Data kebudayaan Indonesia identik dengan keberagaman dan nilai historisnya yang tinggi. Kita biasanya dapat menemukan berbagai data kebudayaan di industri GLAM atau Galleries (Galeri), Libraries (Perpustakaan), Archives (Arsip), dan Museums (Museum).
Untuk itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana untuk mengintegrasikan data sejarah dan kebudayaan yang tersebar di banyak tempat itu menjadi satu sistem database.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid mengatakan, data kebudayaan masih tersebar di berbagai pemangku kepentingan dan tidak terkonsentrasi.
“Itu sebabnya kita ada rencana untuk membuat sistem pendataan kebudaayaan terpadu sebagai respons dari data yang tersebar itu,” kata Hilmar di webinar bertajuk ‘Data Budaya Terbuka di Indonesia’ pada Jumat (19/6).
Menurut Hilmar, data mengenai kebudayaan cukup penting bagi publik. Ia bercerita, pada kurun ’90-an dirinya kesulitan saat meneliti data tahanan di Boven Digul hingga harus ke perpustakaan Leiden, Belanda dan menghabiskan 3 bulan hanya untuk data yang masih di permukaan.
Sedangkan saat ini, sambung dia, seluruh surat kabar Belanda yang historis sudah dimuat di satu database besar bernama Delver.
“Hampir seluruh informasi yang dulu saya cari itu sekarang ada di sana. Saya enggak perlu ke Belanda untuk dapat data itu. Jadi kini bisa mengoleksinya dalam bentuk digital, lengkap, dan gratis. Manfaatnya saya rasakan sendiri untuk keperluan praktis ataupun profesi saat ini,” jelas Hilmar.
Ia mengatakan, Indonesia pelan-pelan akan mengikuti. Kini beberapa arsip nasional Indonesia sudah dibuka untuk publik sejak 2011.
Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga sudah menerbitkan sejumlah naskah yang tersedia dalam bentuk digital. Serta, ada koleksi lainnya yang memberikan akses kepada publik agar dapat digunakan, disebarkan, direproduksi, dan sebagainya.
Hilmar juga menyitir Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamantkan agar pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, untuk membentuk sistem pendataan kebudayaan terpadu (SPKT) yang berfungsi mendukung kesetaraan pemajuan kebudayaan.
“Kondisi data kebudayaan saat ini tersebar di banyak institusi. Rekaman musik disimpan di Lokananta di bawah Percetakan Negara Republik Indonesia, Antara menyimpan foto perjalanan Indonesia sejak awal republik sampai sekarang, Kemendikbud menyimpan data budaya bersama dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Di swasta ada banyak sekali. Belum lagi di komunitas dan masyarakat yang menyimpan data kebudayaan beragam,” ungkap Ketua Alumni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) itu.
Permasalahan data kebudayaan lainnya, kata Hilmar, yaitu data referensial yang belum umum digunakan. “Masing-masing punya sistem informasinya sendiri sehingga sulit membuat retrieval sistem yang sifatnya universal. Jadi kita harus tahu persis datanya apa, tersedia dimana, dan gimana cara mengaksesnya. Tentu bagi pengguna akan sangat merepotkan,” katanya.
Sejauh ini, pihak Kemendikbud berusaha untuk mengonsolidasikan data-data kebudayaan yang tercecer tersebut melalui SPKT. Pada 2018, mereka melakukan pendataan yang melibatkan pemda, perguruan tinggi, seniman, pekerja budaya. Data itu dikumpulkan dari 337 kabupaten kota dari 34 provinsi. Kendati Hilmar mengakui data yang dimiliki masih banyak kekurangan bila digunakan untuk kepentingan publik.
“Kita mendorong semakin banyak terutama institusi pemerintah agar membuka akses data yang mereka simpan dan kelola untuk kepentingan publik,” kata dia.
Namun, ia juga mengaku dalam prosesnya akan berhadapan dengan isu-isu konkret untuk menentukan apakah suatu data bisa dibuka untuk publik atau tidak. Misalnya, data koordinat dari tinggalan arkeologi bawah air.
“Kita harus melihat seberapa besar data bisa dibuka. Kalau kita lihat itu (koordinat tinggalan arkeologi bawah air) sebagai benda cagar budaya apakah boleh dibuka ke publik atau enggak. Apa ini termasuk pemanfaatann yang dibenarkan atau ada pembatasan, dan sebagainya,” paparnya.
Meskipun begitu, Hilmar menekankan bahwa prinsip dasarnya tetap pada keterbukaan. SPKT nantinya akan menjadi jantung dari berbagai data mengenai kebudayaan yang ada di Indonesia dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat.