Kenapa banyak artis dan pesohor bunuh diri?
Eric Ripert tak menyangka saat mendapati sahabatnya, Anthony Bourdain tewas di kamar hotelnya di Strasbourg, Perancis. Hari itu, Jumat (8/6), mestinya Bourdain melakukan pengambilan gambar untuk serial populernya yang tayang di CNN sejak 2013, “Parts Unknown”. Namun naas ia memilih mengakhiri hidupnya dengan seutas tali yang diprediksi, telah disiapkan sebelumnya.
Bourdain, dilansir Telegraph, sebetulnya memiliki hidup relatif sempurna dengan ketenaran yang telah ia rintis sejak usia belasan. Menjadi koki mashur, serta memiliki acara televisi memasak yang menyeretnya dalam petualangan keliling dunia ke tempat-tempat eksotis. Lalu menulis memoar terlaris “Kitchen Confidential: Adventures in the Culinary Underbelly” (2000), yang digadang-gadang mengubah gastronomi tentang rahasia di balik keriuhan dapur. Kekasihnya, artis Asia Argento mencintainya. Bahkan ketenaran pria 61 tahun itu juga diakui eks AS-1 Barack Obama, lewat cuitannya di Twitter.
Lantas mengapa ia memilih bunuh diri? Dalam salah satu cuplikan bukunya “A Cook’s Tour: Global Adventures in Extreme Cuisine” (2001), ia kerap memainkan gimmik tentang membayangkan hari kematian. Ia mengajak rekan-rekannya sesama juru masak untuk membayangkan hari kematian mereka. Dilansir Tirto, Bourdain menuturkan, andai besok kamu dihukum mati dan diberi kesempatan untuk makan satu hidangan terakhir, apapun yang kamu mau. Apa yang akan kamu pilih.
Bourdain dalam karyanya, menyulap bahan mentah jadi sajian lezat maupun penulisan prosa yang menggugah, selalu menonjolkan sisi pemberontakan. Penikmat musik rock dan punk ini kerap menggulirkan kritik pedas pada koki-koki lain. Ia juga menolak menikmati hidangan ikan dalam treat “Monday Special”, anti memesan kerang kecuali mengenal kokinya secara personal, brunch adalah pilihan makan yang buruk, atau memesan ayam saat tidak punya pilihan tepat untuk dimakan.
Ia mengkritik kaum vegan sebagai musuh dari segala yang layak dalam jiwa manusia. Ia juga menguraikan, sebagian besar rekan kerjanya di balik dapur adalah pengungsi, pecandu obat, pemabuk, pelacur, dan psikopat. Namun, toh, meski hidupnya riuh, Bourdain yang sempat kecanduan narkoba di medio 1980-an ini, memilih mati dengan senyap.
Kematian Bourdain menyusul pesohor di bidang fesyen kreator tas dan dompet terkenal Kate Spade, yang lebih dulu gantung diri. Mayatnya ditemukan di apartemennya di New York, Selasa (5/6) lalu. Selain mengelola merek fesyen yang ia dirikan bersama dengan suaminya, ia juga sukses memproduksi label kedua Frances Valentine. Bahkan hari-hari terakhir jelang kematiannya, tas kreasinya dari label itu ludes terjual.
Desainer Kate Spade tewas gantung diri pekan lalu./ Southern Living
Namun lagi-lagi, kasus Kate ini menjadi premis, ketenaran dan kesuksesan bukan jaminan hidup bahagia. Dalam sebuah wawancara bersama Guy Raz pada November 2017, Kate mengaku kerap dilanda gugup dan kecemasan berlebihan. Ini diakui adiknya, Reta Saffo, yang mengungkap kakaknya mengidap depresi selama bertahun-tahun namun menolak mencari bantuan medis.
Saffo menduga, keputusan sang kakak bunuh diri erat kaitannya dengan kasus serupa aktor Robin Williams. Robin yang mengidap depresi juga memutuskan bunuh diri pada 2014, dan Kate selalu menonton pemberitan bunuh diri itu berulang-ulang.
Tak hanya Kate Spade dan Bourdain yang memutuskan bunuh diri. Vokalis Soundgarden Chris Cornell, vokalis Nirvana Kurt Cobain, penyanyi Amy Winehouse dan Whitney Housten, vokalis Linkin Park Chester Bennington, juga artis terkenal di zamannya Marilyn Monroe.
Sebagian besar dari mereka yang bunuh diri dikabarkan mengalami depresi karena berbagai hal. Sebagian lagi menjadi pecandu alcohol dan narkoba yang sukar sembuh. Lalu sisanya, merupakan pesohor yang punya sifat perfeksionis, sehingga ketika karya dianggap mengecewakan penggemar, maka mereka tak ragu memilih jalan bunuh diri sebagai penyelesaian.
Temuan Steve dari the Center for Suicide Research menyebutkan, kreativitas seniman cenderung lebih mudah melahirkan depresi. Jika seniman tersebut memiliki sifat perfeksionis, dibarengi gangguan mental lain seperti depresi dan bipolar, maka mereka menjadi golongan sineas yang punya mental kerdil dan rapuh.
Stress punya dampak besar
Saat seseorang berada di puncak kesuksesan, ada kecenderungan untuk menjadi pribadi perfeksionis. Sifat ini terkadang melahirkan tekanan yang tinggi (stress) pada orang-orang tersebut. Mereka cenderung tidak siap jika harus terjungkal menghadapi kegagalan. “Meski sumber stress beragam, namun efeknya sama mengkhawatirkan,” ujar pegiat psikoedukasi Andry Waseso, pada Alinea.
Stress berat, lanjutnya, jika berdampingan dengan berbagai gangguan psikologis lain, seperti bipolar, depresi, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian (histeria dan paranoia), maka bisa berakibat fatal. Potensi bunuh diri, dalam hal ini, menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam kasus bunuh diri sejumlah pesohor, yang umumnya disebabkan karena depresi pun demikian. Dalam hal ini, peranan orang-orang dekat bahkan kesadaran diri sendiri diperlukan.
“Kita bisa melihat fase awal gangguan psikologis lewat berbagai gejala. Di antaranya, kesedihan mendalam, merasa tak berharga, mood swing, kehilangan minat pada hal-hal yang membuatnya tertarik, sulit tertawa karena humor, lelah, perubahan nafsu makan, rasa ingin mati, dan mudah terusik,” urai Andry.
Jika melihat gejala-gejala ini, orang terdekat perlu memberikan dukungan moral. Namun jika sampai dua minggu, penderita tidak menunjukkan perbaikan, maka disarankan segera menemui tenaga medis.
Oleh tenaga medis, imbuhnya, penderita akan diberi terapi yang beragam, disesuaikan dengan kebutuhan. Ada dua terapi yang umum, yakni CBT (cognitive behavioral therapy) dan dialectical therapy. Meski beda pendekatan, terapi ini bermuara pada penciptaan kesadaran dan pemberian sugesti untuk berpikir rasional.