close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kekerasan./Foto Musa Artful/Pexels.com
icon caption
Ilustrasi kekerasan./Foto Musa Artful/Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup - Mental Health
Rabu, 16 Oktober 2024 16:00

Kekerasan emosional remaja dimulai dari pola asuh orang tua

Survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja (SNPHAR) 2024 menyebut, kekerasan emosional dominan dialami remaja.
swipe

Hasil survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja (SNPHAR) tahun 2024 yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkap, 11,5 juta atau 50,78% remaja usia 13-17 tahun pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Sedangkan dalam 12 bulan terakhir, diperkirakan sebanyak 7,6 juta atau 33,64% remaja usia yang sama mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih.

Survei tersebut pun mengungkap, sepanjang tahun 2024 kekerasan emosional paling dominan. Sebanyak 45 dari 100 laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional di sepanjang hidupnya. Sementara dalam 12 bulan terakhir terungkap 30 dari 100 laki-laki dan perempuan usia 13-17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional atau lebih.

SNPHAR menemukan, teman merupakan pelaku kekerasan emosional dengan persentase tertinggi, yakni 83,44% pada laki-laki dan 85,06% pada perempuan. Sedangkan bentuk kekerasan emosional yang dialami, antara lain dari orang tua berupa dianggap tidak pantas disayang, disebut bodoh, dibentak, diancam, atau anak yang tidak diharapkan lahir; dan dari teman berupa diskriminasi SARA, gerakan tidak senonoh, stigma fisik, serta perundungan atas kondisi fisik dan ekonomi keluarga.

SNPHAR merupakan survei rumah tangga nasional, yang menggunakan desain survei kluster empat tahap terstratifikasi di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. SNPHAR dilakukan di 15.120 sampel pada 1.512 blok sensus yang tersebar di 189 kabupaten/kota.

Psikolog klinis dari Personal Growth Counseling & People Development, Maria Alyssia menilai, kekerasan emosional yang dialami remaja bisa terjadi karena pola asuh orang tua yang menggunakan tekanan agresivitas dalam mendidik anak. Tekanan agresivitas yang lebih menyerang psikologis, menurutnya bisa membuat anak trauma.

“Orang-orang yang melakukan emotional abuse cenderung adalah mereka yang pernah mengalami kekerasan emosional, mengalami stres tingkat tinggi yang tidak dapat mereka atasi, ataupun menderita masalah dengan kesehatan mental mereka,” kata Maria kepada Alinea.id, belum lama ini.

Maria mengatakan, penting bagi anggota keluarga untuk belajar mengelola emosi dan harus punya cara alternatif untuk mengekspresikan diri dalam memberi pola asuh kepada anak.

“Ada banyak layanan atau program untuk ini. Contohnya konseling pranikah, program-program yang membangun kesadaran akan kekerasan emosional, dan meningkatkan kemampuan positive parenting, atau bahkan konseling secara keseluruhan,” kata Maria.

Maria menyampaikan, masalah kesehatan mental berupa kekerasan emosional, sebaiknya dilakukan melalui pendekatan holistik. Tak hanya menyasar anak-anak dan keluarga, tetapi juga komunitas yang lebih luas. Misalnya, para remaja bisa diberikan psiko-edukasi mengenai apa saja yang termasuk perilaku kekerasan dan bagaimana hal itu termanifestasi dalam hubungan romantis atau platonis.

“Sekolah-sekolah juga dapat berkolaborasi dengan psikolog klinis untuk mengadakan kegiatan yang bisa mengajarkan remaja cara menetapkan boundaries, berkomunikasi dengan baik, serta mengelola pikiran dan emosi,” ujar Maria.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Psikologi Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim mengatakan, kekerasan emosional yang terjadi pada remaja memang sering bermula dari pola asuh orang tua.  Sebab, orang tua tidak paham mana yang lebih baik antara memberikan hukuman atau pemahaman kepada anak.

“Banyak orang tua melihat, kalau mau mendisiplinkan anak, harus menggunakan hukuman. Hukuman itu bisa fisik atau verbal,” ujar Rose, Selasa (15/10).

“Makanya pada saat anak melakukan kesalahan, lalu diberi hukuman entah dipukul atau diberi peringatan yang sangat keras. Padahal, bisa dengan cara lain.”

Menurut Rose, pola asuh yang baik dari orang tua setidaknya bisa mengurangi kekerasan emosional pada remaja. Sayangnya, banyak orang tua tidak paham pola asuh yang baik untuk membentuk perilaku anak yang sehat secara mental.

“Semisal lebih baik memberikan sanksi atau konsekuensi daripada memberikan hukuman. Bedanya, kalau konsekuensi itu di depan. (Misalnya) ‘kalau enggak bikin PR, boleh enggak ibu cabut hak kamu main sepeda. Jadi kamu enggak boleh main sepeda’,” ucap Rose.

“Hal-hal seperti ini sebetulnya bisa diomongin, tidak usah dengan suara yang keras dan marah-marah. Namun, tidak semua orang tua paham akan hal ini.”

Rose mengatakan, pengetahuan tentang moral mesti dipupuk lewat tindakan empati orang tua. Maka dari itu, orang tua tidak perlu menggunakan kata-kata yang bermuatan tekanan psikologis. Soalnya, memaki dan kata-kata ancaman yang menjurus pada kekerasan bisa mencederai psikologis remaja, yang berangsur-angsur bisa membuat mereka mengalami gangguan kesehatan mental.

“Tapi orang tua tidak mengajarkan ini kepada anak karena kemungkinan ketidaktahuan mereka,” ujar dia.

“Jadi, semua pelajaran budi pekerti atau berbuat baik yang basisnya moral itu harus ada dalam semua lini kehidupan pada orang-orang yang ada di sekolah juga.”

Lebih lanjut, Rose memandang, penanaman moral dan budi pekerti yang berorientasi pada antikekerasan fisik dan verbal, perlu distimulus dalam semua lini kehidupan di masyarakat.

“Banyak hal yang tidak didapat oleh anak di rumah. Padahal, anak awalnya dari keluarga. Di lingkungan luar, dia ketemu dengan teman-temannya, sehingga anak juga harus punya kemampuan untuk tidak terlalu lemah, untuk bisa menghadapi masalah emosional,” ujar Rose.

“Akan tetapi, anak juga harus mendapatkan stimulasi moralnya.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan