Beberapa waktu lalu, viral di media sosial situasi kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (TNBTS), Jawa Timur dipenuhi ribuan wisatawan. Bahkan, kemacetan kendaraan sudah terlihat sejak dari pintu masuk menuju kawasan Gunung Bromo di Kabupaten Malang. Situasi pengunjung yang melimpah itu terjadi pada Minggu (24/12) dan Senin (25/12). Orang-orang berkunjung ke sana memanfaatkan libur Natal dan Tahun Baru 2024.
Bagi orang Jakarta kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat masih menjadi primadona dalam mengisi liburan. Tak heran, jalanan menuju ke sana kerap macet. Di musim liburan akhir tahun ini, kemacetan parah menuju Puncak terjadi di kawasan Gadog hingga Pasar Cisarua pada Rabu (27/12). Ribuan kendaraan padat merayap.
Menurut pengamat pemasaran Managing Partner Inventure, Yuswohady, kawasan Puncak masih menjadi pilihan orang Jakarta untuk berlibur karena aksesnya dekat. Yuswohady mengatakan, wisatawan dari Jakarta rela bermacet-macetan menuju Puncak karena ingin menikmati panorama pegunungan.
“Kalau (orang) Jakarta dia mau ke pantai kan ke Ancol, kalau gunung kan antara Bandung atau Puncak,” ujar Yuswohady kepada Alinea.id, Rabu (27/12).
Pemerhati ekonomi rekreasi itu pun menjelaskan, selain akses, wisatawan pasti memikirkan biaya dan kecepatan. “Artinya, enggak repot. Kalau ke Bandung kan lebih dua ratus kilometer kan, lebih berat,” tutur dia.
“Sementara Puncak itu, walaupun memang macet karena aksesibitasnya cuma satu jalan, tapi relatif lebih (dekat), secara kecepatan lebih cepat (dibanding Bandung).”
Penyebab utama kemacetan menuju tempat wisata, terutama Puncak, kata Yuswohady karena momennya libur akhir tahun di mana anak-anak sekolah juga libur. Maka, sebuah kewajiban keluarga menghabiskan waktu untuk berlibur.
“Dan macet itu menjadi enggak masalah karena terbatasnya waktu (libur) itu. Maka, apa pun kondisinya, dia (wisatawan) akan lakukan,” ucap Yuswohady.
“Ini kan setiap tahun enggak pernah berubah. Artinya, setiap akhir tahun atau libur sekolah itu Puncak, Bali, Bandung, Yogyakarta macet.”
Momen kemacetan menuju tempat wisata juga terjadi di akhir pekan atau long weekend. “Itu juga sama kasusnya,” kata Yuswohady.
“Sehingga kemudian kemacetan itu menjadi kayak experience tersendiri, bagian dari liburan, dianggap sesuatu yang sudah default, enggak bisa dihindari.”
Yuswohday melanjutkan, perputaran uang yang sangat besar terjadi di musim liburan akhir tahun lantaran aliran wisatawan dari beberapa kota besar. Misalnya, wisatawan Jakarta ke Bandung, orang dari Semarang ke Surabaya, atau wisatawan dari Surabaya ke Banyuwangi.
“Itu duitnya menjadi berputar. Beralih ke pusat-pusat yang selama ini ngumpul di Jakarta, mengucur ke destinasi (lain) itu,” ujar Yuswohady.
“Jadi, yang berdasarkan yang ada di sana (barang-barang, makanan, dan lain-lain) laku lebih banyak, sehingga dampak ke perekonomian adalah duit itu ngalir.”
Sementara kalau tak musim libur, masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, cenderung membelanjakan uangnya ke mal-mal. Maka, perputaran uang dari wisatawan domestik positif untuk perkembangan perekonomian di berbagai daerah.
Terlepas dari itu, menurut Yuswohady, ada situasi yang tak bisa dikendalikan pengelola tempat wisata. Misalnya kemacetan. “Kalau Puncak macet kan domainnya bukan di tempat wisatanya, tapi kepolisian dan infrastruktur,” kata dia.
“Si pemilik destinasi enggak bisa apa-apa.”
Akan tetapi, pengelola tempat wisata bisa menambah lahan parkir dan kapasitasnya untuk meminimalisir penumpukan kendaraan di lokasi destinasi. Selain itu, pengelola tempat wisata bisa memperbaiki layanan agar antrean menuju lokasi dapat lebih cepat.
“Di masa-masa padat (wisatawan) kayak akhir tahun ini, mestinya layanannya diperbaiki, service excellence-nya diperbaiki, misalnya parkirnya ditambah dan segala macam,” tutur Yuswohady.
Yuswohady pun menyoroti pembangunan jalan tol. Menurutnya, jika akses-akses jalan tol saling terhubung, semisal dari Jakarta ke Surabaya, lalu Banyuwangi, maka akan terjadi pemerataan destinasi.
“Jadi misalnya orang nanti (jadi) mikir daripada ke Puncak macet, mungkin akan lebih baik ke Semarang, gitu,” tutur Yuswohady.
Dengan adanya jalan tol, kata Yuswohady, walaupun jarak dari Jakarta ke Semarang lebih dari 400 kilometer dan Puncak kira-kira 80 kilometer, waktu tempuhnya menjadi sedikit berbeda. Apalagi, jika berniat liburan ke Semarang, wisatawan dapat berkunjung juga ke Tegal, Pekalongan, Yogyakarta, atau Solo.
“Jadi dengan adanya jalan tol itu, petanya akan berubah, tapi pertimbangannya adalah aksesibilitas tadi itu,” kata dia.