Alkisah, pada jaman dahulu kala di tanah batak ada seorang raja berkuasa yakni Raja Rahat namanya. Raja Rahat memiliki putra tunggal bernama Manggale. Sayangnya, sang putra kesayangan gugur di medan perang dan jasadnya tidak ditemukan.
Kesedihan karena kehilangan sang putra membuat Raja Rahat sakit. Guna membahagiakan kembali rajanya, para tetua di kerajaan tersebut membuat sebuah patung yang mirip dengan Manggale. Berkat patung tersebut, Raja Rahat pulih dari sakitnya.
Nah, agar patung tersebut 'hidup' para tetua itu memanggil roh Manggale yang membuat patung bisa bergerak. Ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat boneka memiliki kemampuan khusus berkomunikasi dengan alam lain.
Sejak saat itu, masyarakat Batak menyebut patung tersebut sebagai Sigale Gale yang diambil dari nama Manggale. Pertunjukan Sigale Gale kini, tentu tidak menggunakan roh seperti di masa dahulu kala.
Boneka Sigale Gale digerakkan oleh pawang menggunakan sistem penggerak mekanis. Seperti di bagian kedua tangan dan kepala, sehingga boneka bisa menari di atas kotak kayu yang menyerupai peti jenazah.
Unsur magis memang amat terasa pada pertunjukan Sigale-Gale pada jamannya. Thompson HS dalam tulisannya berjudul 'Menyingkap Sejarah dan Keajaiban Sigale-Gale' menyatakan bahwa pada tahun 1930-an, Sigale-gale pernah dimainkan oleh dalang legendaris bernama Raja Gayus Rumahorbo dari Kampung Garoga Tomok. Beliau pernah tampil pada festival Sigale-gale di Pematang Siantar (Simalungun).
Sigale-Gale yang dimainkannya waktu itu adalah hasil buatannya sendiri. Raja Gayus dikenal mampu membuat patung Sigale-Gale mengeluarkan air mata dan punya kemampuan mengusapkan ulos (kain tenunan Batak) yang disandangkan sebelumnya di bahu sang boneka kayu.
Benang merah Sigale Gale dulu dan kini tetap sama, yakni: sang penghibur. Jika dahulu Sigale Gale dipentaskan untuk menghilangkan rasa duka atas kematian anggota keluarga. Sekarang ini merupakan bagian dari pertunjukan pariwisata di depan wisatawan.
Perlu diketahui, kesenian patung Sigale-Gale mengandung unsur budaya masyarakat Batak Toba yang mengungkapkan sistem kekerabatan patrilineal yakni anak laki-laki memiliki arti penting di dalam kehidupan keluarga. Cerita Sigale-Gale sudah ada sebelum masuknya agama Islam dan Kristen dan bertujuan untuk memuliakan atau menghargai roh.
Kini, Sigale Gale berubah menjadi penghibur wisatawan yang mengunjungi Pulau Samosir dan Danau Toba. Seperti yang dipentaskan di Desa Wisata Tomok, yang berdekatan dengan Situs Megalitikum makam batu para Raja Sidabutar.
Foto dan teks: Antara dan Riset Alinea.id