close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kampanye di media sosial. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi kampanye di media sosial. Alinea.id/Aisya Kurnia
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Senin, 26 Agustus 2024 06:07

Kekuatan media sosial sebagai tempat protes

Media sosial, beberapa tahun belakangan, memang menjadi tempat berbagi gerakan sosial yang efektif.
swipe

Sebelum aksi massa terjadi di sekitar kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/8), muncul kampanye masif di media sosial bertajuk “peringatan darurat”, yang bergambar garuda Pancasila dengan latar berwarna biru gelap.

Pemicunya adalah rencana DPR untuk mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada, yang dinilai sebagai akal-akalan demi menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan gabungan partai politik, serta batasan usia minimal pencalonan kepala daerah.

Media sosial, beberapa tahun belakangan, memang menjadi tempat berbagi gerakan sosial yang efektif. Menurut asisten profesor psikologi di University of Louisiana, Manyu Li, dalam Psychology Today sifat anonimitas yang ditambahkan pada beberapa platform media sosial, semakin memungkinkan aktivisme untuk isu-isu sensitif, seperti politik dan kekerasan terhadap perempuan. Melalui media sosial sebagai sebuah komunitas, tulis Manyu Li, individu mengumpulkan banyak dukungan dari orang-orang yang memiliki kekhawatiran yang sama.

Di dalam situs web The University of Manchester seorang penulis, Ashley Collar, mengutip sosiolog Manuel Castells yang menyebut, aktivisme internet bertujuan untuk menghadirkan demokrasi sejati kepada masyarakat karena perlawanan menghadapi dominasi, pemberdayaan bereaksi terhadap ketidakberdayaan dan proyek-proyek alternatif menantang secara daring.

“Suara-suara yang diabaikan di ruang publik perkotaan diperkuat dan diangkat di podium daring, menyediakan gerakan sosial dengan kerangka kerja untuk mendunia,” tulis Collar.

Situs jejaring sosial, kata Collar, memiliki kemampuan untuk menyatukan semua orang yang berbeda, dengan latar belakang bervariasi. Kerumunan besar bisa diorganisir melalui tagar Twitter (sekarang X), halaman Facebook, siaran langsung, atau foto-foto di Instagram.

Collar mencontohkan, gerakan populis sayap kiri Occupy Wall Street di Amerika Serikat pada 2011 yang berlangsung selama 59 hari untuk melawan kesenjangan ekonomi, keserakahan korporasi, dan pengaruh uang dalam politik termasuk yang berhasil diangkat berawal dari media sosial.

Pengunjuk rasa Occupy Wall Street mulanya menghimpun kekuatan di Twitter, yang membuat lebih dari 100.000 tagar berbeda terkait dengan gerakan tersebut. Profesor jurnalisme terkemuka Jeff Jarvis menyebut fenomena ini sebagai pemberontakan tagar.

Sementara itu, dalam penelitian yang terbit di jurnal Current Opinion in Psychology (2020), para peneliti asal Belanda menulis, aktivisme daring punya banyak bentuk, mulai dari pemberian sinyal simbolis mengenai sikap seseorang terhadap isu yang dipolitisasi—misalnya, mengubah foto profil media sosial—hingga keterlibatan yang lebih kompleks—misalnya, menulis unggahan rinci tentang isu sosial.

Media sosial memfasilitasi aktivisme daring dalam tiga cara utama. Pertama, media sosial memungkinkan individu untuk mengekspresikan pengalaman dan pendapat, mengaitkannya dengan tujuan kolektif.

Kedua, memungkinkan anggota komunitas daring untuk memberikan dukungan, mengatur kegiatan, dan menantang tanggapan negatif terhadap kegiatan mereka. Ketiga, media sosial memungkinkan orang untuk melibatkan orang lain di luar komunitas online mereka untuk secara kolektif mengegosiasikan realitas bersama yang baru dan menyebarkannya.

Lebih lanjut, para periset menulis media sosial berperan dalam mendokumentasikan dan menyusun pengalaman individu, dalam membangun komunitas dan pembentukan norma, serta pengembangan realitas sosial bersama. Para peneliti menyimpulkan, banyak kasus aktivisme daring dan luring berkorelasi, baik karena perilaku daring dan luring orang saling terkait atau karena aktivisme daring seseorang dapat memobilisasi orang lain untuk protes luring.

Di sisi lain, kelompok minoritas dapat lebih mudah melakukan kontak dan membuat diri mereka didengar melalui media sosial. Hal ini, kata para peneliti, memberi media sosial semangat dan pluralisme yang hebat, tetapi juga bisa memecah belah warga. Aktivisme daring dan luring, bagaimana pun, semakin menjadi instrumen sosial-psikologis yang tak terpisahkan dan saling melengkapi untuk politisasi, debat, mobilisasi, dan konflik.

“Dalam konteks represif, analisis tingkat makro menunjukkan, internet dapat merangsang aktivisme dan revolusi, tetapi juga memfasilitasi represi dari atas ke bawah,” kata para peneliti.

“Bukti tingkat mikro mendukung hubungan positif antara aktivisme daring dan protes luring di antara warga negara di bawah rezim represif.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan