close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Umat Katolik menyelesaikan pembuatan dekorasi natal di Gereja Santo Albertus Agung, Jetis, Yogyakarta, Minggu (23/12). /Antara Foto.
icon caption
Umat Katolik menyelesaikan pembuatan dekorasi natal di Gereja Santo Albertus Agung, Jetis, Yogyakarta, Minggu (23/12). /Antara Foto.
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 25 Desember 2018 09:00

Kelap-kelip masa lalu pohon Natal

Dari mana dan sejak kapan pohon Natal dikenal dunia?
swipe

Natal telah tiba. Umat Nasrani memperingati hari kelahiran Yesus Kristus.

Perayaan Natal identik dengan pohon cemara yang dihias aneka pernak-pernik—dikenal sebagai pohon Natal. Tak asing kita lihat di rumah, kantor, dan pusat perbelanjaan pohon Natal berdiri untuk menyambut hari Natal.

Lantaran tak akan gugur bila musim dingin tiba, pohon cemara dianggap simbol keabadian. Itulah sebabnya, pohon yang memiliki ciri berdaun ramping dan runcing, berukuran tinggi dan berbentuk kerucut itu, dipilih sebagai pohon Natal.

Lalu, bagaimana jejak historis pohon Natal?

Mulanya di Jerman

Sebuah artikel pendek di Haagsche Courant—sebuah koran berbasis di The Hague, Belanda—edisi 24 Desember 1938 membahas tentang sejarah pohon Natal.

Di dalam artikel tersebut dijelaskan, seorang peneliti asal Swiss Arnold Meyer menemukan informasi tertua soal penggunaan pohon Natal, berasal dari tahun 1605. Saat itu, pohon Natal mulai digunakan di Strasbourg, Jerman.

“Mereka mencoba merayakan pesta Natal dengan cara menghias pohon cemara memakai mawar, apel, dan manisan warna-warni,” tulis artikel itu.

Lalu, tradisi menghadirkan pohon Natal menyebar ke seluruh Jerman. Di Berlin, pohon Natal baru dijadikan identitas perayaan Natal pada 1810.

Ilustrasi perayaan Natal di Hindia Belanda. (Soerabaijasch handelsblad, 28 Desember 1931).

Awal orang-orang Prancis mengenal pohon Natal saat terjadi perang Prancis-Prusia (Jerman) pada 1870. Ketika itu, tentara Jerman merayakan Natal di Prancis.

Vebertina Manihuruk dalam artikelnya “Awalnya Pohon Natal Pernah Ditentang” di Pikiran Rakyat edisi 24 Desember 2006 menulis, orang Jerman di Pennsylvania, Amerika Serikat, memajang pohon Natal pertama kali pada 1830-an.

Akan tetapi, terjadi penentangan. Sejumlah warga di Amerika Serikat kala itu menganggap, pemasangan pohon Natal sebagai bentuk penyembahan berhala.

“Reaksi penolakan itu bahkan sempat diwarnai keputusan pemerintah untuk mendenda siapa pun yang memasang pohon cemara sebagai pohon Natal,” tulis Vebertina.

Seiring waktu, pandangan masyarakat Amerika Serikat berubah. Mereka mengikuti jejak Inggris yang menggunakan pohon cemara untuk dimanfaatkan jadi pohon Natal. Kemudian, tulis Vebertina, industri hiasan pohon Natal makin berkembang dan menular ke berbagai negara.

“Indonesia dan Filipina menjadi negara yang sangat terpengaruh tradisi Eropa itu sampai akhirnya para umat Kristen membeli pohon buatan, tapi yang penting berbentuk cemara,” tulis Vebertina.

Natal telah tiba. Umat Nasrani memperingati hari kelahiran Yesus Kristus.

Perayaan Natal identik dengan pohon cemara yang dihias aneka pernak-pernik—dikenal sebagai pohon Natal. Tak asing kita lihat di rumah, kantor, dan pusat perbelanjaan pohon Natal berdiri untuk menyambut hari Natal.

Lantaran tak akan gugur bila musim dingin tiba, pohon cemara dianggap simbol keabadian. Itulah sebabnya, pohon yang memiliki ciri berdaun ramping dan runcing, berukuran tinggi dan berbentuk kerucut itu, dipilih sebagai pohon Natal.

Lalu, bagaimana jejak historis pohon Natal?

Mulanya di Jerman

Sebuah artikel pendek di Haagsche Courant—sebuah koran berbasis di The Hague, Belanda—edisi 24 Desember 1938 membahas tentang sejarah pohon Natal.

Di dalam artikel tersebut dijelaskan, seorang peneliti asal Swiss Arnold Meyer menemukan informasi tertua soal penggunaan pohon Natal, berasal dari tahun 1605. Saat itu, pohon Natal mulai digunakan di Strasbourg, Jerman.

“Mereka mencoba merayakan pesta Natal dengan cara menghias pohon cemara memakai mawar, apel, dan manisan warna-warni,” tulis artikel itu.

Lalu, tradisi menghadirkan pohon Natal menyebar ke seluruh Jerman. Di Berlin, pohon Natal baru dijadikan identitas perayaan Natal pada 1810.

Ilustrasi perayaan Natal di Hindia Belanda. (Soerabaijasch handelsblad, 28 Desember 1931).

Awal orang-orang Prancis mengenal pohon Natal saat terjadi perang Prancis-Prusia (Jerman) pada 1870. Ketika itu, tentara Jerman merayakan Natal di Prancis.

Vebertina Manihuruk dalam artikelnya “Awalnya Pohon Natal Pernah Ditentang” di Pikiran Rakyat edisi 24 Desember 2006 menulis, orang Jerman di Pennsylvania, Amerika Serikat, memajang pohon Natal pertama kali pada 1830-an.

Akan tetapi, terjadi penentangan. Sejumlah warga di Amerika Serikat kala itu menganggap, pemasangan pohon Natal sebagai bentuk penyembahan berhala.

“Reaksi penolakan itu bahkan sempat diwarnai keputusan pemerintah untuk mendenda siapa pun yang memasang pohon cemara sebagai pohon Natal,” tulis Vebertina.

Seiring waktu, pandangan masyarakat Amerika Serikat berubah. Mereka mengikuti jejak Inggris yang menggunakan pohon cemara untuk dimanfaatkan jadi pohon Natal. Kemudian, tulis Vebertina, industri hiasan pohon Natal makin berkembang dan menular ke berbagai negara.

“Indonesia dan Filipina menjadi negara yang sangat terpengaruh tradisi Eropa itu sampai akhirnya para umat Kristen membeli pohon buatan, tapi yang penting berbentuk cemara,” tulis Vebertina.

Datang ke Hindia

Lantas, kapan pohon Natal mulai digunakan di Indonesia?

Pemerhati sejarah dan warisan budaya kolonial Lilie Suratminto menduga, dikenalnya pohon Natal beriringan dengan berdirinya gereja Protestan pertama di Nusantara.

“Saya menduga, perayaan Natal dengan pohon cemara di Indonesia dimulai sejak berdirinya Gereja Salib (Kruiskerk) atau De Grote Hollandse Kerk pada 1630,” kata penulis buku Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia (2008), ketika dihubungi, Selasa (18/12).

Gereja Salib dibangun pada 1632. Lalu, pada 1733, gereja ini direnovasi. Setelah selesai, gereja diganti nama menjadi De Grote Hollandse Kerk (Gereja Besar Belanda) atau De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda). Gereja ini hancur karena gempa bumi besar pada 1808.

Kemudian, bekas gereja dibangun kembali. Saat ini, gereja tersebut menjadi Museum Wayang. Kata Lilie, saat itu gereja Katolik tak mesti menggunakan pohon cemara, tapi pohon apa saja.

Menurutnya, ketika itu, di gereja Katolik saat Natal di dekat mimbar ada gua, patung Bunda Maria, bayi Yesus, serta para gembala. Sedangkan di gereja Protestan hanya ada pohon cemara.

Sementara itu, dalam tulisannya “Kerstboom en kerstviering op kolonial Jawa” (1852-1941), yang dipublikasikan Volkskundig Bulletin 25.2/3, antropolog dari Departemen Etnologi Institut Meertens, Belanda, John Helsloot menulis, berdasarkan penelitian H. Reenders, pohon Natal baru diperkenalkan di Jawa pada 1852, tak lama setelah pulau ini bisa diakses para misionaris.

Helsloot menulis, pada 1857 terdapat pohon Natal di rumah misionaris M. Teffers di Desa Allang, Ambon. Dan di tempat yang cukup terpencil di Jepara, timur laut Semarang, pohon Natal terdapat di sana pada 1859, diperkenalkan Mennonite dan Réveil, yang dipengaruhi misionaris P. Jansz.

Iklan pohon Natal tiruan di sebuah surat kabar. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14 Desember 1907).

Menurut Lilie, dahulu orang tidak kenal pohon cemara tiruan. “Pohon Natal tiruan dimanfaatkan orang-orang untuk meraih keuntungan yang besar. Termasuk menjual aksesoris Natal dan segala sesuatu dihubungkan dengan Natal,” ujar Lilie, yang berprofesi sebagai dosen bahasa, budaya Belanda, dan linguistik di Universitas Indonesia itu.

Namun, bila memperhatian koran-koran berbahasa Belanda yang terbit pada akhir 1800-an, sudah banyak iklan yang menawarkan pohon Natal, beserta hiasannya.

Misalnya, Toko F. Becker di Kwitang, Batavia, yang beriklan di Bataviaasch nieuwsblad edisi 19 Desember 1895. Toko ini menjual cokelat, buah, kembang gula yang diisi minuman keras, dan dekorasi untuk pohon Natal.

Toko Sluisbrug mengiklankan pohon Natal tiruan, lilin, dan tatakan lilin dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 14 Desember 1907.

Pohon Natal dijual mulai f0,60 hingga f45, lilin per kotak 24 sen, dan tatakan lilin per lusin 40 sen. Artinya, akhir dan awal abad ke-20, pohon Natal tiruan sudah mulai masuk Hindia Belanda.

Dalam buku Api Sejarah Indonesia jilid I, sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara menulis, di wilayah bumiputra yang mayoritas beragama Islam, tak ada pohon cemara. Ahmad mengatakan, pohon cemara identik dengan ajaran gereja sebagai pohon Natal.

“Sebaliknya, dalam ajaran Islam, pohon cemara sebagai lambang pohon kemurkaan Allah,” tulis Ahmad Mansur di bukunya itu.

Mansur menulis, di wilayah bumiputra yang mayoritas beragama Islam terdapat banyak pohon buah-buahan, seperti pepaya, pisang, kelapa, melinjo, jeruk, dan rambutan. Namun, tak terdapat pohon cemara.

Semarak Natal di Hindia

Pada awal abad ke-20, pohon Natal sudah banyak ditulis di surat kabar-surat kabar yang terbit di Hindia Belanda. Misalnya, sebuah artikel dalam Bataviaasch nieuwsblad edisi 27 Desember 1928 menggambarkan Natal dengan menggunakan pohon cemara.

Tentu saja, yang merayakan Natal di masa ini adalah orang-orang Eropa dan Indo yang tinggal di Hindia Belanda.

“Di pabrik, kebun binatang, Willemskerk (sekarang Gereja Immanuel), di Persatuan Sosial Katolik di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), dan banyak tempat lain, anak-anak dan orang tua berkumpul di sekitar pohon Natal,” tulis artikel itu.

Keluarga Eropa merayakan Natal di rumahnya, bersama para pembantunya. (www.tropenmuseum.nl).

Dalam Indische Letteren, volume 21 tahun 2006, Helsloot menulis, pada hari pertama atau kedua Natal, sering ada pertunjukan musik di kota-kota besar di Jawa pada 1870-an hingga 1920-an. Selain itu, ada pohon Natal dan hadiah untuk anak-anak.

Pertunjukan itu adalah Festival St. Nicholas. Festival ini merupakan perayaan Natal dengan menghadirkan sosok Sinterklas.

Di dalam tulisannya yang lain, “St Nicholas as a Public Festival in Java, 1870-1920”, yang dipublikasikan di Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 1 Januari 1998, Helsloot menulis, festival ini bisa ditemukan di Batavia, Surabaya, dan Bandung. Di kota-kota ini tinggal orang-orang Eropa dengan populasi yang besar.

Menariknya, Festival St Nicholas mesti disesuaikan dengan iklim dan kondisi masyarakat di Hindia Belanda. Bila di Eropa perayaan ini dilakukan di dalam rumah, dengan pohon Natal sekaligus kado-kado, di Hindia Belanda justru digelar di ruang terbuka. Perayaan ini bisa disaksikan gratis oleh orang-orang bumiputra.

Natal merentang sepanjang zaman. Begitu pula dengan pohon Natal, yang menemani perayaan Natal dengan pernak-pernik dan kelap-kelip lampu hiasannya.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan