Kekerasan dalam gim PUBG berdampak ke kehidupan nyata?
Gim Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) yang bisa dimainkan melalui telepon pintar, menjadi perbincangan banyak pihak, usai serangan terhadap orang-orang di dua masjid di Selandia Baru. Di India, gim besutan Tencent ini dibatasi hanya enam jam sehari. Bahkan, ada 10 orang mahasiswa ditangkap hanya karena memainkan PUBG.
Kini, para pemain PUBG di India akan diingatkan melalui pesan terkait waktu bermain. Pesan tersebut akan muncul saat pemain sudah bermain PUBG selama enam jam di hari yang sama. Bila sudah melewati batas waktu itu, pemain baru akan bisa login di hari berikutnya.
Di Mesir, parlemen Negeri Fir’aun itu meminta PUBG diblokir, karena dianggap mengajarkan kekerasan terhadap remaja. Sedangkan di Malaysia, pemuka agama Islam di Negeri Sembilan, Datuk Mohd Yusof Ahmad meminta pemerintah melarang PUBG karena berdampak negatif kepada anak muda.
Jangan terburu-buru
Sementara di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedang mengkaji fatwa haram untuk PUBG. Rencananya, fatwa itu akan diputuskan bulan depan. Selain MUI, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun tengah mengkaji untuk membatasi durasi gim ini.
Rencana ini serupa dengan kebijakan yang sudah dikeluarkan di India. Pembatasannya hanya enam jam. Setelah enam jam, aplikasi akan keluar secara otomatis. Bahkan, Kemenkominfo berencana merevisi Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik.
Seorang pemain PUBG, Latif Hendra menanggapi wacana fatwa haram yang akan dikeluarkan MUI. Ia mengatakan, fatwa haram main PUBG tak relevan.
“Ibaratnya saya sudah rajin salat, sudah naik haji, tapi gara-gara PUBG masuk neraka, kan konyol,” ujar Latif yang bekerja sebagai karyawan swasta saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (27/3).
Ia mengatakan, di Selandia Baru, usai peristiwa teror berdarah yang menewaskan 50 orang, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern langsung melarang jual beli senjata semi otomatis sebagai tindakan yang relevan dan masuk akal. Bukan melarang PUBG.
Latif berpendapat, penyebab terorisme adalah paham radikal, bukan sebuah gim. Ia menilai, keputusan MUI bila menetapkan fatwa haram, merupakan keputusan yang tergesa-gesa.
Dirinya mengaku, selama ini kerap main gim-gim yang mengandung kekerasan, seperti Red Dead Redemption II dan Grand Theft Auto V. Gim-gim itu sudah ia selesaikan, sebelum keranjingan main PUBG.
Sama seperti Latif, pemain PUBG lainnya, Jabaar, mengatakan wacana fatwa haram dari MUI bila jadi dikeluarkan, kesannya terburu-buru dan tanpa pikir panjang.
“Padahal PUBG juga bisa menjadi sumber prestasi bagi Indonesia melalui kompetisi E-Sport yang mulai nge-hype akhir-akhir ini,” ujar Jabaar saat dihubungi, Rabu (27/3).
Jabaar dan Latif mengaku, tak pernah terpengaruh dengan konten-konten kekerasan yang ada di PUBG, lantas membawanya ke dunia nyata. Latif menilai, usaha melarang gim PUBG tak akan berguna, karena akan muncul lagi gim-gim sejenis.
“Sebaiknya gim diberi rating dan pengawasan orang tua diperketat,” ujarnya.
Pengaruh psikologis
Namun, tanggapan dari psikolog berbeda dengan para pemain gim PUBG. Psikolog Ayoe Sutomo menerangkan, ketika seseorang banyak terpapar konten kekerasan, termasuk juga dalam gim yang dimainkan sehari-hari, maka akan memberikan pengaruh bagi pemikiran dan perilaku agresif.
“Artinya hal tersebut akan berpengaruh pada remaja, baik dengan bagaimana pola pikir mereka, perilaku mereka, dan kemudian lebih berpotensi mengarah pada agresivitas,” kata Ayoe saat dihubungi, Rabu (27/3).
Di samping itu, Ayoe mengatakan, pemain gim dengan konten kekerasan sangat mungkin untuk membawa kekerasan tersebut ke dunia nyata.
Lalu, sampai batas apakah perilaku agresif tersebut bisa dimasukkan ke kategori gangguan? Ayoe menyebut, jika memang sudah mengganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri individu, juga ketidaknyamanan dari lingkungan.
“Tapi apakah itu gangguan? Kita harus lihat mendalam lagi berdasarkan keterangannya, gejala-gejala yang muncul, dan efek-efek yang muncul dari kondisi tersebut,” ujar Ayoe.
Lebih lanjut, Ayoe mengatakan, di usia remaja awal—setingkat SD akhir—masih membutuhkan bimbingan dari orang tua, terkait asupan apa yang masuk ke dalam fungsi kognitif anak.
“Hal ini termasuk konten dari gim yang dimainkan anak,” tuturnya.
Ayoe menuturkan, jika berbicara mengenai apa yang harus diperhatikan orang tua, pendampingan oleh orang tua saat anak bermain gim jelas sangat dibutuhkan. Selanjutnya, dari pendampingan tersebut bisa menjadi bahan diskusi bila anak-anak sudah masuk ke usia remaja.
“Apakah tindakan tersebut baik atau tidak, oke kenapa, enggak oke kenapa,” ujar Ayoe.
Dari diskusi tersebut, menurut Ayoe, akhirnya akan memunculkan wawasan atau kesadaran diri si anak, bila apa yang ditampilkan dalam gim itu tidak tepat, tidak benar, serta bisa berpengaruh pada perilaku dan pemikiran agresif.
Pendampingan diperlukan, karena menurut Ayoe, di usia-usia remaja, si anak masih membutuhkan bimbingan terkait efek yang akan didapatkannya.
“Nah, itu bisa muncul ketika ada diskusi antara orang tua dan anak,” ujar Ayoe.
Selain berdampak negatif, Ayoe pun menjelaskan ada beberapa dampak positif yang bisa didapatkan dari bermain gim. Menurutnya, dari bermain gim, anak bisa menjadi cekatan, kemampuan visualnya meningkat, memicu anak menjadi lebih kreatif, dan menstimulasi anak untuk pandai berstrategi.
Meski demikian, lanjut Ayoe, sayangnya gim-gim tersebut selain memiliki manfaat, juga mengandung unsur kekerasan.
“Manfaatnya bukan dari konten kekerasannya, tetapi manfaat dari gim yang kebetulan ternyata ada konten kekerasan di dalamnya,” tutur Ayoe.