 2023 tingkat penetrasi smartphone di Indonesia diprediksi akan meningkat dari 26% menjadi 33%.
Statista mencatat, pengguna smartphone di Indonesia meningkat tajam selama tujuh tahun terakhir. Pada 2013, penggunanya hanya 124, 3 juta orang. Jumlah ini naik pesat menjadi 193,4 juta orang pada 2019.
Gawai, seperti smartphone, memang memudahkan orang berkomunikasi, mendapatkan hiburan, dan menelan segala informasi dengan cepat. Namun, beberapa orang menganggap, kemajuan di bidang siber ini malah menimbulkan efek negatif, yang kerap disebut kecanduan gawai.
Survei GlobalWebIndex menyebut, pelajar Indonesia merupakan pengguna perangkat teknologi informasi tertinggi di dunia, sebesar 40%.
Sedangkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang melakukan survei pada 2018 melaporkan, dari 5.900 sampel, ada 25,2% anak berusia 5-9 tahun yang sudah menjadi pengguna aktif internet. Sementara anak berusia 10-14 tahun yang menjadi pengguna aktif internet ada 66,2% dan usia 15-19 tahun sebesar 91%.
APJII menyebut, perangkat paling banyak digunakan adalah smartphone. Di area urban, penggunanya mencapai 70,96%, rural urban 45,42%, dan rural 42,06%.
Melihat kondisi ini, tak heran jika banyak anak yang terindikasi kecanduan gawai. Beberapa waktu lalu, World Health Organization (WHO) mengeluarkan international classification of disease (ICD) edisi ke-11, yang menyebut kecanduan gim sebagai gangguan kesehatan jiwa, masuk sebagai gangguan permainan.
Tak sedikit pula laporan tentang kecanduan gawai pada anak-anak. Pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang baru membuka layanan pengaduan bagi anak yang terindikasi kecanduan gawai, sudah menerima sekitar 10 laporan.
Dikutip dari Anadulo Agency, pada November 2019 menurut spesialis kedokteran jiwa sekaligus psikiater anak dan remaja di RS Marzuki Mahdi Bogor, setidaknya ada 25% dari total pasien anak yang diduga kecanduan gawai, berkonsultasi ke rumah sakit itu.
Beberapa rumah sakit pun menerima pasien anak-anak yang mengalami kecanduan gawai. Pada November 2019, sebuah langkah tak biasa dilakukan Pemkot Bandung untuk mengatasi kecanduan gawai pada anak. Wali Kota Bandung Oded Muhammad Danial meluncurkan program “Chickenisasi”. Inti program ini adalah memberikan anak ayam kepada siswa untuk dipelihara, guna mengalihkan fokus terhadap gawai.
Efek dan penyebab
Praktisi psikologi anak dan remaja Anrio Marfizal mengatakan, kecanduan gawai tak bisa dianggap remeh. Ia menilai, gejala kecanduan bisa terlihat dari terfokusnya anak-anak hanya pada gawai. Efek adiktif itu bisa merusak fungsi neokorteks.
“Tingkat efek adiktif kecanduan gadget memengaruhi penurunan daya analisa dan pengambilan keputusan,” kata Anrio ketika dihubungi, Kamis (13/2).
Lebih lanjut, kata dia, efek adiktif juga merusak limbik sistem emosi. Pecandunya akan memiliki empati yang semakin rendah karena kerusakan otak tengah.
Menurutnya, efek patologis kecanduan gawai, membuat gangguan ini masuk dalam kategori problem mental, yang perlu ditangani secara intensif. Anrio memberi catatan, gangguan mental timbul karena sifat adiktif pada pemakainya, bukan terkait gawai atau gimnya.
Di sisi lain, komisioner bidang Pornografi dan Cyber Crime KPAI Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan, dampak kecanduan gawai berbahaya bagi tumbuh kembang anak-anak.
“Kecanduan gadget dapat mengganggu rutinitas anak,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (13/2).
Ia berujar, dampak lainnya berpengaruh terhadap kesehatan sang anak, terutama mata. Selain itu, anak akan berada di bawah bayang-bayang ancaman paparan pornografi dan konten kekerasan.
“Bahkan, kejahatan siber bisa pula menyeret anak menjadi pelaku,” tuturnya.
Anrio mengatakan, kecanduan gawai pada anak-anak disebabkan kontrol dan pola asuh orang tua yang “terlalu baik”. Semisal, orang tua sangat mudah memberikan gawai. Seharusnya, ia menuturkan, orang tua memberikan sebuah perjanjian kepada anak, sebelum memberikan gawai.
“Sehingga, anak tidak merasa memiliki gadget tersebut dan orang tua pun berhak mengaturnya,” ujar Anrio saat dihubungi, Kamis (13/2).
Menurut Anrio, orang tua cenderung terjebak dengan memberikan waktu bermain gawai dua hingga tiga jam di hari-hari tertentu. Hal itu justru membuat anak menjadi adiktif.
“Lebih baik 10 menit setiap hari daripada dua jam sehari,” katanya.
Anrio menilai, ketika anak hanya diberikan waktu bermain gawai selama 10 menit setiap hari, maka efek adiktif akan terpotong sebelum adrenalinnya berkembang lebih jauh. Sedangkan bila diberi waktu dua jam, bisa menyebabkan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak terfokus.
“Itu jauh lebih berbahaya,” ucapnya.
Anrio menerangkan, yang lebih mengkhawatirkan, orang tua yang “konvensional” tak tahu cara menghadapi anak-anak di era digital. Orang tua biasanya sekadar melarang anak bermain gawai, tanpa memberikan substansi mainan lainnya.
“Saat ini orang tua seakan tidak punya waktu mengajak anak bermain. Padahal, ikut bermain dengan anak sangat baik untuk kontrol dan pengawasan,” ujarnya.
Margaret pun membenarkan kesenjangan antara orang tua dan anak-anak, terkait adanya gawai dan media sosial. Kasus miris terjadi di Jember, Jawa Timur pada pertengahan Januari 2020. Seorang anak berusia 11 tahun disekap di kandang ayam, dengan kondisi kedua tangan dan kaki terborgol. Alasannya, orang tuanya kesal sang anak sering bermain gawai.
Kasus itu, kata Margaret, merupakan kekerasan dalam pengasuhan lantaran ketidaktahuan orang tua cara mengatasi kecanduan gawai. Margaret menyarankan, sebaiknya memperbaiki komunikasi daripada memberikan efek jera dengan cara kekerasan.
Hasrat seorang anak bermain gawai, kata Margaret, bisa timbul karena lingkungan pergaulan. Oleh karena itu, ia memandang, butuh kesadaran bersama dalam mengatasinya.
“Contoh bagus, ada kampung ramah anak di Sleman yang sepakat melarang gadget. Anak diperkenalkan permainan tradisional, seperti lompat tali,” ujar Margaret.
Margaret menyarankan, sebisa mungkin orang tua melarang anaknya bermain gawai di kamar agar bisa diawasi.
Di samping itu, Margaret mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari dunia digital, dengan menggandeng penyedia platform media sosial.
Margaret juga meminta Kemenkominfo mengkaji ulang Peraturan Menkominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik.
“Sebelum beredar di Indonesia, semua gim harus telah terbebas dari muatan negatif, seperti pornografi, perilaku sosial menyimpang, dan perjudian,” kata dia.
Kepanikan moral dan problem multidimensional
Dihubungi terpisah, peneliti gim dan dosen Hobart and William Smith Colleges, Amerika Serikat, Iskandar Zulkarnain menyebut, kecanduan gawai bukanlah sebuah fenomena yang bisa dibuktikan secara ilmiah.
Ia memandang, indikator kecanduan gawai atau gim berbeda dengan kecanduan psikotropika, narkotika, dan seks. Para peneliti juga lebih menyimpulkan gim sebagai pelarian dari masalah.
“Ini yang sering menyesatkan di Indonesia. Indikator kecanduan itu masih diperdebatkan. Saya tidak terlalu yakin bahwa istilah kecanduan gim berguna untuk dipakai sebagai klasifikasi gangguan mental,” kata Iskandar saat dihubungi, Jumat (14/2).
Ia menegaskan, bila pecandu gawai dan gim dikategorikan sebagai gangguan mental, maka akan berbahaya karena pengobatannya akan disamakan dengan pengidap gangguan mental.
Isu kecanduan gawai dan gim, menurut Iskandar, adalah fenomena kepanikan moral karena senantiasa muncul ketika ada video gim yang viral.
“Sekarang di Indonesia ada fenomena popularitas video gim mobile. Jadi, ada isu kecanduan gim dan pengaruh gim terhadap kekerasan,” ujar Iskandar.
Hubungan kausalitas antara video gim dan kekerasan, katanya, hingga sekarang pun belum ada bukti ilmiah.
“Dalam konteks Amerika Serikat, seringkali dalam kasus penembakan, yang disalahkan video gim, bukan budaya kepemilikan senjata secara bebas dan resmi. Kalau di Indonesia, itu seperti pengalihan isu,” ucapnya.
Pada masa Orde Baru, Iskandar mengatakan, rezim pernah melarang video gim karena dihubung-hubungkan dengan fenomena dingdong, yang diasosiasikan sebagai tempat populer untuk berkumpulnya remaja-remaja nakal.
Ia melanjutkan, fenomena kecanduan gawai lebih disebabkan karena berbagai polemik multidimensional. Di Indonesia, harga gawai tergolong murah. Kata dia, hal ini menyebabkan pengguna anak-anak meningkat dan gim mobile kian marak.
“Di sisi lain, anak-anak memerlukan hiburan, tetapi terbentur kenyataan lahan perkotaan yang semakin menyempit,” katanya.
Terdapat pula masalah keluarga dan psikologi personal. Menurut dia, di China kecanduan gawai ternyata berhubungan erat dengan perubahan strata sosial. Tekanan dan tuntutan untuk berprestasi di sekolah, mendorong anak-anak bermain gim.
“Meski belum jelas kajian ilmiahnya, tetapi kecanduan gim di China berupaya diberantas dengan cara yang sangat menyesatkan, seperti terapi listrik,” ujarnya.