Beberapa hari lalu, sebuah toko yang menjual boneka Labubu di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan diserbu pembeli. Bahkan, warga rela antre lama untuk mendapatkan boneka itu. Hingga akhirnya menimbulkan kericuhan. Dalam video yang beredar, mereka yang berburu boneka itu mayoritas orang dewasa dan sempat bersitegang dengan pihak toko karena kehabisan stok.
Apa itu Labubu?
Dikutip dari Lifestyle Asia, Labubu adalah karakter boneka peri yang memiliki ciri khas, seperti telinga runcing, berbulu, gigi tajam, senyum yang nakal, dan perawakan kecil. Labubu merupakan salah satu karakter dari sekelompok makhluk yang disebut The Monsters
Karakter Labubu terinspirasi dari mitologi Nordik. Penciptanya adalah seniman asal Belgia kelahiran Hong Kong, Kasing Lung. Pada 2015, dia menerbitkan buku seri cerita The Monsters.
Lalu, dikutip dari Tatler Asia tahun 2019 Lung menandatangani perjanjian lisensi ekslusif dengan perusahaan mainan asal China, Pop Mart. Kerja sama ini mengubah The Monsters dari karakter buku cerita menjadi mainan koleksi.
Pop Mart adalah perusahaan mainan asal China yang menjual mainan desainer yang dapat dikoleksi. Pop Mart dikenal karena menjual mainan dalam format “kotak buta”
Sejak saat itu, Labubu dirilis dalam berbagai warna, bentuk, dan ukuran. Boneka-boneka ini juga dijual dalam berbagai format, termasuk mainan mewah dan figur vinil.
Mengapa jadi tren?
Labubu adalah karakter The Monsters yang paling populer. Karakter ini menjadi semakin terkenal ketika pada April 2024 lalu, dilansir dari Tatler Asia, Lisa dari grup K-Pop Blackpink mengunggah foto sembari memeluk boneka Labubu dari serial Fall in Wild milik The Monsters di Instagram story. Lalu, beberapa bulan berikutnya, Lisa menghiasi tas miliknya dengan liontin Labubu. Unggahan Lisa itu mendongkrak popularitas boneka Labubu.
Labubu menjadi tren di negara-negara Asia Tenggara. Terutama di Thailand, yang memiliki banyak penggemar, termasuk selebritas. Bahkan, menurut Kepala Kemitraan Strategis Pop Mart International, Kevin Zhang, dikutip dari Tatler Asia, koleksi Labubu juga menular ke anggota keluarga Kerajaan Thailand dan senator.
Thailand memiliki stok boneka Labubu terbesar di Asia. Pemerintahnya juga bekerja sama dengan Pop Mart, memanfaatkan popularitas Labubu dalam promosi pariwisata.
Tatler Asia menulis, satu boneka bisa berharga lebih dari 500 baht (setara Rp229.090), sementara koleksi enam boneka bisa berharga lebih dari 3.000 baht (setara Rp1.374.544). Namun, ini hanya kisaran umum. Koleksi terkadang bisa mencapai lebih dari 10.000 baht (setara Rp4.581.816).
Akibat Labubu yang sangat populer di Thailand, pemerintahnya sampai-sampai memperingatkan tentang celah penipuan.
Misalnya, dikutip dari Bangkok Post, seorang penjual Labubu daring terancam digugat atas dugaan penipuan karena gagal mengirimkan boneka itu ke lebih dari 100 pembeli yang sudah membayarnya.
Bagaimana strategi pemasarannya?
Perusahaan data asal Jerman, Statista, melaporkan pasar mainan di Asia Tenggara diproyeksi mencapai 5,64 miliar dolar AS pada 2023. Dan, bakal tumbuh menjadi 6,52 miliar dolar AS pada 2028. Mengutip Global Times, ada beberapa faktor, seperti kebiasaan dan preferensi konsumen yang serupa dengan China, perkembangan ekonomi yang pesat, dan populasi China yang besar menjadikan Asia Tenggara sebagai area fokus utama bagi banyak merek mainan yang ingin berekspansi ke luar negeri.
Presiden divisi internasional Pop Mart, Wen Deyi, mengatakan kepada Global Times bahwa Asia Tenggara punya populasi lebih dari 600 juta, dengan sebagian besar anak muda yang memiliki potensi luar biasa. Sebanyak 11 negara di Asia Tenggara punya total populasi 670 juta. Di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, lebih dari 50% populasi berusia di bawah 35 tahun.
Global Times menulis, Thailand dan Vietnam memiliki lebih banyak penduduk perempuan. Dan perempuan punya kemauan konsumsi yang lebih kuat. Hal itu menjadikan kedua negara tersebut sebagai prioritas dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, dalam hal kebiasaan konsumen, terdapat banyak komunitas Tionghoa di Asia Tenggara yang sangat dipengaruhi preferensi konsumen Tionghoa, sehingga mereka lebih mudah menerima produk mainan yang sedang tren.
Fenomena FOMO?
Fenomena ikut-ikutan membeli boneka Labubu bisa disebut fear of missing out atau FOMO. Dikutip dari Verywell Mind, FOMO berarti rasa takut ketinggalan, mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain lebih bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik daripada kita.
FOMO berhubungan dengan perasaan bahwa kita kehilangan sesuatu yang sangat penting, yang sedang dialami orang lain. Dalam pikiran kita, mungkin tampak semua orang mengalami pengalaman yang luar biasa, tetapi kita satu-satunya yang kehilangan.
Fenomena ini semakin umum terjadi berkat media sosial. Media sosial menciptakan situasi saat kita membandingkan kehidupan sehari-hari dengan momen-momen istimewa dalam hidup orang lain.