Jika kita mengalami ledakan kemarahan yang mirip dengan tantrum. Merasa malu atau kesepian, seperti yang kita rasakan saat masih anak-anak. Atau ketika sedang stres, kita berubah suasana hati dengan cepat, mirip seorang anak menghadapi situasi yang tidak nyaman. Barangkali kita mengalami apa yang disebut inner child. Dalam bahasa psikologi, inner child disebut sebagai adverse childhood experiences (ACEs).
Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh psikolog Carl Jung. Inner child kita dapat memengaruhi banyak emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yurika Fauzia Wardhani mengatakan, inner child adalah pengalaman masa kecil yang terbawa hingga dewasa. Hal itu memengaruhi respons seseorang. Inner child tertanam dalam alam bawah sadar, yang seakan berwujud versi diri kecil dari orang tersebut.
Sayangnya, banyak orang yang tak menyadarinya karena merasa tidak ada kesalahan. Padahal, kondisi ini berkaitan dengan kondisi mental seseorang kelak. Yurika mencontohkan, yang paling sederhana adalah “balas dendam” masa kecil.
Fenomena terjadi karena seseorang sewaktu masih anak-anak tidak memiliki mainan atau sesuatu yang diidamkannya karena tidak mampu. Kemudian, saat sudah beranjak dewasa, memiliki penghasilan sendiri, mereka langsung berusaha mendapatkannya untuk membalaskan masa kecil yang dirasa kurang bahagia.
“Kok kekanak-kanakan? Atau kok suka main game? Bisa jadi di masa lalu, kebutuhannya tidak bisa dipenuhi,” ujar Yurika kepada Alinea.id, Kamis (10/10).
Yurika menyarankan agar setiap orang bisa mengenal inner child mereka dan berusaha mengentaskannya. Sebab, inner child sering kali terkait dengan trauma-trauma yang memengaruhi perilaku seseorang kelak.
Misalnya, beberapa sifat laki-laki yang berlagak perempuan atau sebaliknya, tak lepas dari trauma dalam inner child. Yurika berpendapat, kemungkinan perilaku demikian karena ketika masa kecil ada kekecewaan terhadap sosok laki-laki atau perempuan yang ada di lingkungan sekitar.
Untuk itu, dia menyarankan, setiap orang dapat meluangkan waktu untuk merenungkan kembali masa kecil dan semua masalahnya.
“Salah satu yang sederhana, kita berdiam diri memasuki lorong waktu, kemudian menulis kejadian masa lalu yang membekas di diri kita untuk mengingat dan menerima itu, yang juga sebenarnya harus dibantu oleh profesional,” ujar Yurika.
Sementara itu, psikolog Diah Nurayu Kusumawardani mengatakan, setelah mengenal inner child, kita harus mengakui kalau pengalaman tersebut adalah milik diri sendiri. Kemudian harus belajar untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain, termasuk orang tua yang menyebabkan kita ada di pengalaman tersebut.
Lebih lanjut, Diah mengungkapkan, beberapa orang terkadang terhambat melakukan hal itu karena terlalu sibuk mengurus hal-hal di luar dirinya, seperti pekerjaan untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
“Kalau ada sesuatu yang buruk pada diri kita, coba segera ke profesional helper agar ketahuan akar jelas masalahnya. (Misalnya) apakah itu masa lalu yang berdampak sekarang,” kata Diah, Kamis (10/10).
Menurut Diah, World Health Organization (WHO) pernah memaparkan beberapa situasi yang menyebabkan adanya ACEs. Semisal kekerasan, baik fisik, emosional, maupun seksual. Lalu, pengabaian secara fisik dan emosional.
Selain itu, trauma yang disebabkan pertengkaran orang tua, perceraian orang tua, orang tua dipenjara, lingkungan yang penuh kekerasan, penyakit, kemiskinan, kesehatan mental orang tua, serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang dikonsumsi orang tua.
“Semua itu bisa jadi penyebab adanya ACEs pada anak,” kata Diah.